AKU sangat mencintai seseorang. Sebelumnya aku tidak tahu kenapa orang-orang bisa begitu mencintai pasangannya bahkan banyak yang mengatakan cintanya tanpa alasan, tapi kini aku mengerti perasaan itu sebab aku mengalaminya sendiri. Dan seiring berjalannya waktu, hatiku setuju dengan pernyataan bahwa cinta tanpa alasan akan terasa begitu mendalam. Seperti perasaanku pada Dirga.
Aku juga pernah mendengar, jika seseorang berselingkuh maka penyebab utamanya adalah pihak ketiga itu mempunyai sesuatu yang tidak dimiliki oleh pasangannya. Tapi, apa yang kurang dariku hingga Dirga sampai hati bermain dengan gadis lain?
Padahal aku banyak memberikan Dirga perhatian. Aku juga mengabaikan laki-laki setampan apa pun yang mencoba mendekatiku. Aku juga tidak pernah ingin menang sendiri. Aku selalu pengertian, sabar dan menerima Dirga apa adanya dan di dalam kondisi apa pun. Bisa dikatakan, aku sangat baik padanya.
Bahkan salah satunya—aku setuju Dirga melanjutkan hubungannya dengan pihak ketiga itu. Sungguh, aku menerimanya dengan senang hati. Apa yang dia inginkan aku selalu turuti. Aku seharusnya menjadi idaman baginya, tapi ternyata Dirga tak menganggapku seperti itu.
Biar aku ceritakan kembali. Jadi, ketika SMA setelah satu tahun aku dan Dirga resmi berpacaran, dia pernah meminta untuk mengakhiri semuanya dariku sampai tiga kali—dan saat itu hubungan kita sudah berjalan satu tahun. Tentu saja aku tidak mau putus darinya. Aku benar-benar tak ingin kehilangan Dirga. Aku tak mau melepasnya.
Dan ... aku pun menyetujui Dirga berpacaran dengan orang lain. Asalkan aku dan dia tetap bersama meski waktuku harus terbagi dengan orang lain. Tapi, tak berhenti sampai di situ. Karena jika dijumlahkan selama tiga tahun di bangku SMA, Dirga sudah lima kali berselingkuh dan aku tetap mempertahankan dia di sisiku. Sekali lagi, aku sangat mencintainya dan tak ingin sampai kehilangannya.
Bahkan hubunganku dan Dirga masih berlanjut hingga kuliah di satu kampus yang sama. Aku dan dia pun kembali lengket seperti prangko. Rasanya seperti baru pertama kali, benar-benar mendebarkan. Dirga kembali seperti yang aku inginkan. Selalu di sampingku. Menemaniku. Dan tidak ada yang lain lagi.
Tapi, ada yang aneh. Setiap aku menatap matanya, tatapannya seperti bukan untukku lagi. Bahkan sikapnya juga aneh terlebih jika ada Lona—teman satu fakultas Dirga. Salah satu buktinya adalah ketika aku dan Dirga tengah makan bersama di kantin, tak lama Lona datang dan duduk tidak jauh dari meja kita berdua. Seperti otomatis, Dirga bermanja-manja padaku sampai membuat Lona pergi dengan wajah yang cemberut. Dan setelah gadis itu pergi, Dirga bersikap biasa lagi padaku. Apa dia sengaja? Untuk menilai apakah Lona cemburu padanya atau tidak?
Sungguh, saat SMA aku tidak cemburu dia mendua dariku dengan siapapun. Karena aku anggap dia masih main-main. Tapi, untuk Lona ... rasanya lain. Aku sudah lama mengenal Dirga, aku tahu ketulusan dia dan aku melihat itu saat dia menatap Lona. Hatiku seperti tertusuk sesuatu yang amat menyakitkan. Aku ingin bertahan selamanya bersama Dirga. Tapi, hatinya bukan untuk aku lagi. Dan aku sulit untuk bisa menerimanya.
Apa perasaanku, rasa cintaku, sudah dikuasai oleh ego? Aku sering memikirkannya, tapi lagi lagi aku bersikeras bahwa aku benar-benar mencintainya. Ini sangat menyulitkanku. Aku harus bagaimana? Mempertahankan, tapi hati dan jiwanya bukan untuk aku lagi atau melepaskan, tapi aku akan merasa kehilangan Dirga untuk selamaya? Aku tidak tahu. Banyak pertanyaan untuk aku pertimbangkan. Tapi jawabannya pun tetap sama. Aku tidak tahu—aku tidak mau memutuskan.
Lalu saat semester dua, Dirga mengajakku ke sebuah Caffe. Suasananya sangat romantis dengan suara dentingan piano yang indah dan menenangkan hati. Tapi, sayangnya tidak seromantis kata-kata Dirga padaku. Aku masih ingat inti dari percakapan kami berdua kala itu.
"Maaf, Melodi. Aku harus pergi ke luar negeri. Aku akan melanjutkan kuliahku di sana. Tapi, aku juga tidak tahu kapan akan kembali. Mel, aku janji, suatu hari aku akan kembali untuk kamu. Kamu tunggu saja di Caffe ini. Jika kamu merindukan aku, datang ke Caffe ini. Karena aku akan datang ke Caffe ini, tanpa kamu tahu. Ya? Izinin aku pergi kali ini."
Ketika Dirga mengatakan itu, dia terus menggenggam tanganku dengan erat dan sentuhannya terasa begitu tulus. Kilatan matanya pun penuh pengharapan yang dalam. Meskipun ini sangat berat, tapi ... mau bagaimana lagi?
Aku mengangguk. Aku juga ingat percis apa jawabanku padanya, "iya. Aku izinin kamu pergi. Tapi, kamu harus janji kamu bakal kembali ke sini. Karena aku bakal selalu nunggu kamu di sini."
Dirga tersenyum lega. Kedua matanya berkaca-kaca. Entah ada apa dibalik sorot matanya itu. Aku tersenyum ketika dia mencium keningku. "Aku janji." Kata Dirga begitu yakin.
Tapi, itu sudah lima puluh tahun yang lalu. Selama lima puluh tahun, aku selalu mengunggu Dirga di sini. Di Caffe ini. Sudah lima puluh tahun juga aku bekerja di tempat bersejarah untukku ini, sebagai pianis. Seperti saat ini, jemariku yang sudah dipenuhi dengan keriput masih kuat untuk mendentingkan piano dengan alunan yang aku ciptakan untuk mengeluarkan segala perasaanku. Termasuk kerinduanku selama berpuluh-puluh tahun pada laki-laki yang sama—yang janjinya masih aku pegang teguh bahkan hingga detik ini.
Dan satu hal kenapa aku memutar kembali ingatan tentang kisah cintaku ini adalah ... karena Dirga sudah ada di hadapanku. Dengan jarak beberapa meja dariku. Tapi, dia bersama orang lain. Dirga terlihat sangat bahagia. Bersama keluarga besarnya. Ada banyak anak kecil dan beberapa pasangan suami istri yang membuatku kini mengerti dan baru aku sadari sekarang.
Dirga membuat janji itu agar dia bisa terlepas dariku. Bodoh. Lima puluh tahun lamanya telah aku sia-siakan demi menunggu cinta yang tak pasti. Seharusnya, aku tahu ini. Seharusnya dulu aku merelakannya untuk orang lain saat tatapan Dirga bukan untuk aku lagi.
Seharusnya aku berserah diri kepada Tuhan agar aku bisa dengan tenang menyerahkan cintaku ditangan-Nya. Sungguh, kisah cintaku ini hanya akan menjadi penyesalan seumur hidupku. Aku membuat diriku sendiri tidak punya harga diri selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Aku bodoh. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang. Terlambat—amat sangat terlambat.
Ternyata ... janji itu hanya palsu belaka. Dan seharusnya aku menyadari itu dari dulu. Jauh sebelum Dirga membuat janji itu. Mungkin sekarang aku sudah bahagia seperti dia. Mempunyai pasangan hidup, mempunyai banyak anak, mempunyai cucu-cucu yang manis dan lucu. Aku terlihat tangguh karena setia menunggunya, tapi sebenarnya aku payah karena tak mengenal cinta seperti apa yang aku tunggu—bahkan tak ada lagi cinta dari Dirga untukku.
Hatiku sakit ketika Dirga memperhatikanku. Aku yang sedari tadi menatapnya, membalas tatapan itu dengan sebuah senyuman kehampaanku. Sehingga dia pun ikut tersenyum, namun terlihat sedikit kaku. Entah dia mengenalku atau tidak—aku tak tahu dan tak ingin lagi perduli.
Kamu sudah terbebas dari janji palsumu itu, Dirga. Kamu datang ke tempat ini namun dengan tamparan keras untukku. Biar, akan aku nikmati saja penyesalan di masa tuaku ini. Seperti Melodi, aku akan menjadi irama sendu—yang amat menyedihkan.
SELESAI
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Memori
Short StorySelama aku masih mengingatnya, selama itu juga aku masih mengenang rasa tentangnya. Pahit dan manis saat bersamanya, menjadi antologi memori yang akan aku simpan selamanya. + [bahasa; semi baku] [kumpulan cerpen] Update setiap tanggal 5 & 25.