"Kita jangan gegabah! Kematian beruntun dahulu diakibatkan tindakan gegabah! Kita perlu mengatur langkah agar Duguk bisa dikalahkan dengan mudah!" tukas Pakwo.
"Apa maksudmu, Syarif? Aku kepala desa pada masa itu. Apa kau menuduh aku sebagai penyebab kejadian berdarah itu?" ucap Pak Engki penuh amarah.
"Saya tidak sepenuhnya menyalahkan Bapak. Semua penduduk termasuk saya juga salah pada masa itu. Kita terlalu berambisi menyerang kawanan Duguk di kerajaannya, tanpa dilengkapi dengan strategi dan kekuatan yang cukup," terang Pakwo.
"Lalu, strategi macam apa yang kau rencanakan, Syarif? Apa musti menunggu seluruh warga habis baru kau beraksi?" ujar Pak Brewok.
"Untuk sementara kita hanya perlu waspada. Jangan ke sungai tanpa senjata," jelas Pakwo.
"Halah! Omong kosong! Duguk tetap akan menyerang meskipun kita bersenjata. Ayo, kita serang Duguk!" Pak Engki mengompori warga. Sebagian terpancing lalu mengikuti langkah mantan dukun ke sungai, sedang sebagian lagi masih berdiri di depan rumah kepala desa.
"Tolong! Jangan bertindak gegabah. Kita hanya mencari Rajap di pinggir sungai. Jangan coba-coba masuk ke dalam air," pinta Pakwo.
Mereka pergi mencari Rajap ke pinggiran sungai. Sampai dengan larut malam, tubuh yang dicari tak ditemukan. Namun, mereka menjumpai jenazah Pulung yang mengambang di pinggiran sungai, dekat dengan rumpun bambu.
Rombongan yang ikut bersama Pakwo pulang dengan membawa jenazah Pulung. Namun, rombongan yang mengikuti Pak Engking masih berada di sekitar sungai. Mereka membabat setiap tanaman di sekitar sungai.
***
Jenazah Pulung sementara disemayamkan di rumah Pak Lintang, sahabat karib Pakwo yang kebetulan baru tiba dari desa sebelah. Ini sudah dini hari. Warga sudah terlalu lelah. Kasihan jika harus dipaksakan menggali kubur. Apalagi letak pekuburan adanya di ujung desa. Rencananya jenazah Pulung akan dikebumikan besok, sambil menunggu kedatangan kedua orang tuanya dari kebun.
Pakwo tidak membawa jenazah Pulung ke rumahnya. Khawatir Ateng akan histeris dan akhirnya menimbulkan masalah baru. Lagi pula, jenazah lebih aman di rumah Pak Lintang, seorang guru ngaji yang paham betul bagaimana mengurus mayat.
Pak Lintang bukanlah penduduk asli desa Lubuk Sini. Dia dan istrinya pendatang dari pulau Jawa. Akan tetapi, Pak Lintang dan istrinya sangat disayangi warga desa sebab mereka orang yang baik. Lelaki berusia 52 tahun ini dikaruniahi tiga orang anak. Satu anak Pak Lintang meninggal saat usianya 2 tahun, sedang dua lagi tinggal di desa lain sejak kejadian mengerikan 24 tahun yang lalu.
Menunggu pagi, Pakwo pulang ke rumah sejenak. Teringat dia akan sang istri, anaknya, Bernai, dan Ateng yang menunggu di langkan. Khawatir mereka masih berdiam di sana.
"Ke mana si Bernai?" tanya Pakwo saat menjejakkan kaki di langkan.
"Sudah pulang sejak tadi. Dibantu Pak Brewok," jawab Makwo.
"Ateng dan Rini mana?" tambah Pakwo.
"Tidur di kamar. Bak lama sekali pulangnya, jadi Mak suruh mereka istirahat di dalam kamar."
Pakwo hendak bergerak masuk, tetapi ditahan Makwo. Tangan wanita itu mencengkeram erat lengan suaminya.
"Bagaimana dengan Rajap? Apa dia bernasib sama seperti Pulung?" Makwo merendahkan nada bicaranya, takut terdengar Ateng.
"Jenazah Pulung sudah ketemu. Sekarang di rumah Pak Lintang. Bak mau ke sana sebentar lagi," bisik Pakwo.
Makwo menangkupkan kedua tangan di mulut. Pikirannya teringat pada sosok mengerikan yang tadi dilihat di belakang. Benarlah bahwa makhluk itu arwahnya Pulung. Tengkuknya jadi merinding. Buru-buru Makwo melangkah masuk, membuntuti sang suami.
Krieet ....
Pakwo memperhatikan Ateng di kamar, sedang tertidur pulas. Lelaki itu berpindah ke kamar yang lain. Anak semata wayangnya itu juga tengah terpejam. Syukurlah mereka dapat beristirahat. Sesudah memastikan keadaan kedua orang tadi, Pakwo masuk ke kamarnya. Sang istri mengekor di belakang.
"Bak Rini ... aku takut kejadian masa lampau terulang lagi. Gimana kalau besok aku dan Rini mengungsi ke desa Kembang Seri?" ujar Makwo pada suaminya yang tengah mengambil sesuatu di dalam kotak yang tersimpan di lemari.
"Ini pasti ulah Duguk. Aku takut dia akan mengambil Rini," sambung Makwo dengan mata yang berkaca-kaca, sementara sang suami sibuk sendiri.
"Bak Rini! Kau bukannya tak dengar kata-kataku. Kumohon beri tanggapan." Makwo merajuk.
"Duguk itu makhluk, sama seperti kita. Malah kita ini manusia, lebih tinggi derajatnya daripada makhluk gaib itu. Kalau kita lari, mau sampai kapan? Duguk akan terus mengganggu, kecuali─"
"Kecuali apa? Kecuali kalau apa?!"
"Sst!" Pakwo menempelkan telunjuk di bibirnya. Makwo menyadari kesalahannya, dia emosi hingga nada bicaranya sedikit tinggi.
"Kecuali kalau kita melawannya," bisik Pakwo.
"Tapi, dengan cara apa? Dari dulu selalu ada yang berusaha membunuh Duguk, tapi nyatanya mereka selalu berhasil memusnahkan manusia," balas Makwo. Kekhawatirannya cukup beralasan sebab dia sendiri turut menjadi saksi peristiwa kematian beruntun tiga windu yang lalu, bahkan anak lelakinya pun ikut menjadi korban.
"Duguk pasti kalah. Hanya saja kali ini perlu lebih hati-hati." Pakwo terus berusaha meyakinkan sang istri.
"Aku ... aku tak mau kalau putri kita menjadi korban. Cukuplah anak lelakimu dulu. Atau mungkin kali ini dia juga akan mengakhiri hidup kita," ucap Makwo sedih. Menitik jua air matanya.
"Mak Rini, berhentilah meracau. Bukan cuma anak kita yang menjadi korban di masa silam, tapi juga anak-anak warga yang lain. Itu sudah kehendak-Nya. Bahkan kalau kita juga akan mati dibunuh Duguk, itu sudah ketetapan-Nya. Lebih baik kau banyak berdoa. Berharap supaya kawanan Duguk mati di tangan warga," ujar Pakwo.
"Aku akan ke rumah Pak Lintang. Kuharap kau dapat menjaga diri. Rini dan Ateng kupercayakan padamu. Sas yang aku tahu seorang wanita yang kuat dan berani. Percayalah, hanya ayat-ayat suci dan keberanian yang mampu menyelamatkan kita. Bila ada makhluk gaib yang mengganggu, berdoa dan lemparkan ini. Rumah sudah kupagar dengan ajian. Sementara mereka tidak akan bisa masuk, kecuali kalau kau yang keluar dari rumah."
Pakwo menyerahkan bangle kering yang sudah dibacakan ayat suci. Menurut kepercayaan nenek moyang, benda ini paling ditakuti makhluk gaib.
Makwo menerima dengan berat hati. Dia sendiri ragu akan kemampuannya melawan makhluk gaib, tetapi sang suami memberinya tanggung jawab dan kepercayaan, maka dia harus kuat.
***
Di rumah Pak Lintang, beberapa warga masih berjaga. Jenazah terbaring di ruang depan, ditutupi dengan kain panjang. Mak Asna, istri Pak Lintang mengaji di samping jenazah. Wanita itu seakan kebal dengan bau busuk yang mulai menguar dari tubuh Pulung.
"Apa Pak Engki dan warga yang bersamanya sudah terlihat pulang?" tanya Pakwo saat tiba di depan rumah Pak Engki. Sejujurnya lelaki ini sangat mengkhawatirkan 15 orang warganya.
Warga yang berada di sana menggeleng. Mereka belum melihat siapa pun yang lewat. Hanya dua ekor lembu milik Pak Brewok yang tampak berjalan. Hewan peliharaan lelaki itu memang tidak pernah pulang ke sangkar. Bahkan seakan sengaja dilepaskan agar memakan tanaman pagar orang lain.
Belum lama Pakwo duduk di ruang depan Pak Lintang, terdengar suara orang-orang menjerit. Lekas, Pakwo berlari ke langkan.
"Duguk mengamuuk!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Teror Dugak
HorrorSeluruh penduduk desa Lubuk Sini kerepotan karena penunggu sungai yang merupakan satu-satunya sumber air-mengamuk. Makhluk gaib itu bernama Duguk. Satu demi satu warga mati tenggelam. Kenapa Duguk meneror warga setelah tiga windu lamanya ia bergemin...