TERA merutuk di sudut kantin dengan mulut penuh mie dan mata yang terus menatap seorang laki-laki yang tengah menikmati makan siangnya dengan damai. Suasana kantin semakin ramai. Tapi, tatapannya tidak pernah tidak mendapatkan cela untuk terus memantau. Laki-laki itu—Agesa; tampan, idaman, pintar dan misterius. Karakernya pun sulit ditebak. Menurut kabar yang beredar, Agesa rela mengerjakan tugas kelompok dengan keringatnya sendiri. Lebih gila lagi, Agesa mengatakan "pokoknya baca aja sampe kelar, kalau lo nggak bisa jawab pertanyaan pas persentasi berarti lo gak kerja sama. Jadi, ini bukan pembodohan tim, kan?"
Mengingat itu, Tera kembali menggelengkan kepalanya. Terkagum-kagum sendiri, ada, ya, spesies manusia seperti Agesa?
Satu suapan lagi, mangkuk mie itu akan jadi nomor lima setelah empat mangkuk kosong bertengger di sana. Gila makannya tetap sama apalagi sedang merasa tetantang. Pasalnya, Tera baru saja menyetujui permainan gila bersama teman satu genk-nya. Karena mereka menyebut Tera 'jomblo mulu', jadi gadis itu harus mencari pacar.
Tapi, setelah menyetujuinya ia menyesal bukan main. Ia sepertinya sudah dipermainkan dan menerimanya karena tersulut emosi.
"Lo kan belum pernah pacaran, jadi, dalam tiga hari lo harus punya pacar. Dan kalau lo ngerasa nggak berhasi nemu cowok yang pas, lo harus nembak Agesa, si anti cewek, di depan kita semua. Deal?"
"Dasar kutil unta." Rutuk Tera yang kini semakin geram dengan anggota genk-nya itu, Rama.
Dan sekarang ia dalam perangkapnya. Pertama, kelemahannya (cinta), sudah bukan rahasia lagi. Jadi, dengan semudah itu dia mempermainkannya. Kedua, Tera sudah tahu opsi pertama tak akan berhasil. Jadilah Tera memutuskan untuk mengenal Agesa si opsi kedua.
Tera menenggak habis kuah dalam mangkuk keenamnya lalu minum air mineral dengan diakhiri senyuman. Setelah makan ia merasa selain energi yang terisi tapi juga dengan kepercayaan dirinya. Lalu ia mengeluarkan ponsel dan menekan ikon kamera yang langsung memperlihatkan wajahnya.
"Perasaan gue nggak jelek-jelek amat. Kok cowok kadang menghindar, sih? Apa gue terlalu cantik dan keren?" gumamnya sambil beberapa kali tersenyum dengan berbagai gaya di kamera.
"Senyam senyum lu. Preman kampus mending diem aja sambil ngulum tusuk gigi!"
Tera berdecak ketika salah satu temannya melewati mejanya. "Berisik lu jamban!"
**
Pukul tiga sore Tera baru saja pulang menggunakan bus. Tera sedikit terlonjak ketika baru saja duduk tiba-tiba sebuah suara menyambar dari belakangnya, "minggir. Bukan tempat lo," Tera menatap tubuh jangkung itu dan betapa terkejutnya, itu adalah Agesa yang tengah menuntun ibu hamil untuk duduk di kursi yang baru saja didudukinya. Ia segera bangkit berdiri dan membiarkan ibu hamil itu duduk dengan nyaman sambil berterima kasih padanya. Tera tersenyum dan sedikit menundukkan kepala.
Tiba-tiba saja bus berhenti dan Tera yang belum memegang pegangan tangan terhuyung dan nyaris jatuh sebelum dada bidang itu menahan tubuhnya. Wangi mint menyeruak, Tera menatap Agesa dengan hati-hati. Laki-laki itu sama sekali acuh seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan tak memandangnya sama sekali. Oh, haruskah ia berterimakasih pada wajah angkuh itu?
"Thanks," setidaknya Agesa sasarannya, ia harus menahan egonya. Tera pun cepat-cepat berdiri tegak lalu memegang pegangannya.
"Gue tau apa yang bakal lo lakuin ke gue. Jadi—" kalimat gantung itu beralih menjadi bisikan di belakang telinga Tera, "jangan sekali-kali lo lakuin itu. Apalagi deketin gue buat memperlancar tujuan lo. Mungkin gue diem tapi bukan berati nggak tau apa-apa."
Damn.
"Maksud lo apa?" Tera memasang tameng.
"Kalau sampai lo lakuin itu, gue bakal lakuin lebih dari itu." Ada nada mengancam yang kuat membuat bulu roma Tera berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Memori
Short StorySelama aku masih mengingatnya, selama itu juga aku masih mengenang rasa tentangnya. Pahit dan manis saat bersamanya, menjadi antologi memori yang akan aku simpan selamanya. + [bahasa; semi baku] [kumpulan cerpen] Update setiap tanggal 5 & 25.