Dalam 24 jam, matahari dan bulan bergilir menghiasi satu bagian bumi. Hari demi hari, minggu demi minggu, semua terlalui dengan mulus, sampai sekarang, tak terasa sudah satu bulan berlalu. Olimpiade IPA tingkat SMA sederajat diadakan. Tempat diadakannya olimpiade ramai akan manusia dan diramaikan oleh berbagai merk bersponsor.
"Ramai sekali," Eren menatap ngeri lautan manusia di depannya.
"Memang. Tidak hanya SMA sederajat, ada SMP dan SD juga di gedung lain."
Sekarang mereka bertiga sedang bersiap di tempat yang sudah disediakan panitia. Petra, wali kelas mereka, sedang mengurus sesuatu dengan panitia. Erwin sebagai pendamping juga mengurus kelengkapan ketiga muridnya tadi.
"Kalau kita salah, pasti akan sangat memalukan."
"Kita sudah berusaha keras."
Eren berdecak, "Tapi tetap saja. Ini membuatku merinding. Armin, kau—"
Eren berhenti berkata. Armin terlihat suram. Tubuhnya tremor, keningnya terus mengeluarkan keringat, bahkan matanya hanya terlihat seperti kelereng kecil, "Bagaimana ini? Aku tidak pernah dikepung seperti ini. Bagaimana kalau kita kalah? Bagaimana kalau aku mempermalukan sekolah? Bagaimana kalau usaha kita sia-sia. Aku tidak mau."
"Hei, Armin tenanglah!" Eren menahan bahu Armin dan menekannya kuat, "Kita bisa. Kau pikir untuk apa kita belajar sampai larut malam setiap hari?"
"T.. t.. t... Tapi—"
"Ada apa?" Petra datang di saat yang tepat. Eren berucap syukur dalam hati.
"Armin, dia seperti terkena demam panggung."
Petra tertawa kecil dan menyodorkan ketiganya air putih dingin, "Dinginkan dulu kepala kalian."
"Ini musim dingin," Mikasa berucap tenang sambil menerima air.
"Yaa, bukankah kombinasi yang bagus untuk pendinginan kepala?" Petra terdengar kelabakan.
Eren mendengus dan meminum setengah dari air minumnya. Matanya bergulir ke sekitar mereka. Ada banyak sekali perwakilan dari berbagai sekolah. Ada beberapa yang Eren kenali dari desa setelah seleksi kedua. Mereka berkompetisi, tapi jika soal daerah, mereka seperti saling melindungi. Eren juga melihat perwakilan dari sekolah lamanya, tapi dia tidak mengenal murid tersebut. Padahal mereka seangkatan.
Pupil kembali bergilir. Matamya menangkap sosok berambut hitam legam berpotongan cepak di bawahnya. Sebagian air minumnya keluar dari botol, Eren tersedak.
"Eren? Kenapa?" Petra segera menepuk punggung Eren
Seketika mereka menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar, termasuk sosok yang Eren lihat tadi. Eren memejamkan matanya dan segera mengatur nafas, "S-sensei, mau air."
Petra mengangguk cepat, "Akan kuambilkan lagi. Kau tunggu sebentar. Tetap atur nafas," dan Petra segera berlalu.
"Eren, masih sakit?" Mikasa segera menyandarkan tubuh Eren di tembok.
"Sesak atau tidak?" Armin ikut khawatir.
Eren mengerutkan keningnya, "Kalian ini, jangan—"
Sebuah tangan terjulur kepada Eren dengan sebuah botol berisi air minum. Ketiga orang tadi mendongak dan melihat Levi sedang menyodorkan sebotol air, "Ini."
"Ah, terima kasih banyak, Sensei," Armin menerima botol tersebut dan membukanya, "Minum perlahan," lalu Armin perlahan menuntun Eren minum seperti seorang bocah.
Mikasa menatap Levi lekat, sementara Levi menatap Eren khawatir. Eren selesai minum. Bibirnya ia usap dengan lengan seragamnya. Ia tatap Levi dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Regret
Fanfiction"Yang aku tahu, guru pun membuat kesalahan yang lebih besar dariku." Eren Yeager, seorang murid pindahan yang mulai menyukai gurunya di hari pertama sekolah dan menginginkannya sejak surat peringatan pertamanya turun. Shingeki no Kyojin by Hajime Is...