Bab. 5

423 49 2
                                    

"Rumah gue baguskan? Kalau elo gak betah sama kost lo, elo boleh pindah ke sini."

Dian mengamati seluruh sudut rumah baru Sena yang menurutnya bagus meskipun sedikit minimalis. "Apa gue bilang yang gue bilang mempankan. Semalam kerja udah dapat rumah plus mobil." Dian sedikit senang sahabatnya yang terlunta-lunta akhirnya hidup makmur dan tidak mengemis lagi kepada dirinya.

"Si iblis mau elo apain?" ucap Dian mengingatkan misi Sena.

Sena meminum teh sebentar sambil Menumpukan salah satu kakinya. "Sebentar lagi," ucap Sena dengan seringai khasnya.

Dian mengernyit heran. "Bukannya lebih cepat hancur lebih baik, tapi terserah elo."

Hari ini Sena menyuruh Dian untuk membawakan koper dan barang-barang lainnya yang tertinggal di kost Dian waktu itu. Saat pertama kali melihat rumah Sena, Dian sedikit tak percaya hanya semalam saja rumah pun jadi.

"Kayaknya pria tua semalam tinggal di samping rumah lo." Sena sudah pantas dijuluki wanita cerdik sedunia, bakatnya yang merayu dan pesonanya mampu menarik pria berumur seperti Akbar.

"Pria pelit itu!" ucap Sena berdecak sebal.

"Kamu ini bodoh atau buta, udah dikasih rumah cuma-cuma masih aja bilang pelit." Dian sedikit menampol pipi Sena.

Memang benar dia baik hati, tapi bagiku pria itu pelit dan suka menyindir orang.

"Gue denger-denger dari tetangga Adel putus dari pacarannya gara-gara elo," ucap Dian sedikit santai agar Sena tidak sedikit tersinggung.

"Kurang ajar! Siapa yang bilang biar gue tampol mulutnya. Edo aja yang suka ngejar-ngejar gue." Enak aja dia yang putus aku yang teraniaya. Dasar mulut tetangga gak ada saringan.

"Elo langsung percaya sama omongan mereka."

"Awalnya gue gak percaya, tapi guekan penasaran jadi mumpung ada elo gue tanyain."

"Terserah lo, deh. Lama-lama elo juga kayak mereka."

"Iya gue salah, gue minta maaf."

                                ******

"Makasih, ya udah dianter." Sebenarnya Adel tidak terlalu suka dengan Bima yang terlalu posesif.

Bagi Adel hanya Edo yang bisa membuatnya nyaman tidak seperti Bima yang hanya membuatnya malu. Bima selalu meminta bergandengan tangan saat ke kantin, ke kelas dan saat ke parkiran tetap bergandengan. Semua temannya memuji saat melihat dirinya dan Bima sangat mesra, tapi bagi telinga Adel itu sebuah ledekan yang sangat Adel benci dan risih.

"Aku boleh mampir." Bima hanya ingin kenal lebih dekat dengan keluarga pujaan hatinya.

Senyuman dan keceriaan selalu menghiasi setiap langkah Bima saat melihat kekasih barunya yang selama ini ia nantikan.

Dengan berat hati Adel mengiyakan permintaan Bima sebenarnya Adel sengaja tidak menyuruh Bima untuk mampir, tapi dengan tidak sopan Bima memintanya.

Bima mengikuti Adel dari belakang sambil matanya mengamati lingkungan tempat tinggal Adel yang menurutnya sangat sederhana.

"Mama ada tamu," teriak Adel seraya menaruh tas di atas sofa.

Bima duduk di sofa tengah dan tak sengaja matanya menangkap sebuah foto yang tak sengaja keluar dari tas Adel.

Di tatatapnya foto itu yang menampilkan Adel yang memeluk Edo dengan posesif ditambah kecupan di pipi Edo menambah kesan romantis dan harmonis.

Bima merasa kurang nyaman dengan kedekatan Edo yang begitu lengket dan Senyuman itu tidak pernah ditunjukkan Adel untuknya yang seperti di dalam foto yang menampilkan tanpa ada beban sama sekali.

Rasa Yang Tertunda [ On Going  ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang