"Jadi, besok lo pindah kontrakan?"
"Hmm...." Gadis itu menggumam dengan bibir mengapit jepit rambut berwarna hitam. Dia mengambil jepit itu dan memasangkan di sisi kiri kepala. Setelah itu menatap pantulan dirinya di kaca, memperhatikan rambut panjangnya yang kini terikat rapi. "Dan lo nggak usah ikut-ikut pindah," lanjutnya sambil menunjuk lelaki berambut cepak yang sedang mengemudi itu.
Tanaka yang sering dipanggil Naka itu melirik sekilas. "Ngapain gue ikut pindah? Ogah. Enakan di kontrakan gue, depannya kontrakan cewek cantik."
Eira mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia membuka laci mobil hendak mengambil lipstick. Saat tidak mendapati barang yang dicari, dia melotot ke Naka. "Mana lipstick gue?"
"Mana gue tahu!" Naka mengangkat bahu. Sedetik kemudian, dia tersenyum. Jelas tahu ke mana lisptick yang selalu ada di laci mobilnya.
"Pasti lo buang, kan?" Eira menunjuk Naka dengan mata memicing. Dia hafal dengan tingkah sahabatnya yang jail itu.
Naka menggeleng. Tangannya bergerak ke belakang kursi yang dia duduki. "Gue pindah ke kantong. Gue kemarin jalan sama anak kantor. Malulah kalau mereka tahu di mobil gue banyak lipstcik. Nanti dikira gue apaan?"
"Ish!" Eira mendengus lantas melongok ke belakang kursi Naka. Tangannya meraba-raba isi kantung, tapi tidak kunjung menemukan barang yang dicari. "Nggak ada."
"Ya lo cari, dong!" Naka mendengus mendengar Eira yang tidak berhenti mengeluh itu.
"Tangan gue nggak sampai!" Eira menyerah. Dia kembali duduk menghadap depan dan menatap pantulan dirinya di cermin berbentuk kepala beruang yang selalu dibawa. "Bibir gue kelihatan pucet tanpa lipstick."
Kalimat itu membuat Naka menoleh. Tangannya terangkat ke dagu Eira dan menghadapkan ke arahnya. "Iya, lo kayak orang sakit!"
Tak... Eira memukul tangan Naka. "Hibur atau apa gitu kek! Malah ngejek!"
"Emang lo pantes diejek." Naka lantas terbahak setelah mengucapkan itu.
Eira mendengus melihat sahabatnya yang selalu jail itu. Meski begitu, dia tidak bisa berjauhan dengan sahabatnya yang satu itu. Persahabatan mereka sudah terjalin delapan tahun. Mereka bertemu saat SMA dan intens menjalin pertemanan. Bahkan menurut Eira, Naka adalah sahabat yang paling mengerti dirinya.
Suasana mobil yang mendadak hening membuat Naka tidak nyaman. Dia melirik, mendapati Eira duduk sambil setengah melamun. "Mikir jorok, ya lo?" Dia memukul puncak kepala Eira dengan pelan. "Wah, jangan kotori mobil gue dengan pikiran jorok lo! Tanggung jawab! Lo harus cuci mobil gue."
Eira menoleh dengan wajah bosan. "Bilang aja pengen gue cuciin mobil lo, kan?" Dia sudah hafal akal bulus Naka.
"Haha...." Naka terbahak. "Sahabat gue ini emang paling pinter. Nggak salah gue bertahan jadi sahabat lo."
"Maksud lo bertahan?" Eira duduk menyerong menghadap Naka. "Lo sebenarnya nggak tahan jadi sahabat gue?"
"Gimana, ya?" Naka tampak berpikir. Dia menoleh sekilas lalu mengangguk dengan wajah tanpa dosa. "Lo bawel!"
Bola mata Eira membesar. "Naka! Kalau nggak mau jadi sahabat gue pergi sono!"
"Lo yang pergi. Ini mobil gue!" jawab Naka dengan senyum puas.
Rahang Eira mengeras. Saat pipinya terasa panas, dia mengembuskan napas dengan kasar. Setelah itu kembali menatap depan sambil menenangkan diri. "Gue tahu lo cuma bercanda."
"Emang. Lo aja yang baperan." Naka mengacak rambut Eira hingga rambut yang dicepol itu lepas dari tatanan. Tangan Naka seketika berhenti di udara. Dia merasa akan ada badai yang menerjangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a Bestfriends Anymore
Romance[COMPLETE] Naka dan Eira bersahabat sejak SMA. Bagi Naka, Eira adalah satu-satunya orang yang mau berteman dengannya di saat orang lain menjauh dan mengejeknya. Bagi Eira, Naka adalah orang yang bisa menerima segala kelakuan anehnya. Jika salah satu...