Ucapan Genta terus terngiang di telinga. Selama penerbangan dari Amsterdam ke London, Gadis terus memikirkannya. Juga saat pesawat mendarat di bandara Heathrow, benak perempuan itu masih terus berkecamuk.
“Aku ke rest room dulu.” Gadis beranjak cepat setelah mengambil koper. Gerakannya gesit dan tangkas meliuk di antara kerumunan orang. Pemberitahuannya yang mendadak tentu disengaja agar Genta tak sempat menghalangi.
“Gadis!” Suara keras Genta teredam bising percakapan orang.
Gadis mengabaikannya. Dia terkikik geli. Jangan harap bisa menahannya. Dia tak mau menerima perjodohan itu dan Papa—juga keluarganya—harus menerima keputusan Gadis.
Hanya saja, Gadis tak memprediksi munculnya variabel lain. Dia begitu bersemangat bebas dari pantauan sang kakak hingga sedikit lengah. Sosok kaki asing tiba-tiba menjegalnya dari balik tiang besi berwarna perak. Tubuh Gadis terhuyung, hampir terjerembab jika tak ada lengan kokoh yang menahan.
Masalahnya, sang pemilik lengan itu adalah orang yang sangat ingin dihindarinya. Gadis terbelalak melihat sang papa menahan pergerakan si putri bungsu agar tak kabur.
“Untung saja aku siap siaga.” Aksen Inggris kental menyapa gendang telinga Gadis.
“Papa?” Gadis mendesis jengkel. Sorotnya sangat tajam pada pria yang membuatnya hampir tertangkap petugas keamanan di rumah Karundeng. “Papa sengaja melakukannya, ya?”
“Melakukan apa?”
Gadis baru membuka mulut hendak menjawab saat ekor matanya menangkap Genta yang berlari-lari. Napas lelaki itu ngos-ngosan.
“Bagus, Pa! Hajar saja Gadis. Dia terus membuatku repot sejak di Indonesia.”
Gadis melempar tatapan maut ke arah Genta. Lelaki itu balas mendelik kesal. Adu tatapan kakak-adik itu pasti akan segera berlanjut ke baku hantam jika Papa tidak menengahi.
“Mencoba kabur, Gadis?” Papa bersedekap.
“Siapa yang tidak?” gerutu Gadis. “Aku sedang mempertaruhkan nyawa saat Papa seenaknya memberitahu Karundeng.”
“Tak ada nyawa yang dipertaruhkan.” Pria itu menyela.
“Ada! Apa Papa rela aku digelandang polisi karena tertangkap basah mencuri satu bukti kejahatan Karundeng?” Gadis menendang koper birunya. Benda persegi itu menggelinding pelan ke kaki Genta.
“Kau sudah tahu tentang perjodohan itu?” Papa menatap tajam si anak bungsu, lalu beralih pada si sulung.
Genta mengalihkan pandangan. Di matanya toko-toko yang berderet sepanjang bandara lebih menarik minat dibanding harus menghadapi satu tatapan sang papa. Dia keceplosan dan sepertinya Papa tak akan menoleransi hal itu.
“Genta yang bilang,” ujar Gadis ketus. “Dan aku menolaknya.”
“Kenapa?” Papa memberi isyarat untuk pergi. Dua anaknya mengekor dengan Gadis yang terus mengentakkan kaki jengkel. Mereka masuk ke SUV hitam yang terparkir tak jauh dari pintu masuk.
“Papa, kita hidup di zaman modern. Perjodohan hanya perilaku kuno.”
“Tak ada relevansi antara perjodohan dan zaman.” Pria tinggi berambut cokelat gelap mengemudikan mobil hitamnya. Dia punya persediaan sabar melimpah untuk menghadapi si bungsu yang tengah merajuk. “Kulihat bacaanmu sangat banyak. Kau pasti tahu berita pernikahan dua konglomerat negara ini akhir tahun kemarin?”
Gadis tentu tahu. Dua pengusaha papan atas Inggris Raya yang menyatukan imperium bisnis mereka melalui pernikahan putra-putrinya.
“Dan mereka bercerai tiga bulan kemudian.” Mata Gadis berkilat-kilat membangkang, menghunjam tajam ke arah sang papa melalui kaca spion atas.
“Yah, setiap jodoh tak bisa ditebak akhirnya. Mereka memang tak bisa dijadikan contoh, tapi calonmu kali ini bisa.”
“Papa!” Gadis berteriak keras. “Aku menolak perjodohan ini. Pokoknya aku menolak! Aku masih muda. Aku masih harus ....”
“Tak ada debat, Gadis Gavina Farrer.” Suara dingin Papa membungkam protes Gadis.
Perempuan itu menciut di kursi mobil. Alamat buruk jika Papa sampai menyebut nama lengkap anaknya. Pria itu jarang marah. Namun, sekali marah efeknya luar biasa menyeramkan.
Mobil mulai memasuki Central London. Selama perjalanan berdurasi tiga puluh menit itu, suasana dalam mobil sunyi senyap. Genta pilih meneruskan tidur. Papa berkonsentrasi penuh ke jalan raya. Sementara Gadis sibuk melamun.
Papa termasuk orang tua yang demokratis. Mereka menghormati setiap keputusan anak-anaknya. Diskusi telah menjadi kebiasaan mendarah daging dalam keluarga Farrer. Karena itu, sangat mengherankan saat Papa mengambil keputusan secara sepihak seperti saat ini.
Ada sesuatu yang aneh. Gadis mencium kejanggalan dari rencana perjodohannya. Namun, dia cukup bijak untuk tutup mulut. Kemarahan Papa harus ditenangkan dulu sebelum dia mencoba mengorek informasi.
SUV hitam itu berbelok ke kiri melewati Linden Gardens, lalu ke kiri lagi menyusuri Linden Mews. Roda mobil menggelinding pelan di aspal mulus sebelum berhenti di depan gedung lima lantai bercat putih dan krem muda.
“Ada Mama di dalam,” kata Papa saat keluar mobil.
Alis Gadis terangkat tinggi. Oke, ini pertanda buruk, gumamnya dalam hati. Tak biasanya dua orang tuanya datang bersamaan ke Westminster. Biasanya dia atau Genta yang harus pergi ke Wembley menemui kedua orang tua mereka.
Firasat Gadis makin buruk saat menapaki tangga ke lantai dua. Telapak tangannya berkeringat. Pegangan tangga dari kayu mengilap itu terasa licin. Gadis menelan ludah, menenangkan debaran jantung, dan memerintahkan kaki berhenti gemetar.
“Kami pulang!” Genta berteriak nyaring di apartemen Gadis.
Letak apartemennya sendiri hanya di depan unit milik adiknya. Praktis menjadikan mereka tetangga. Namun, hunian yang sering dituju Papa atau Mama saat berada di Notting Hill adalah milik Gadis.
Gadis membeku. Di depan konter dapur berwarna kelabu, berdiri seorang wanita semampai tersenyum manis pada dua anaknya. Rambut hitam sepunggungnya tergerai alami. Usia tak menggerus kecantikannya, justru makin memperkuat aura paripurna mamanya.
Wanita ini yang berhasil membuat Papa tergila-gila. Gadis tersenyum haru. Dia menghambur ke pelukan sang mama, melepas kerinduan setelah hampir satu bulan tak bersua.
“Lancar perjalanannya, Sayang?” Mama mengelus punggung Gadis.
“Papa hampir membuatku tertangkap.” Gadis mengadu.
Kekehan Mama ibarat musik merdu bagi keluarga itu.
“Kau terlalu lama di Indonesia. Berminggu-minggu kau di sana. Kenapa butuh selama itu untuk mengambil satu berkas saja?”
“Aku harus mendekati anak Karundeng dulu. Pengamanan di rumah itu sangat ketat. Tak mungkin aku menyusup masuk tanpa persiapan.” Gadis melepas pelukannya. “Maaf, Mama. Tak ada oleh-oleh. Kami pergi terburu-buru.”
“Tak apa-apa. Kita masih bisa mudik ke sana tahun depan. Nah, makan dulu? Mama sudah siapkan rendang kesukaanmu.”
“Mama buat rendang?” Gadis dan Genta terbelalak tak percaya.
Tanpa sempat berganti baju, keduanya langsung menyerbu ruang duduk. Deretan piring penuh makanan tertata rapi di atas meja.
“Kulkasmu menyedihkan sekali, Sayang. Berapa kali Mama bilang, jangan sering makan makanan beku. Kamu harus memasak.”
“Gadis kan, tak bisa masak, Ma?” Genta menyuap sepotong besar daging. “Bisa meledak dapur jika dia memasak. Microwave lebih aman untuknya.”
Mama berdecak keras menimpali seloroh si sulung. Dia membuka lemari penyimpanan dan kembali mengomel.
“Ini juga tak ada apa pun di sini. Kamu tak boleh boros. Simpan barang-barangmu yang masih bisa dipakai. Jangan sedikit-sedikit beli.”
Gadis menelan kunyahan dagingnya. Rasa rempah-rempah yang sangat kuat tertinggal di lidah membuat ketagihan.
“Aku tidak sedikit-sedikit beli, Ma.” Tangannya kembali mencomot sepotong daging berbalur bumbu cokelat. “Lagipula, kenapa aku harus menyimpan yang lama jika bisa mencuri yang baru?”
Semua aktivitas di apartemen kecil itu terhenti. Genta, Papa, dan Mama sama-sama menatap Gadis. Perempuan itu balik memandang dengan heran.
“Apa? Kenapa?” tanyanya bingung.
“Gadis memang harus segera dinikahkan.” Mama membanting pintu lemari penyimpanan. Langkahnya panjang-panjang menghampiri sang anak. “Kali ini kau tak boleh menolak, Sayang.”
Rendang lezat olahan mamanya dengan cepat kehilangan pesona. Gadis mencengkeram garpu kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia tak pernah melawan mamanya, tapi kali ini Gadis tak tahan lagi.
“Aku tak mau, Ma. Aku masih muda. Aku butuh banyak kebebasan berekspresi. Suami akan memenjarakanku. Selain itu, profesiku pasti akan menjadi sumber pertengkaran kami kelak.”
“Justru karena profesi ilegalmu itu, Sayang, maka kami merencanakan perjodohan ini.”
Bahu Gadis menegang. Dengusan napasnya kasar. Matanya setengah menyipit. “Ada apa dengan profesiku? Kalian selama ini tak pernah melarangku melakukan hal itu.”
Mama menatap dingin anak bungsunya. Tanpa banyak kata, dia berjalan ke meja dapur dan mengambil amplop cokelat besar dari tas. Dilemparnya amplop itu ke pangkuan Gadis.
“Mama mendapatkan berkas itu dari salah satu kolega. Kasus pencurianmu di rumah putra Duta Besar hampir terlacak polisi. Beruntung kami bisa mengalihkan bukti.”
Gadis mengerjap. Itu pekerjaannya beberapa bulan lalu. Seorang mantan kekasih meminta bantuannya untuk mengambil rekaman aktivitas intim mereka. Gadis tentu bersedia karena si mantan berdalih video itu bisa menjadi skandal perusak kariernya.
Sayangnya, pemilik video itu punya koneksi cukup besar. Tanpa terekspos media massa, dia mengerahkan orang untuk memburu sang pencuri. Sepertinya dia menggunakan jasa detektif profesional. Karena Gadis sangat yakin polisi biasa tak akan mampu melacak keberadaannya.
“Hobimu bisa membuat kami kena serangan jantung, Sayang. Dulu kau hanya mengambil klien-klien kecil. Sekarang banyak benda yang kau ambil tak bisa disebut barang murahan lagi. Resikonya sangat besar jika membiarkanmu terus berkecimpung di dunia ilegal itu.”
Papa angkat bicara. Mama mengangguk setuju. Gadis terperangah.
“Kami mungkin terdengar kolot, tapi tunangan bisa menjadi pengendali kelakuanmu.” Mama menghela napas panjang. “Sejauh ini kau tak pernah terlihat dengan satu lelaki pun.”
“Ada Lucas,” potong Gadis menyebut sahabatnya.
“Dia tak masuk hitungan. Lucas sudah seperti keluarga sendiri.”
“Ma? Aku tak bisa melakukannya.” Gadis merengek.
“Kami sudah memberi banyak toleransi padamu, Gadis. Kau ingin menunda kuliah, kami setuju. Kau ingin tinggal di tempat dari hasil jerih payahmu, kami pun setuju. Sekarang kau yang harus menyetujui pilihan kami.” Mama mengultimatum.
Gadis terbelalak. Sosok wanita keibuan dengan tingkat kesabaran setara Dewa Olimpus itu sirna sudah. Di mata Gadis saat ini, Mama adalah orang paling menyebalkan sedunia. Dadanya terasa sesak oleh emosi yang menggelora.
“Kurasa pembicaraan hari ini tak ada gunanya. Lebih baik aku pergi.”
Gadis bangkit dari sofa kelabu tua. Tangannya sudah berada di kenop pintu saat sebilah pisau komando melayang tepat di sebelah telinga perempuan cantik itu. Kemudian menancap tepat di daun pintu berbahan kayu.
“Kau nekat pergi, jangan harap bisa kembali pulang.”
Gadis tersentak kaget. Suara berat papanya menggedor hati. Sangat perlahan dia menoleh. “Papa ... mengusirku?”
“Kami semua mencoba melindungimu, tapi kau tak menghargai usaha keluarga ini.” Papa berkata dingin. “Terima perjodohan ini, Gadis Gavina Farrer. Atau ....”
“Atau apa, Pa?” tantang Gadis.
“Angkat kaki dari apartemen ini sekarang juga. Buktikan kesombonganmu pada Papa. Kau bisa hidup dengan hobi burukmu itu.”-O-
Duh, Gadis. Kenapa tidak terima saja perjodohannya, sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Alex (TAMAT)
Romance° Budayakan follow author sebelum baca ° ° Silakan filter sendiri bacaan Anda ° Apa jadinya jika seorang pelanggar hukum dipaksa menikah dengan penegak hukum tampan? Ini kisah Gadis Farrer, perempuan blasteran Inggris-Indonesia, yang berprofesi men...