- 5 -

396 49 14
                                    



Pekerjaan Gadis tak mudah. Bar yang dimasukinya memang terlihat bobrok dan berada di gang tersembunyi. Namun, pengunjungnya tak pernah sepi. Hal itu disadari Gadis setelah sepuluh menit dia berseliweran mengantar minuman.

Meski cuaca cukup dingin di luar, tapi peluh membanjir deras di tubuh. Keringatnya sudah serupa lem, membuat sweater merah jambu yang dikenakannya menempel di punggung. Suasana pengap dan menyesakkan dari asap tembakau membuat kepalanya pusing. Aroma whiski dan bir menyeruak di tiap sudut ruangan. Gadis bahkan seolah mengalami halusinasi karena merasa bau minuman keras itu tak henti mengikutinya.

“Capek?”

Gadis melempar senyum kecut pada rekan kerja barunya. Seorang pemuda berambut pirang dengan banyak bintik di hidung. Namanya James dan kemampuannya meracik minuman sangat hebat.

“Menurutmu?” Gadis balas bertanya. Dia menyelinap ke belakang meja bar dan meraih botol air mineral. Ditenggaknya cairan bening itu. Lumayan melegakan tenggorokan.

“The Arms memang populer.” James menuang tiga pint [1] bir dan memberikannya ke seorang pelayan lain.
Gadis menatap linglung rotasi minuman dan makanan di bar. Selain dirinya, ada satu pelayan lain yang bertugas mengantar pesanan bernama Katherine. Sikapnya kurang bersahabat, tapi Gadis tak ambil pusing. Toh, dia tak berencana kerja permanen di sini.

Lalu James si bartender, Diego sang imigran yang menjadi koki di dapur, terakhir adalah Philip sendiri yang bertugas di meja kasir. Philip Green adalah pria paruh baya pemilik bar terpencil The Arms.

“Aku hanya tak menyangka akan seramai ini.” Gadis melirik arloji. Setengah jam lagi waktunya tutup.

“Mr. Philip sangat ramah dan punya banyak teman. Wajar jika usaha rumah minumnya tak pernah sepi.” James menyodorkan segelas kecil cairan merah muda. “Untukmu.”

Gadis menggeleng. Dia mengacungkan botol air mineralnya. “Saat bekerja aku lebih suka tetap sadar alih-alih mabuk.”

“Ah, kau tak kuat minum rupanya?” ledek James. Dia menghabiskan sendiri pink lady [2]  buatannya.

“Aku kuat minum, kok,” sanggah Gadis tanpa merinci ucapan. “Aku hanya tak ingin mabuk di hari pertama kerja.”

Kerut di dahi James menerbitkan tawa Gadis. Dia menyapukan pandangan ke sekitar bar. Pengunjung sudah mulai sepi. Hanya ada tiga pria besar yang menempati dua meja. Katherine juga tampak bersantai di pojok ruang. Gadis perlahan mendekati James.

“Apa Mr. Philip akan marah jika aku keluar sebentar untuk menelepon?” tanya Gadis.

James menggeleng. “Jika ketahuan, bilang saja kau sedang bertengkar dengan pacar psikopatmu.”

Gadis terkikik geli. Bergegas dia pergi ke dapur. Diego terlihat merapikan kotak-kotak bumbu. Perempuan itu hanya melambaikan tangan dan terus berjalan ke pintu belakang.

Hawa dingin London langsung menyergapnya begitu membuka pintu. Suhu lima belas derajat itu membuatnya menggigil, tapi efektif mengeringkan keringat di tubuh.

Gadis menggeser layar ponsel dengan hati terluka. Baru kali ini keluarganya tak memedulikan nasib si anak bungsu. Biasanya dia selalu mendapat puluhan pesan instan dari Papa, Mama, dan Genta. Sekarang nihil. Seolah ketiganya bersekongkol untuk mengasingkan Gadis.

Perempuan itu menggigit bibir. Kepalanya bergerak ke kanan-kiri, menghalau rasa kecewa yang bercokol. Dia kembali memainkan layar gawai dan melakukan panggilan ke nomor Lucas.

“Love, kau di mana sekarang?” Suara serak dan dalam Lucas menyapa di seberang sambungan telepon.

Gadis meringis. Siapa yang sudah memberitahu Lucas? Genta atau Mama? Gadis yakin bukan Papa karena pria itu sangat antipati pada Lucas.

“Aku kerja di The Arms.”

“Apa itu?”

“Bar kecil di Kensington.”

“Bar? Kau kerja di bar?”

Gadis tak sadar melotot. Memangnya apa yang aneh dengan dirinya bekerja di bar? Dia bisa saja mengutil sana-sini. Namun, Gadis tak mau menurunkan derajat jadi pencuri rendahan hanya untuk mendapat uang. Dia adalah penjarah elite yang mencuri barang-barang prestisius. Kecuali sore tadi tentu, saat dia terpaksa mencopet dompet orang asing.

“Tak ada yang salah dengan kerja di bar,” gerutu Gadis.

“Pulang ke apartemenmu, Love. Genta meneleponku dan menanyakan posisimu.”

Jadi kakaknya menghubungi Lucas, tapi tidak menghubungi dirinya? Gadis berdecak kagum pada ketololan Genta. Lelaki itu sepertinya punya gengsi terlalu tinggi untuk menghubungi adik sendiri.

“Aku tak bisa. Genta pasti sudah cerita kalau aku dijodohkan, kan?”

“Dengan Profesor Ortega? Tentu saja.”

Kening Gadis berkerut. “Kau kenal dia?”

“Tentu saja. Dia pernah mengisi kuliah di sini sebagai dosen tamu. Profesor Ortega seorang kriminolog, Love.”

Gadis mematung. Bahkan cuaca dingin London di ujung malam masih kalah membekukan dibanding potongan informasi Lucas. Wajahnya memucat. Spontan Gadis mencengkeram erat gawainya.

“Papa gila!”

Halo, Love? Kau bilang apa?”

“Tidak ada,” jawab Gadis kaku. Rasa terguncang masih mendera. Sekarang dia bisa mengerti keanehan perjodohan ini.

Papa dan Mama ingin membuatnya terpasung. Mereka pasti sengaja mengirim kriminolog untuk menjejalkan ide-ide kebaikan ke otaknya. Gadis mendesis sinis. Bagaimana bisa dia begitu naif? Ternyata selama ini kedua orang tuanya tak pernah mendukung profesi Gadis. Cara cepat untuk menghentikannya hanya dengan memberikan suami seorang ahli kriminal.

Jangan-jangan si Ortega itu juga polisi yang menyamar. Gadis menggeretakkan gigi. Dosen kriminal berkencan dengan seorang pencuri? Dunia pasti sudah kiamat.

“Love, berdamailah dengan orang tuamu. Kukira keputusan mereka baik."

“Apa maksudmu baik?” Gadis menyipitkan mata. Selama ini tak ada yang mengetahui sepak terjangnya selain keluarganya sendiri. Lucas tak mungkin mencurigainya, kan?

“Yah, kau tak pernah terlihat berkencan. Menjajaki suatu hubungan tak terlalu buruk. Profesor Ortega tangkapan bagus. Orang tuamu pasti bangga bisa dapat menantu seperti dia.”

“Memangnya ada kolam pemancingan untuk hubungan asmaraku?” Gadis sewot. Mendadak, terbersit ide cemerlang dalam otak. “Hei, Lucas?”

“Tidak!”

“Aku belum selesai bicara,” protes Gadis. “Bagaimana jika kau jadi pacar pura-puraku? Yah, agar Papa dan Mama tak menggerecokiku soal perjodohan ini?”

“Jawabanku tetap tidak. Orang tuamu tak akan percaya pada kita.”

Gadis memijat pelipis. Matanya terpejam rapat. Ujung-ujung jarinya yang terbungkus sepatu mengetuk-ngetuk halaman gang sempit.

Ucapan sahabatnya benar. Selama ini tak pernah ada romansa terjalin di antara mereka. Mau meminta Lucas jadi pacar pura-pura juga tak akan berhasil. Lelaki sebaya dengannya itu juga sudah punya kekasih yang berkali-kali lipat lebih seksi dibanding Gadis.

Seorang Gadis Gavina Farrer bukan tipe yang dicari Lucas Wildblood. Memang menyebalkan, tapi itu faktanya. Gadis menyemburkan napas keras. Kepalanya pening.

“Turuti orang tuamu. Aku janji akan mendukungmu.”

“Pembohong!” Gadis menendang pinggiran tong sampah. Benda itu berkelontang di kesunyian tengah malam. Dia mematikan telepon, tak menggubris Lucas lagi.

Berderap marah, Gadis kembali ke bar. Pengunjung sudah menghilang. Katherine tak tampak batang hidungnya. Philip dan James tengah membersihkan meja-kursi. Gadis tahu diri. Tangannya menyambar serbet kemudian mengelap meja-meja yang masih kotor.

“Segera istirahat jika sudah selesai.” Suara Philip menggelegar di bar yang sunyi.

Gadis terlonjak kaget sebelum memutar kepala. Senyumnya manis. Penuh rasa terima kasih, dia mengangguk tulus pada bos barunya. Perintah Philip ibarat surga untuk tubuhnya yang penat.

Bibirnya bersiul riang setelah menyelesaikan meja terakhir dan melempar serbet ke ember kotor. Gadis bergegas ke arah tangga. Namun, belum sempat naik, James mencekal pergelangan tangannya.

“Miss Farrer?” bisiknya takut-takut. Matanya melirik ke sekitar dan berhenti cukup lama di Philip.

Kening Gadis berkerut melihat tingkah mencurigakan James. “Ada apa?”

“Kudengar dari Mr. Philip, kau menginap di sini malam ini.”

Gadis mengangguk. James terdengar gelisah.

“Seharusnya aku tak ikut campur, tapi kau perempuan, Miss. Kumohon, kunci pintu gudang penyimpanan saat tidur. Jangan buka jika ada suara apa pun.”

Gadis mundur selangkah. “Apa maksudnya itu?”

“Turuti saja nasehatku,” pinta James memelas. “Aku suka ada teman baru. Kuharap kau betah kerja di sini.”

Perempuan itu menelengkan kepala, merasa heran dengan topik pembicaraan James yang seperti sebuah peringatan. Dia mengangkat bahu, mengulas senyum tipis, lalu naik ke lantai dua.

Philip sudah menyediakan selimut tebal dan kantong tidur di ruangan sempit itu. Cukup untuk benteng dirinya menghadapi malam dingin di kamar tak berpemanas. Begitu pintu menutup, suara-suara di bawah teredam total. Gadis berada di keheningan yang memekakkan.

Secepat kilat dia berganti baju. Sweater lembapnya teronggok di lantai, menyusul celana jin dan pakaian dalam yang sudah kotor. Gadis membungkus tubuh semampainya dengan piama satin lalu menyusup ke dalam kantong tidur.

Sialnya, dia gagal memejamkan mata.

Gadis bergerak-gerak gelisah. Dia memelototi layar ponsel. Dua jam berlalu. Dini hari mulai bergulir ke pagi hari. Dia mulai putus harapan pada keluarganya. Tak ada lagi kuartet 4G yang kompak dan solid. Hanya karena menolak permintaan papanya, Gadis harus menerima hukuman sangat berat.

Perjodohan itu bukan lelucon. Gadis merenung. Kemampuan yang dimilikinya sekarang adalah hasil pelatihan yang diberikan orang tuanya. Lantas mengapa mereka justru ingin menghentikan Gadis?

Ingatannya memutar balik kehidupan masa kecil hingga dewasa. Papanya seorang mantan anggota intelijen yang memutuskan pensiun dini. Garret William Farrer sangat mencintai istrinya hingga rela keluar dari pekerjaan yang dijalaninya sejak usia muda. Gayatri Kemala, wanita asli Indonesia yang ditemuinya saat berlibur di Las Vegas bisa dibilang kelemahan pria berdarah Skotlandia itu.

Jika Garret mumpuni di dunia intelijen, Gayatri sangat mahir dalam hal perjudian. Menipu lawan dan memainkan banyak trik menjadikannya seorang penjudi ulung. Kombinasi keahlian unik yang diturunkan pada dua anaknya membuat Genta dan Gadis memiliki kemampuan tak lazim dibanding teman sebaya.

Termasuk menguasai berbagai kunci untuk membuka brankas. Gadis meringis prihatin, merasa kasihan pada diri sendiri yang lebih mencintai stetoskop untuk memecahkan kunci kode kombinasi brankas.

Dia bahkan mengetahui tebal brankas di rumah Karundeng hanya dengan beberapa kali pengamatan. Astaga, itu bukan bakat yang patut dibanggakan. Setelah menurunkan berbagai ilmu tak lumrah itu, orang tuanya tiba-tiba memberinya kuliah moral tentang keburukan mencuri.

Benar-benar orang tua yang sangat bertanggung jawab. Gadis menggerutu dalam hati. Dia terus menggulir layar ponsel, menjelajah berbagai portal daring, kemudian menyadari kesunyian yang memekakkan itu telah lenyap.

Di dalam kantong tidur Gadis membeku. Dia menajamkan telinga. Philip bilang tak ada siapa pun di bar ini setelah tutup. Pria tua itu sendiri tinggal di rumah tak jauh dari sini. Jantung Gadis berdebar kencang.

Apa ada pencuri?

Suara berat seperti langkah kaki diseret terdengar makin dekat. Gadis terbelalak. Peringatan James terngiang lagi. Sialan, dia lupa mengunci pintu!

Tungkainya menendang bahan polar kantong tidur. Dia menarik diri keluar. Sayangnya, karena terburu-buru Gadis justru terbelit benda menjengkelkan itu.

Mata Gadis terbeliak lebar demi mendengar langkah kaki yang kian mendekat. Bola matanya nyaris meloncat keluar saat melihat kenop pintu dari kuningan berputar perlahan.

“Siapa di sana?” Gadis spontan bertanya keras.

Hening. Tak ada suara. Wajah Gadis memucat.

Sialan, kenapa aku pakai bertanya segala?

-O-

Catatan kaki:

[1] Pint adalah gelas besar yang biasa digunakan untuk meminum bir.

[2] Pink lady adalah jenis koktail (minuman beralkohol) yang terbuat dari  racikan gin, grenadin, dan putih telur.

Gadis Alex (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang