"Bu Sejeong!"Salah satu rekan kerja gue memanggil sembari melambaikan tangan dari ujung lorong sekolah.
"Ya, Bu?" tanya gue, menghampiri Bu Indi, seorang guru bahasa Indonesia.
"Bisa minta tolong nggak, Bu? Aduh," Gue memerhatikan Bu Indi dengan seksama. Perempuan yang tingginya sedikit lebih pendek dari gue sedang memegangi perutnya.
"Bu Indi baik-baik aja?" tanya gue, ikut-ikutan meringis. "Oh ya. Bu Indi mau minta tolong apa?"
Sambil memegangi perutnya, Bu Indi mengatakan, "Jadi gini, ibunya Fatia barusan telepon. Katanya nggak bisa jemput Fatia karena lagi sakit."
"Terus?"
Lagi-lagi Bu Indi meringis. "Hari ini Fatia dijemput sama teman ibunya. Jadi, Bu Sejeong bisa temenin Fatia sampai dijemput sama teman ibunya nggak?"
"Ya, bisa sih." Gue mengangguk.
"Maaf ya, Bu Sejeong . Harusnya saya yang temani Fatia, tapi... duh, perut saya lagi nyeri. Nggak kuat banget berdiri lama-lama. Nggak apa-apa kan, Bu?"
Gue berpikir sebentar, kemudian menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. "Boleh. Fatia-nya ada di mana?"
Setelah mengiakan permintaan Bu Indi untuk menemani Fatia menunggu di dekat pos satpam, gue pergi di depan kelas bocah perempuan itu. Fatia terlihat sedang berdoa bersama teman-temannya sebelum kelas bubaran.
Kenapa?
Kalian pasti bingung sama profesi gue, nih. Profesi gue sebagai seorang guru olahraga di sekolah dasar. Selain menjadi seorang guru, gue juga punya pekerjaan sampingan. Mengajari anak-anak untuk taekwondo, mengajar tiga kali dalam seminggu.
Kelas Fatia telah selesai. Gue menunggu di samping pintu sembari mengamati anak-anak yang keluar satu per satu dengan tertib. Fatia keluar belakangan, paling lesu di antara wajah-wajah cerah temannya.
"Fatia," Gue memanggil Fatia.
Bocah perempuan itu mendongak, mengerjapkan kedua matanya lucu. "Ya, Bu."
"Barusan Ibu kamu telepon Bu Indi," Gue menerangkan ke Fatia, setengah membungkuk agar bisa berdiri sejajar dengan bocah berpita pink. "Hari ini yang jemput temannya ibunya Fatia."
Wajah Fatia semakin murung. Kepalanya tertunduk, seolah memikirkan sesuatu yang berat.
"Pasti Ibu sakit lagi," gumamnya.
Gue mengusap kepalanya. "Ibunya Fatia baik-baik aja kok."
Kepalanya terangkat. Matanya terlihat sedih. "Ibu aku nggak akan sakit parah, kan, Bu Sejeong?"
Kepala gue terangguk.
Sedikit banyaknya soal Fatia dan ibunya, gue tahu. Dari cerita beberapa guru, Ibu Fatia didiagnosis memiliki penyakit berbahaya. Entah sakit apa, gue nggak mau nanya lebih lanjut karena takut dibilang kepo. Dengar-dengar juga, ibunya Fatia seorang pengajar di sebuah SMA.
"Berdoa buat ibunya ya." Gue menepuk kepalanya.
Kepala bocah itu terangguk. Bibirnya mengerucut lucu. Gue menggandeng tangan Fatia meninggalkan kelas dan mengantarnya ke pos satpam sambil menunggu teman ibunya datang menjemput.
Gue tahu kenapa ibunya Fatia berpesan kepada Bu Indi agar menemani anaknya sampai temannya datang. Zaman sekarang banyak orang jahat. Musim penculikan lah, pelecehan anak-anaklah. Sebagai seorang perempuan, walaupun gue belum pernah menikah, rasa-rasanya gue ikut merasakan bagaimana khawatirnya ibunya Fatia.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EX-Teacher (Sehun-Sejeong)
FanfictionVersi asli ada di akun @QoriRahma Kim Sejeong pernah memiliki kenangan buruk di masa sekolah. Entah apa itu, yang jelas, Sejeong nggak mau membahasnya kepada siapa pun kecuali sama Kim Jisoo, sepupunya. Di masa SMA, Sejeong termasuk murid paling b...