Bagian 4

142 11 2
                                    

"Apa yang terjadi?" Pak Lintang berdiri di samping Pakwo. Lelaki yang ditanya hanya menggelengkan kepala, lalu turun ke bawah. Tampak tujuh lelaki duduk di depan rumah Pak Lintang dengan badan gemetaran. Sebagian warga tampak berlari dan tak ingin mampir ke sana.

"Duguk mengamuk, Pakwo ...," lirih salah satu warga.

"Mengamuk?" ulang Pakwo.

"Iya, Duguk ... menampakkan diri di sungai. Ada tiga Duguknya ... Pakwo," timpal warga lainnya yang masih kelihatan mengatur napas.

Pakwo tidak begitu terkejut. Dua puluh empat tahun yang lalu, jumlah mereka memang tiga. Setelah dua Duguk dibunuh oleh mertuanya. Ya, bapak dari Makwo Sas adalah dukun besar, meskipun di akhir hayatnya Datuk Limau bertobat.

"Apa yang dilakukan Pak Engki di sana?" selidik Pakwo yang penasaran dengan aktivitas lelaki sok hebat itu.

"Tidak tahu, Pak. Pak Engki dan Pak Brewok seakan menghilang. Akhirnya beberapa warga ditangkap Duguk. Mereka ditenggelamkan ke sungai."

Pakwo memejamkan mata. Sudah bisa diduga. Terkadang orang yang terlalu banyak omong akan minim di aktivitas. Sekarang warga yang menjadi korban.

"Kalian segera pulang ke rumah. Ganti pakaian yang terciprat air supaya Duguk tak bisa mengendus keberadaan kalian," ujar Pakwo.

Mendengar hal itu, para warga yang beristirahat tadi buru-buru permisi. Mereka berlari mengejar rumah.

Pakwo tercenung sendirian di bawah langit yang temaram. Dia terngiang peristiwa silam, saat Duguk muncul dan meluluhlantakkan kebahagiaan keluarganya.

"Mau hujan, Bak Rini ... ayo, kita pulang," ajak Makwo yang sudah selesai mencuci. Anak perempuannya juga sudah selesai mandi.

"Iya, sebentar," sahut Pakwo. Dia sedang asyik bermain bersama Jimi, anak bungsunya yang baru berusia dua tahun.

Jimi duduk di atas badannya, sedang Pakwo berenang. Makwo ikut bahagia mendengar gelak tawa sang bocah. Anak kecil itu senang sekali bermain air. Namun, kebahagiaan itu hanya sebentar, tiba-tiba Jimi terjatuh ke dalam air.

"Jimi ... Jimi!" Makwo berteriak histeris dari tepi sungai. Bakul berisi pakaian terhempas.

Pakwo gelagapan. Tangannya menggerayang ke mana-mana mencari Jimi, tetapi tidak membuahkan hasil.

Makwo semakin histeris ketika Rini tiba-tiba menceburkan diri ke dalam sungai. Anak ini memang pandai berenang, tetapi dalam situasi begini tindakannya malah semakin menambah kepanikan sang ibu.

"Ya Allah! Oi, Tuhaan! Toloong! Tolooong!" Makwo Sas berteriak-teriak seraya memukul kepala. Sungguh, dia kehabisan akal. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya kecuali berteriak sebab wanita ini tak pandai berenang. Untunglah hari sudah tidak terlalu pagi, warga sudah banyak yang menuju ke sungai. Termasuk Datuk Limau, bapaknya Makwo Sas.

Pakwo melihat Rini berenang ke sebuah lubuk, cepat bergerak. Dia menangkap kaki anak sulungnya yang hampir tertarik ke dalam sebuah pusaran di dekat lubuk. Air meluap dan keruh, padahal sedang tidak hujan.

Warga sudah bergumpul di sekitar sungai. Saat Datuk Limau menghentakkan kaki di sebuah batu, pusaran yang menarik Rini langsung menghilang. Lelaki tua itu meminta semuanya pulang ke rumah. Datuk Limau membawa jenazah Jimi tak kurang dari satu jam setelah bocah itu tenggelam.

Kematian Jimi adalah permulaan kemunculan Duguk, meskipun menurut Datuk Limau kawanan Duguk sudah lama menempati lokasi itu. Kemunculan para makhluk gaib tersebut dikarenakan satu hal: adanya manusia yang menyembah mereka. Namun, entah siapa.

Makwo begitu terpukul. Apalagi Pakwo. Dia menyesal tidak memenuhi permintaan sang istri agar lekas mendarat.

"Jangan terlalu menyalahkan diri."

Pakwo menoleh pada Pak Lintang yang duduk di sebelahnya, entah sejak kapan. Sejak dulu lelaki itu selalu memahami isi pikirannya.

"Aku tak tahu harus bertindak seperti apa dalam masalah ini. Kukira hidup berdampingan dengan makhluk gaib itu hal yang wajar, meskipun mereka kadang kala menimbulkan masalah," keluh Pakwo.

"Kadang kita memang harus berdiam diri sejenak saat masalah besar menghadang. Bukan tidak peduli. Juga bukan karena pengecut. Melainkan karena kita harus benar-benar memastikan kaki mana yang akan duluan melangkah," ujar Pak Lintang.

"Seingatku lubang yang menjadi jalur keluar Duguk sudah ditutup oleh Datuk Limau dengan batu yang besar, tetapi sekarang sepertinya lubang itu terbuka." Pakwo menghela napas berat. Tak habis pikir siapa yang sengaja memberi kesempatan kaum Duguk merajalela.

"Aku sempat melihat seseorang berada di sungai saat malam hari, kira-kira tiga hari yang lalu. Gerak-geriknya mencurigakan," kata Pak Lintang pelan.

"Kenapa kau ke sungai malam-malam?" Pakwo balik bertanya.

"Buang air. Kebetulan stok air di rumahku sedang habis," jawab Pak Lintang.

"Siapa orang itu? Aku perlu menghadirkannya ke sini sekarang juga," ujar Pakwo sedikit tersulut emosi.

"Aku tak melihat wajahnya dengan jelas. Dia memakai pakaian berwarna serba hitam dan menutup wajah dengan karung. Langkahnya cepat sekali. Kutebak usianya di bawah 50 tahun," imbuh Pak Lintang.

"Warga kita berjumlah 250 orang. Sekitar 200 orang di antaranya adalah remaja, anak, dan lanjut usia. Tersisa 50 orang yang usianya di bawah 50 tahun dan di atas 18 tahun. Tidak terlalu susah menebaknya, tetapi cukup memakan waktu. Sementara serangan Duguk kian ganas."

"Dari 50 orang yang kaumaksud, siapa yang benar-benar berada di desa? Seperti kita ketahui, warga sini banyak yang berkebun dan tinggal di desa lain," ucap Pak Lintang.

Pakwo Syarif bergeming. Pikirannya dengan cepat memetakan. Sementara sepertinya malam sudah berlalu sebab ayam jantan sudah berkokok. Konon, hewan ini membangunkan manusia pertama kalinya pada sepertiga malam terakhir, sekitar pukul 02.00 pagi.

"Aku belum bisa berpikir dengan baik, Pak Lintang. Pikiran ini masih tertuju pada sebagian warga yang mungkin masih di sungai," ungkap Pakwo.

"Usah dipikirkan. Lebih baik kita tunggu matahari terbit. Sekarang baiknya kita beristirahat. Ayo." Pak Lintang mengajak sahabatnya masuk ke rumah.

***

Makwo tiba-tiba terbangun dari tidur. Mimpi buruk membuatnya terjaga dengan napas yang terengah. Tak lama, dia mendengar seseorang memanggilnya.

"Mak ... Mak!"

Makwo berlari ke sumber suara. Jantung berdegup lebih cepat. Dengan cepat dia bangkit dari tempat tidur kemudian menemukan Rini tengah berdiri di depan pintu.

"Kenapa, Nak?"

"Rini mau kencing," jawab gadis yang itu meringis.

Makwo menggigit bibir. Teringat pesan sang suami agar tidak keluar dari rumah sampai matahari terbit. Namun, sekarang Rini ingin buang air, yang artinya mereka harus turun ke bawah.

"Mak ...."

Makwo menggaruk kepala. Sebuah ide muncul di kepalanya. Walaupun, kemungkinan besar tidak disukai Rini.

"Rini ... Bak kau melarang kita keluar karena sekarang sedang banyak Duguk berkeliaran. Kencinglah di tumpukan pakaian kotor. Besok biar mak yang bersihkan," ucap Makwo pelan-pelan.

Rini mengerutkan kening. Sejak kecil dia membenci Duguk. Mendengar penjelasan maknya, gadis itu bukannya takut malah sungguhan berharap bertemu Duguk. Namun, dia berusaha patuh.

Setelah buang air seni di pojok dapur, Rini tak bisa melanjutkan tidur. Kantuknya mendadak hilang. Akhirnya gadis itu pindah ke kamar ibunya.

"Mak, kenapa Duguk kembali mengganggu?" Rini bertanya pada ibunya. Dia tahu Makwo tidak benar-benar tertidur.

Benar saja. Wanita sepuh itu kemudian membuka mata. Pandangannya tertuju pada langit-langit rumah.

"Mak tak tahu, Nak. Mak hanya sedih teringat Jimi kalau membahas Duguk," jawab Makwo.

Rini terdiam dan memeluk ibunya dengan erat. Dia pun punya kenangan pilu tentang Duguk. Sejak saat hampir terikut pusaran air dulu, kaki kirinya tak bisa normal sampai sekarang. Lebih kecil dari kaki kanan sehingga membuatnya pincang. Itulah yang membuat Rini tidak percaya diri dan belum berjodoh di usia 29 tahun.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Teror DugakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang