- 1 -

1.3K 82 39
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kenapa aku harus jatuh cinta pada keluarga menyebalkan ini?

Tangannya perlahan membuka pintu baja setebal 180 milimeter. Senter ponselnya menyinari bagian dalam kotak yang gelap, membantu mata memindai tumpukan berkas yang menggunung.

“Buku kuning,” gumam Gadis pada diri sendiri. Dalam kecepatan lima detik yang mengagumkan, jarinya menarik benda yang dicari. Giginya menggigit gawai. Matanya bergerak cepat membaca bundelan kertas besar bersampul kertas buffalo kuning. Lalu senyumnya tercetak lebar.

Sangat pelan, berusaha semaksimal mungkin tak membuat suara, tangannya kembali menutup brankas. Merunduk hingga nyaris merayap, Gadis mendekati pintu keluar. Telunjuknya sudah menempel di daun pintu berbahan kayu jati saat penyuara telinga nirkabel yang terpasang menangkap panggilan telepon.

“Halo?” bisik Gadis tanpa mengendorkan kewaspadaan. Dia menguak daun pintu. Suasana koridor masih sekosong seperti saat dia datang.

Ada perubahan rencana, My Little Girl.” Suara beraksen Inggris yang kental menyapa gendang pendengaran Gadis.

“Katakan!” Matanya melirik arloji. Kurang dari tiga menit lagi sistem kamera pengawas yang diretas Genta kembali normal. Dia masih punya cukup waktu.

“Aku berhasil mendapat tiket kelas satu untuk pulang. Tiga jam lagi kau harus ada di Bandara.”

Tungkai ramping yang sudah menjejak lantai granit koridor berhenti melangkah. Iris matanya yang berlapis lensa kontak kelabu membesar.

“Tiga jam? Yang benar saja. Aku masih harus ke gedung Hercules,” desisnya jengkel.

Dia kembali melangkah cepat. Jemarinya menjepit erat-erat bundelan kuning berharga. Di persimpangan koridor, dia mengambil lajur kiri dan masuk ke toilet lantai dua.

“Pokoknya tiga jam lagi pesawatmu mengudara. Tiket bisa kau ambil di ruang tunggu. Orang kita akan mengenalimu.”

Gadis tergoda mendaraskan sederet sumpah-serapah. Kondisinya sangat genting. Dia berhasil menghilang ke balik pintu toilet tepat saat waktu yang disediakan Genta habis.

Lampu indikator kamera pengawas kembali berkedip ceria. Pertanda bahwa peretasan anggota timnya sudah usai. Toilet tak terkunci. Hal yang sudah diprediksi Gadis sebelum menyusup masuk ke rumah megah ini.

Tangannya merogoh bawah wastafel dan melepas tas kecil ramping yang dilekatkan dengan lakban. Seringainya lebar menyadari kecerobohan  pelayan rumah yang tak menyadari keberadaan benda asing itu. Tak membuang waktu, dia segera berganti kostum dalam kecepatan mengagumkan.

Kaus turtleneck dan celana ketatnya dalam sekejap berlapis gaun pesta tertutup semata kaki. Buku kuning terselip aman di bagian punggung, tertutup potongan gaun longgar warna merah muda. Dia menggerai rambut, melepas lensa kontak, dan mengganti mode telepon nirkabel ke manual.

“Jakarta macet jam segini. Aku tak bisa tepat waktu tiba di bandara. Butuh sejam ke sana.” Gadis mengoleskan lipstik. Bibirnya mendecap-decap. Sempurna.

“Besok saja aku pulang. Toh, jadwalku masih panjang.”

Gadis berjalan keluar. Senyumnya terkembang lebar pada pasangan yang berdiri di ujung lorong. Dia mengabaikan gestur mesra keduanya dan melangkah ringan menuruni undakan tangga. Semakin ke bawah, ingar bingar musik terdengar keras.

“Pulang sekarang!”

“Tidak mau. Gedung Hercules jauh.” Gadis melambaikan tangan pada kerumunan pemuda di dekat minibar. “Aku tak mau pergi terburu-buru.”

Dia lalu bergabung dengan kemeriahan pesta ulang tahun teman barunya. Keluarga Karundeng tak pernah setengah-setengah mengadakan pesta. Klan jutawan asal Sulawesi itu gemar menghamburkan uang demi kesuksesan tiap acara mereka. Di ulang tahun ke-17 Jennifer Karundeng kali ini, estimasi Gadis tak kurang dua milyar digelontorkan untuk menjamu para tamu.

“Pulang tiga jam lagi, atau ....”

“Atau apa?” Gadis melempar tantangan. Netranya memindai cepat celah-celah jalan keluar. Sangat mudah melewati centeng- centeng keamanan tanpa kekuatan mumpuni di depan sana.

“Surel sudah kukirim ke ponsel Karundeng.”

Gadis membeku. Tubuh mungilnya berdiri kaku di jalan menuju foyer. Punggungnya meremang karena kepingan informasi di seberang telepon.

“Kau punya waktu sepuluh detik sebelum alarm keamanan berbunyi. Pria itu pasti suka menyeret tamu anaknya ke penjara.”

“Sial!” Gadis mengangkat ujung gaun. Sebisa mungkin berjalan cepat tanpa menimbulkan kecurigaan.

“Berani mengumpat, My Little Girl? Uang sakumu akan kupotong satu minggu.”

Sial! Sial! Sial!

Gadis mematikan sambungan telepon dan memasukkan gawai ke tas tangan. Alarm meraung kencang memecah kebisingan pesta. Tubuh mungilnya lincah menyelinap di antara segerombol tamu di pintu masuk.

“Ini baru detik ketujuh. Kenapa sudah dibunyikan?” gerutu Gadis.

Dia berpapasan dengan tim keamanan yang menerobos masuk. Ikut memasang wajah panik sebagai bagian dari akting, Gadis ikut berlari keluar bersama orang-orang. Ekor matanya menangkap pergerakan Jennifer Karundeng yang dilindungi ketat oleh pria-pria gempal berpakaian batik.

“Awas saja jika uang sakuku berani kau potong.” Gadis menggeram kesal.

Ekspresi paniknya berganti raut muka datar setelah tiba di parkiran. Dia memasuki sedan hitam berkaca gelap setelah lebih dulu melepas stiker di pelat nopol. Mobil itu melaju dalam kecepatan normal keluar kompleks perumahan mewah tempat hunian Karundeng.

Satpam yang berjaga di pos tak memedulikan kendaraan yang keluar. Mereka lebih sibuk menonton pertandingan bola di layar televisi kecil. Gadis hampir tertawa keras dengan keberuntungannya. Namun, tenggat waktu yang diberikan semena-mena membuatnya mengurungkan segala bentuk tawa.

Kakinya menekan pedal gas dalam-dalam. Sedan yang dikendarainya meraung kencang memasuki Jalan Pangeran Antasari. Lalu melewati bundaran dan bergabung dengan keramaian Jalan Wijaya. Beberapa kilometer kemudian, Gadis berhenti tak jauh dari Royal Kuningan Hotel.

Seorang pria berjaket gelap dengan helm full face berdiri tepat di pinggir jalan. Pin bunga emas tampak mencolok di antara kostumnya yang serba gelap. Dengan kode lampu, dia memberi petunjuk pada pria yang menunggunya.

“Hercules tinggal di mana?” Gadis membuka kaca mobil.

“Gunung Olympus masih terbakar.” Pria itu mengulurkan amplop cokelat tebal.

Gadis mengangguk. Pria misterius itu mengucapkan sandi pertemuannya dengan klien berkode Hercules. Dia menukar buku yang dicurinya dengan amplop cokelat tebal, mengintip isinya sekilas, dan menyunggingkan senyum lebar.

“Senang berbisnis denganmu, Hercules.” Gadis melambaikan telunjuk dan jari tengah ke pelipis. Tanpa menunggu balasan si pria misterius, dia segera meninggalkan lokasi pertemuan.

Dari kejauhan, matanya menangkap siluet gedung Merah Putih KPK yang megah. Siulannya panjang. Telunjuknya menyalakan radio mobil. Semenit kemudian kepalanya sudah terangguk-angguk mengikuti ketukan lagu Mikha Angelo.

Sayangnya, keasyikan Gadis menikmati suara merdu musisi lokal itu terinterupsi panggilan telepon. Layar gawainya menunjukkan nomor asing. Begitu dia menggeser ikon hijau, suara menggelegar Genta mengalahkan audio mobil.

“Tukar mobilmu, Gadis!”

“Apa? Kenapa?” Gadis sedikit kebingungan. Dia memelankan laju kendaraan, membiarnya dirinya disalip mobil-mobil lain.

“Karundeng sudah bergerak. Dia punya kontak di kepolisian. Ada operasi dadakan di dekat Semanggi.”

“Apa?” Gadis terbelalak. “Papa buat ulah lagi?”

“Tak penting ulah siapa. Jangan pakai sedanmu. Mobilmu sudah dikenali.”

“Aku sudah tukar pelat nopol,” sanggah Gadis.

“Kau pikir ada berapa orang yang naik Audi ke bandara, hah?”

Gadis meringis. Dia sengaja menggunakan mobil mewah untuk datang ke pesta elite Jennifer Karundeng. Sekarang keputusannya itu jadi blunder.

“Tak perlu ambil barang. Aku sudah bereskan hotel. Kita bertemu di bandara.”

Gadis mendesah keras. Dipukulnya roda kemudi kuat-kuat. Masih dengan posisi menyetir mobil, dia memakai sarung tangan karet dan bergerak cepat membersihkan seluruh sidik jari di setir dan jendela mobil.

Begitu puncak hotel Grand Sahid Jaya terlihat, Gadis menyalakan lampu sein. Dia berbelok ke kiri, memasuki pelataran parkir, dan menghentikan mobil di antara deretan SUV dan city car yang terparkir. Sangat cepat dan tak mencolok, si mungil itu melenggang keluar. Penuh percaya diri dia melewati gerbang depan dan berjalan beberapa puluh meter sebelum menghentikan taksi.

“Terminal tiga bandara Soekarno Hatta,” perintahnya dalam logat bahasa Indonesia yang sangat fasih. Kemudian menyodorkan setumpuk uang kertas merah merona. “Dan bisakah sedikit mengebut? Aku harus mengejar penerbangan.”


-o-


“Itu mobil yang sangat mahal, Genta. Dan aku harus membuangnya begitu saja?” Gadis tak henti mengeluh. Jaraknya dengan petugas imigrasi tinggal beberapa meter lagi. “Kau yakin tak ada masalah dengan paspor kita?”

“Papa tak mengusik sampai ke situ,” jawab Genta yakin. “Lagi pula tak ada yang kenal dirimu di sini. Kau pakai nama apa saat bersama bungsu Karundeng?”

“Megan Domani.” Gadis mengangkat alis malas-malasan.

Genta menahan tawa. Nama samaran yang dicomot perempuan itu  membuatnya geli. Lelaki yang lebih tinggi sekepala dibanding Gadis menyeret koper mengikuti asisten pribadi yang khusus menjemput penumpang kelas satu.

Pemeriksaan paspor berjalan mulus. Mereka tak banyak bicara hingga selesai boarding. Baru setelah duduk di kursi nyaman kabin pesawat, Genta mengetik pesan singkat ke ponsel adiknya.

Jangan coba-coba kabur di Amsterdam.

Alis Gadis terangkat tinggi. Tatapannya heran. “Ada apa di Amsterdam?”

“Pesawat kita transit di sana.” Genta melempar senyum pada pramugari cantik berseragam oranye. Wanita semampai itu tengah berjongkok menyiapkan sandal imut untuk Genta.

Gadis memutar bola mata. Dia tahu persis apa yang ada di pikiran lelaki itu melihat seorang wanita cantik berjongkok. Demi mengalihkan risiko tuduhan pelecehan lewat mata, Gadis memukul pelan lengan kakaknya.

“Kenapa aku tak boleh kabur di Amsterdam?”

“Karena kau akan dijodohkan.”

Gadis mengerjap. Genta melongo. Perlahan-lahan wajah keduanya berubah syok berat.

“Jangan turun!” Genta mencengkeram pergelangan tangan Gadis seolah bisa menebak jalan pikiran adiknya. Lelaki itu sadar telah melakukan kesalahan fatal.

“Kau tak waras, ya?” desis Gadis marah. “Apa maksudmu dijodohkan?”

“Tanya sendiri ke Papa.”

“Genta!”

I’m so sorry. Aku keceplosan. Harusnya ini jadi kejutan untukmu di London.” Genta menepuk-nepuk lembut punggung tangan Gadis. Dia melonggarkan pegangan karena suara pilot terdengar dari pelantang kabin.
“Pesawat siap berangkat. Kau tak mau merepotkan banyak orang dengan turun begitu saja, kan?”

“Sialan, kau!” Mata Gadis nyalang. “Kau bersekongkol dengan Papa, ya?”

Genta mengangkat bahu. “Sejujurnya ini ide Mama. Praktikkan teori meditasimu, Gadis. Karena Papa tak akan melepaskanmu kali ini.”


-o-

Halo, berjumpa lagi denganku si author gaje. Kali ini kita akan berjalan-jalan bersama Gadis, cewek blasteran Indonesia-Eropa yang punya profesi unik.

Penasaran? Kuy, ikuti terus jalan ceritanya, ya. 😉

Gadis Alex (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang