4. Rumit

36 32 1
                                    

Falinsya berjalan pelan menuju kamarnya yang berada di lantai dua rumah papa tirinya. Mengunci pintu kamar dan merebahkan tubuhnya di kasur yang sudah tiga tahun ini menemani masa-masa suramnya.

Berada dalam rumah yang bahkan tak pernah menghargai keberadaannya harus membuatnya benar-benar menjadi asing di keramaian. Kesepian. Itulah yang dirasakan Falinsya selama tiga tahun ini.

Falinsya selalu berpikir kenapa semua orang tak pernah bisa menghargai keberadaannya, seperti orang yang membuat Falinsya melupakan semua luka nya dan membuatnya mengerti akan rasa sepi yang selalu Zadin ceritakan padanya. Falinsya tertawa hampa jika mengingatnya. Sekarang malah gue yang ada di posisi lo Za..

Tok tok tok

Falinsya terkejut mendengar suara ketukan di pintu balkon kamarnya. Pasalnya di rumah itu tak ada orang yang bisa ia mintai tolong jika terjadi hal yang tak diinginkan. Eh bukannya emang gak ada yang peduli ya sama gue..

Dengan langkah hati-hati Falinsya mendekati pintu balkon. Berharap bahwa hanya ranting saja yang terbawa angin yang mengetuk pintu balkon kamarnya ini. Kalau mau maling kenapa harus pake ketok pintu dulu sih..

Falinsya sudah berada di depan pintu balkon. Sebuah bayangan ada di hadapannya. Bayangan seorang lelaki. Wajahnya tak terlihat jelas sebab lelaki itu membelakanginya.

"Siapa?" ucap Falinsya pelan. Namun ia yakin lelaki itu dapat mendengarnya. Lelaki itu membalikkan badannya. Menghadap Falinsya. Mata Falinsya membulat ketika melihat lelaki yang tak asing baginya. Zadin.

Zadin tersenyum melihat Falinsya berdiri di hadapannya. Meski terpisah pintu kaca. Falinsya yang masih terpaku seketika tersadar melihat Zadin melambaikan tangan kanannya. Falinsya segera membuka pintu kaca itu dengan cepat. Falinsya yang merasa bahwa ini tak nyata itu mencubiti pipi kanannya yang sedikit memerah. Zadin yang melihat itu pun segera menghentikannya. Menatap Falinsya sendu. Menggenggam tangan Falinsya hangat.

"Dari mana lo tau tempat tinggal baru gue?" serang Falinsya galak.

"Cepet pulang!" Falinsya hendak berlalu masuk tapi Zadin dengan cepat menariknya ke dalam pelukan. Zadin sudah tau semua yang di hadapi Falinsya saat ini. Tiga tahun mencari bukan berarti tak menghasilkan apapun, tapi Zadin ingin mendengarnya langsung dari Falinsya.

"Gue tau alasan lo ninggalin gue. Kenapa lo gak pernah cerita ke gue?"

"Karena lo gak perlu tau apapun tentang ini. Bukannya lo yang bilang, kalo lo gak mau denger alasan yang bikin gue pergi dari lo." Falinsya berusaha keras menahan air matanya. Berusaha berontak di dalam pelukan Zadin.

"Iya. Itu karna gue sayang sama lo, dan gue gak mau ditinggal orang yang gue sayang untuk yang kesekian kalinya Fal." Zadin menghela napas sebentar, "gue gak mau kehilangan lo, Fal. Cuman lo yang mau nemenin gue saat orang-orang nganggap gue sampah. Tiga tahun ini gue nyari lo. Gue gak tau apa kesalahan gue sampe lo tega ninggalin gue, tapi gue gak bisa marah sama lo karena gue yakin lo pasti nyembunyiin sesuatu di belakang gue. Sampai saat gue denger kalo-"

"CUKUP!" teriak Falinsya memotong ucapan Zadin dengan air mata yang sudah tak terbendung lagi. Falinsya tak sanggup bila harus membahas penyebab keluarganya hancur.

"Mending, sekarang lo pergi!" tanpa menunggu jawaban lagi Falinsya masuk ke dalam kamarnya, menutup pintu balkon dan menguncinya. Berlari ke kasur memeluk bantal kesukaannya dan menangis sejadinya di sana.

Zadin masih membeku ditempatnya. Belum pernah melihat Falinsya terluka seperti ini. Zadin mengacak rambutnya frustasi lalu segera menuruni tangga yang ia pakai untuk naik tadi.

"Ngapain lo di sini?"

Langkahnya terhenti ketika mendengar suara yang sangat ia kenal. Raymon.

Zadin membalikkan badannya menghadap Raymon yang menatapnya tajam.

FALINSYA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang