Chap. 8

2 1 0
                                    

Layaknya komedi putar yang menyajikan kegembiraan singkat, pun ketentraman kehidupan baru kami di Trafalgar Street harus berakhir.


Tak pernah terpikir, jika selama ini gerak-gerik kami telah diawasi.


Ketika memutuskan meninggalkan Giles Road dulu, kami tak pernah sadar, seorang kenalan lama telah membuntuti jejak yang kami tinggalkan. Dan hari itu, ia mengundang malapetaka untuk menenggelamkan kami ke lubang penderitaan yang lebih dalam.


Waktu itu, London baru saja memasuki musim dingin di pertengahan November. Karenanya, matahari terbenam lebih cepat dan perpustakaan tutup lebih awal.


Jika sudah begini, menikmati buku pinjaman di kamar apartemen yang hangat sambil ditemani segelas cokelat panas adalah pilihan terbaik. Jadi, sebuah pemandangan yang janggal, jika aku diketemukan masih duduk di bangku kayu dalam perpustakaan.


Decitan sol sepatu karet tua perlahan mendekatiku. "Kau belum pulang, Helena?" tanya Mr. Grissham dengan suara khasnya yang ringan.


"Entahlah, Sir. Kupikir, aku ingin duduk di sini sedikit lebih lama," jawabku sambil memainkan halaman buku.


"Tidak bisa Helena. Kita berdua harus segera pulang. Menurut prakiraan cuaca, malam ini akan ada badai salju yang buruk. Sebaiknya, kita berdua sudah tiba di rumah ketika badai itu datang," bujuknya dengan nada khawatir.


Aku menghela napas dengan berat. "Baiklah, Sir. Kukira, ibu juga akan khawatir jika aku masih di sini saat badai itu datang," aku menyerahkan buku yang kupegang ke tangannya.


Angin berembus cukup kuat begitu kami meninggalkan perpustakaan. Aku cukup bersyukur dan berterima kasih, keputusan lelaki tua ini tepat untuk mengantarku pulang. Bisa saja aku terseret angin jika tidak menggenggam tangannya yang hangat.


Begitu sampai di depan bangunan apartemen sederhana, beliau mengeratkan mantelnya, lalu pamit pulang. Sosoknya yang tegap mulai samar seiring langkah kakinya yang kian cepat. Ia berbalik sebentar, lalu melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya sebelum bergegas masuk ke apartemen.


Lift yang kugunakan berhenti di lantai lima. Pintu besinya terbuka dan mempersilakan aku keluar. Seperti biasa, koridor yang menampung delapan kamar itu sepi. Masing-masing pintunya menutup rapat.


Begitu berdiri di depan kamar nomor 506, kusadari, ada celah yang menganga dari sisi pintu. Nampak sengaja dirusak oleh orang berkekuatan besar.


Mendadak tubuhku kaku, merinding menjalar cepat dari tengkuk hingga memberikan rasa ketakutan yang mencekam. Di dalam keheningan itu, tak ada yang bisa kudengar selain degup jantung yang berdetak keras tak karuan.


Dengan keberanian seekor tikus got, aku mendorong pintu dengan mudah. Di dalam kamar yang dibiarkan gelap, aku dapat melihat ruangan kami berantakan.


Vas bunga di dekat pintu masuk pecah, menghamburkan bunga krisan kuning dan air ke lantai. Pigura-pigura foto yang tergantung di dinding tak lagi simetris, kacanya hancur dihantam sesuatu.


Televisi yang baru saja kami beli pun dibiarkan jatuh ke lantai dengan kabel terputus. Pakaian yang baru saja kurapikan berceceran di seluruh ruangan. Hingga akhirnya aku mendapati sesosok tubuh wanita bersimbah darah meringkuk di dapur kecil kami.


Ketika itu, tak ada hal lain yang bisa kupikirkan selain menelepon polisi untuk segera datang ke kamar kami.


Di tengah goncangan ketakutan dan tekanan mental, aku berusaha tegar mengambil gawai dari saku jaket dan menghubungi nomor darurat dengan jari yang terus bergetar. Tak menyadari kehadiran sosok bengis yang sejak tadi bersembunyi dibalik bayangan pintu lemari.

Helena, The Death WandererTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang