TERLAMBAT (TELAH DI REVISI)

430 44 3
                                    

Jika hadirku adalah suatu penyesalan. Maka tanyaku, kenapa aku di hadirkan?

HAPPY READING

Surai panjang sebahu itu terbang kesana kemari, peluh keringat telah membasahi dahi padahal hari masih pagi. Cukup kelelahan karena mencari-cari letak buku yang di inginkan. Hingga ia berdecak pelan.
"Ck! Dimana bukunya?"
Ia benar-benar sebal hari ini. Masih pagi dirinya telah mendapatkan masalah ia sangat yakin jika satu hari penuh ini akan mendapatkan masalah juga. Di cari-carinya buku itu ternyata berada di bawah meja belajar. Mungkin buku itu terjatuh tadi malam.

"Nah ini bukunya!" Icha nama gadis itu. Ia menuruni anak tangga dengan cepat karena sebentar lagi sopir akan mengantarkan Acha sekolah. Acha saudarinya, jika ia terlambat maka ia akan di tinggal oleh Acha. Dan barang mustahil jika Icha akan di antar oleh Ayah atau Ibunya.

Setelah tiba di lantai bawah. Icha termagu sejenak melihat ke harmonisan yang ada di meja makan. Canda tawa, gualan manja, bahkan sebuah siulan. Inisiatif ia untuk mendekat, hendak diri ingin menyapa namun berbeda ekspetasi yang membuatnya murung sejenak.

Mendekat dirinya dan pergilah mereka. "Mau kemana? Saya cuma mau ambil roti bukan mau ganggu keharmonisan keluarga cemara." tukasnya membuat sebuah tatapan sinis dengan desisan tak suka. Sesuai dengan apa yang ia katakan. Ia hanya ingin mengambil sebuah roti.

"Tapi kalau mau pergi yaudah pergi aja, gak masalah." Ia mengoleskan selai nanas pada rotinya. "Siapa yang nyuruh lo ambil selai nanas gue?!" Acha suadari kembarnya membentak seperti hendak memulai perdebatan.

"Gak ada yang nyuruh, inisiatif sendiri. Bukan punya kamu, yang ini saya minta sama Bi Ani untuk beli, mana berani saya mengambil apa yang di miliki oleh anak tersayang."

"ICHA!"

"Ya, kenapa? Gak perlu ninggin suara.  Iya saya berangkat sekarang." Ia meletakan bekalnya dalam kotak. Berangsur pergi dari pemandangan sahara yang membuatnya berdenyut panas. Menjadi pura-pura tergar ternyata semenyakitkan ini.

Icha membuang nafas berat. Denyutan di dada yang sedari tadi menjalar bisa ia lampiaskan dengan membuang bekal rotinya di halaman. Seketika terbayang-bayang suatu perkataan tentang tragedi di meja makan.

"Saya tidak pernah sudi makan di meja yang sama, di tempat yang sama dengan kamu! Pembunuh!"

"Gak! Icha bukan pembunuh ma. Icha gak pernah sedikit pun ada niat untuk mencelakai Gilang. Lagi pula Gilang masih hidup! Mana keadilan buat Icha, ma? Sejak kecil sampai sekarang Icha selalu di bedakan! Apa karena Icha bodoh? Hm?"

Suasana hati yang memanas dengan mata yang mengkabur di selimuti kabut. Denyut-denyut yang menggerogoti jantung menyentuhnya untuk tetap berusaha kuat. Dengan kedua telapak tangan yang terkepal kuat. Ia memukul angin sangkin geramnya.

Mengatur nafas perlahan setelah itu pergi dari pekarangan rumah. Berjalan sekitar 10 meter dari komplek perumahan garden untuk menunggu bus sekolah. Sudah tidak perlu di harapkan lagi jika ia akan datang ke sekolah bersama sopir.

Sial benar-benar sial. Sangat benar jika telah mendapat masalah dari pagi hari pasti akan berlanjut . Ia melirik Arloji di tangan ternyata bus sekolah telah lewat 10 menit yang lalu. Terpaksa ia memesan ojek online. Decakan demi  decakan ia lantunkan dari bibirnya yang tipis.

"Sesuai aplikasi ya, kak"

Tak henti mata melirik arloji lima menit lagi bel masuk akan berbunyi sementara ia masih di jalanan ia sangat yakin jika keterlambatan akan memihak padanya hari ini. "Bisa lebih cepat?"
"Bisa kak,"

Nyatanya meskipun telah menambah kecepatan. Ternyata ia masih terlambat. Gerbang sekolah telah di tutup rapat. Terpaksa ia harus membujuk satpam agar membuka kan gerbang sekolah yang menjulang tinggi di hadapannya ini.

"Pak, buka gerbangnya." Dia benar-benar payah, tidak tahu cara membujuk orang yang lebih tua.

"Telat? Tumben, kenapa?"
"Kesiangan pak, karena semalam marathon tugas pak."
"Sebenarnya bukan urusan saya tapi yasudah ayo cepat masuk!"

Akhirnya ia masuk ke sekolah saatnya menempuh masalah dengan bu Gladys jika bertemu. "Semoga gak ada bu Galdys" pintanya dengan bergumam.

Terburu-buru ia berjalan agar tidak bertemu dengan guru Killer itu. Hampir saja ia tersandung karena terus berlari. Sangat memalukan jika ia benar-benar tersandung tadi karena ada teman seangkatannya. Hm, teman? Tidak bukan teman. Siswa seangkatannya yang lewat dengan meneteng buku tebal.

"Sangat terburu-buru, Icha. Telat kamu?" Jederrr. Bagai tersengat listrik tubuhnya berhenti. Ia kenal jelas suara itu. Dia berbalik dan membagi senyum. "Bu gladys," sapanya.

"Telat nak?" tanya Bu Gladys basa basi. "Iya bu, telat 3 menit yang lalu. Alasannya, kesiangan dan kehilangan buku tugas bu. Juga tadi kelamaan nunggu ojek onlinenya, saya di hukum apa bu? Hehe" tidak gelagapan hanya saja seperti tertangkap basah mencuri uang seorang ibu.

"Bagus sadar diri, ayo berdiri di lapangan." Ajak bu Gladys dengan senyuman mengerikan. "Bu boleh request?" Bu Gladys terlihat mengangkat satu alisnya menyelidik. Ia bertanya dengan mengangkat dagunya. "Boleh ke kelas sebentar? Mau kumpulkan tugas pak bambang?"
"2 menit!" Icha segera berlari cepat menuju kelas. Setiba di depan kelas ia mengetuk pintu. Berharap jika hukumannya tidak di tambah oleh pak bambang.

"Permisi pak," seisi kelas menatapnya tajam dengan kerlingan mata sinis. "Hukum terlambat adalah di hu--" Icha memotong ucapan pak Bambang dengan cepat. "Hukum. Tapi pak, sebelum itu saya ingin mengumpulkan tugas saya kemarin lusa. Mohon di koreksi." Pak Bambang mau tak mau mengambil buku yang di berikan oleh Icha. Mengoreksinya dengan seksama sampai ia memicingkan matanya. "Benar, jadi siapa saja yang belum mengumpulkan tugas ini? Segera kumpulkan ke meja pak! Jangan pura-pura seperti tidak memiliki pekerjaan rumah!" karena Icha mengumpulkan tugasnnya pak bambang jadi mengingat jika kelas ini memiliki pekerjaan rumah di mata pelajarannya. Sekilas ia berterimakasih dalam hati pada Siswi ini karena mengingatkan.

Tatapan tajam dari penjuru kelas tertuju pada Icha semua. Mereka sangat berharap jika pak bambang lupa dengan Tugas dan ternyata Icha mengingatkan. Ia tidak peduli pula dengan tatapan tak suka itu. Yang terpenting sekarang adalah hukuman mereka.
"Jadi pak, hukuman saya masih berlanjut atau tid--?"
"Sekarang masuk kelas," ucap pak bambang. "Gak pak, saya dapat hukuman dari bu Gladys, saya permisi pak." Ia meletakan tasnya terlebih dahulu dan pergi ke lapangan. Bu Gladys masih menunggunya. Ini tepat 2 menit.

"Cepat laksanakan." Icha mengangguk seraya berjalan lesu ke lapangan.

***

SEKALI LAGI CERITA INI DI ROMBAK
TAPI TIDAK MENGHILANGKAN UNSUR UTAMANYA

ICHA, What About Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang