Dia yang selalu sendiri, memilih untuk menutup diri.
Dia yang tak hiraukan, memilih untuk tak peduli pada sekitar.
Inilah dia, sesorang yang selalu menjadi orang terakhir, dalam hal apapun.
Bahkan, jika ‘mereka ’ tahu, dia hanya ingin di perlakukan adil, dalam lingkup keluarga maupun saudara.
Namun sayangnya, mereka terlalu tak peduli padanya.
Terlalu sibuk dengan kesayangannya, hingga lupa pada buah hati kecilnya.
Mungkin, dirinya sekarang telah lupa oleh rasa yang di beri nama, kasih sayang.
Lupa akan rasa pelukan sang ayah.
Lupa dengan elusan lembut dari tangan bunda.‘Mereka ’ terlalu enggan memberikan dirinya sebuah perlakuan lembut.
Hingga pada titik terendahnya,
Ia berucap lirih dengan genangan air mata yang membasahi pipinya.Bahwa, tuhan dan dunia memang selalu bersikap tidak adil, kepadanya.
Dia duduk berdiam diri, menatap langit senja dengan jendela kamar yang ia biarkan terbuka. Topangan dagu pada tangan kirinya membuatnya seperti seorang model yang siap untuk di jepret lalu hasil fotonya menghiasi majalah kota.Hembusan angin yang menerpa membuat surai coklat-nya yang ia biarkan tergerai terhempas, tanpak menjadi tidak rapi dan terkesan berantakan.
Manik bulat dengan mata kebiru-biruan itu sepertinya sedang menatap ke arah bentangan luas di atasnya yang berwarna jingga tua.
Baru saja ingin bergumam sendiri, namun harus terpaksa urung karena sebuah suara yang tanpak tak asing di indra pendengarannya.
Langkah kaki dengan balutan high heels itu menggema di seluruh ruangan bernuansa soft blue itu, derap nya terdengar selaras dengan lantai kaca berwarna putih, begitu pas dan serasi.
Gaun merah tua dengan berbagai pernak pernik di setiap sudutnya serta tas jinjing yang terlihat pas di tangan kanannya itu membuat wanita berumur duapuluh tahun an itu terlihat menawan, cantik dengan penampilan yang terkesan klasik.
Senyumannya merekah, tarikan pada dua sudut dibibirnya belum pudar sedari tadi,
mendekat kearah sang adik, wanita itu lantas berkata dengan nada pelan, berniat menyapa.
“Hai Anna?”
Ah–apakah ini suara kakaknya?
Daripada berlama-lama beramsumsi sendiri dan membuang banyak waktu, tanpa pikir panjang ia langsung berbalik badan, dan what? Ia memang kakaknya.
Wajahnya terlihat terkejut, namun untungnya ia masih bisa menutupinya dengan raut datarnya, raut wajah yang selama ini ia gunakan.
“K-kakak?” bibirnya membeku, seakan merasa kalau ini masih mimpi? sang kakak yang bertahun-tahun menghilang dari rumah sudah kembali, dengan wajah dan penampilan yang bertambah menarik pastinya.
Lantas sang kakak yang melihat raut wajah sang adik yang masih datar lagi-lagi hanya tersenyum, lebih tipis.
Aletha mengerti–ralat, sang kakak paham bila adiknya itu terkejut, terbukti dengan nada bicaranya yang kelu.
“Adikku sayang, kakakmu telah kembali.”
Setelah mengusap surai coklat sang adik, aletha lantas pergi dari ruangan biru itu dan tersenyum licik sebelum kembali bersuara dengan nada yang terdengar lebih kecil, hampir tidak terdengar sama sekali.
“Berharaplah agar ‘mereka’ tidak berubah anna, sayang”
Iya.
Sebelumnya, hidupnya terasa biasa.
Namun semenjak wanita cantik yang baru saja pergi dari kamarnya itu kembali, ia menjadi hm....tersiksa? lagi?Entah.
Semoga saja badai tidak kembali menerjangnya.Fyi,
Yang jelas, ini adalah hidup gadis manis dengan wajah putih mulus bak porselen, cerita kehidupan sehari-hari gadis bernama lengkap Leanatasha aryawijaya yang penuh dengan ketidakbahagiaan.
Akibat ‘mereka’ yang ia anggap keluarga.
Huwaa pen nangid saya!!!
bagus ga sih?
mau next atau unpub nih?
saran yaa, kalau gaada yang baca saya unpub deh, ga pede astagfirullah..
Papay:)))
KAMU SEDANG MEMBACA
Why is this unfair?
General FictionTentang 'dia' yang selalu diperlakukan tidak adil. ©Riririsrsma2020