Memori tentang Hidup

13 2 1
                                    

Ngiiiingg...

Aku merasakan sensasi aneh di hidung ku, mata ku mengerjap perlahan. Pandangan ku tetap hitam, sementara telinga ku berdenging

“Itu kenapa dia bisa pingsan?“ suara gaduh mengisi gendang telinga ku. Suara-suara panik manusia

Pandangan ku mulai pulih, berangsur tampak langit-langit putih perpustakaan. Dengingan nyaring tadi menghilang entah kemana. Ada beberapa orang mengelilingi ku, tentu dengan wajah kebingungan

“Aaa.. Aku kenapa?“ tanya ku linglung

“Kamu tadi jatuh dari tangga pas mau ngambil buku. Itu rak nya,“ seorang lelaki menjawab pertanyaan ku sambil menunjuk ke arah rak buku yang lumayan tinggi

“Tadi ada suara berdebam yang lumayan keras. Pas kutengok, ada orang pingsan,“ sahut seorang wanita yang juga ada disamping lelaki itu

“Ngg.. Maaf merepotkan. Aku berniat mengambilkan buku buat teman ku, tapi aku lupa aku takut ketinggian,“ ucap ku dengan nada meminta maaf

“Ah nggak apa-apa. Saya pamit dulu, jaga dirimu,“ ucap lelaki yang menolong ku tadi sambil melangkah menjauh

Aku mencoba berdiri, namun terasa berat. Daratan yang kupijak seakan berputar dan ingin membantingku. Sigap, tangan perempuan tadi memegangi ku

“Tenangin dulu diri kamu,“ ujarnya sambil menyodorkan Tumbler “nih, diminum dulu.“

“Terima kasih,“ balasku singkat sambil menerima Tumbler tadi.

Glek.. Glek.. Glek

“Aryo! Kamu udah bangun? Astaga bikin takut aja!“ teriak seorang wanita yang ternyata Ruri

“Nyebelin! Nakutin! Iihh!“ ucapnya

PLAK!!

“UHUK!“

Aku terbatuk, pukulan di punggung tadi sudah cukup bertenaga untuk mengeluarkan separuh nyawa ku. Air yang mulanya sudah mencapai tenggorokan seakan meledak keluar. Mulut dan hidungku basah oleh air

“Kamu issh, aku kan ga minta kamu buat ambilin buku. Kenapa nekat?“ cecar Ruri

“Aku cuma mau buat kamu senang hari ini,“ sahutku sambil mengelap wajahku memakai tisu

“Oh ya, maaf. Ini,“ ku sodorkan kembali Tumbler ke pemiliknya

“Hehehe, nggak apa-apa. Baik, aku permisi dulu. Ada tugas yang harus ku selesaikan,“ senyuman wanita tadi melengkapi kalimat lembut yang diucapkannya

“Eh??“

Sebuah rengkuhan hangat melingkari dada ku. Aku hanya terdiam ketika sepasang tangan lembut melingkari perutku, disusul sandaran kepala seseorang di pundak ku

“Kamu.. Kamu baik. Makasih ya udah ambilin aku buku itu tadi,“ ucap Ruri lembut

DEG!

Lagi, perasaan aneh itu muncul. Rasa tenang, bahagia, dan syahdu menyelimuti hati ku. Rengkuhan tadi, begitu nyaman

Insting ku menendang masuk. Aku yang terpaku diam karena terkejut mulai merespon. Perlahan, lengan ku mulai bergerak. Tangan ku memegang tangan Ruri dan meluncur sebuah kalimat yang bahkan tak pernah kupikirkan

“Jika rasa sakit ini muncul dalam perjuanganku membahagiakan mu, tak perlu ada hal bernama 'menyerah',“ ucapku lembut sambil menggenggam tangan nya, menikmati rengkuhan nya.

___________________________

Angin dingin menerpa kami. Ruri tampak masih memeluk ku, tapi terasa berbeda. Firasat ku mengatakan dia tidur

“Ru- oh sudahlah kamu tidur,“ sahut ku ketika melihat dia benar-benar tertidur

Aku mulai mencoba melepas pelukan nya, dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Tatapan mata ku segera terarah ke bantal duduk di ujung ruangan. Ku angkat Ruri dan berjalan perlahan membawanya, takut akan membangunkan nya.

“Tidur disini ya. Aku mau mencoba piano,“ ucapku sambil memposisikan Ruri di atas bantal duduk tadi, dengan hati-hati.

Langkah ku terayun ke arah piano besar itu. Kokoh, tua, dan memiliki aura magis yang menggoda. Tangan ku mulai menekan tuts hitam dan putih, menghasilkan melodi yang sangat nyaman didengar, setidaknya olehku. Horizon pandangan ku berputar dan membawa ku ke suatu tempat berhampar bunga, dibawah langit, diselimuti bintang yang begitu gemerlap.

Terus... Teruslah melangkah, layaknya melodi yang harus dituntaskan dalam sebuah musik. Semakin cepat... Cepat... Semua kembali seperti semula. Perpustakaan, Ruri, dan piano yang menjadi saksi. Aku kembali ke tempat awal kedatangan ku.

“Jam berapa ini?“ tanya ku keheranan “aduh, jam tiga sore.“

Aku dekati Ruri dan mencoba membangunkan nya, tetap saja tidak ada respon. Kucoba cara lain, hingga tiba-tiba aku merasa kehilangan kendali atas tanganku. Tanganku menyentuh pipi Ruri dan dengan lembut kubangunkan

“Ruri. Ayo bangun, kita pulang. Sudah sore,“ ucapku sambil tersenyum

“Hmm.. Oke.. Hmm? Waah kamu jadi nakal ya?“ balas Ruri sambil tersenyum menatap tangan ku

Segera kutarik tanganku, wajah ku memerah. Rasa malu memenuhi dadaku, membuat mataku sembab.

“Hehehe, makasih ya.. Udah gapapa, ayo pulang!“ ajak Ruri sambil berjalan ke arah tas dan mengambilnya

“Kamu.. Gak marah kah?“ tanya ku ragu

“Marah? Kenapa marah ke orang yang aku anggap pacar?“ jawab Ruri enteng “tapi bohong.“

Air mata yang terkumpul di sudut mataku pecah menjadi tawa yang tak tertahankan

_________________________________

Bus yang membawa kami pulang mulai menjauhi halte, meninggalkan kami di halte dekat rumahku. Ruri menatapku sambil tersenyum dan mulai berucap.

“Aryo, terimakasih ya,“ Ruri tersenyum manis

“Jangan kapok ya, besok kuajak lagi main. Titip ini buat ibumu ya,“ ucap Ruri sambil memberikan sebuah kotak bekal padaku

“Jangan lupa kasih ke ibu mu, awas aja kamu makan! Dah ya, dadah!“ sahut Ruri sambil berjalan menjauh

Langkah nya membuatku merasa tenang. Kutatap kotak tadi dengan senyum samar terlukis di wajahku, dan mulai melangkah pulang sembari menikmati senja

Terimakasih, untuk segalanya. Untuk pelukan hangat, senyuman manis, pukulan kasar, ataupun ajakan paksa mu. Terimakasih telah mendobrak 'tembok' yang telah kubangun, menarik ku keluar ke tempat yang lebih indah.

Cold Night: Night SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang