"Kenapa, sih, kita dianggap pacaran?" Naka dan Eira kompak menanyakan itu. Mereka berjauhan lantas sama-sama membenarkan tatanan rambutnya.
Abel bertopang dagu melihat dua orang di depannya yang masih saja kompak itu. "Habisnya kalian itu deket banget. Nggak ada jaim-jaiman."
Eira memajukan tubuh lalu menunjuk Naka. "Gue males jaim ke dia. Dia bukan cowok spesial. Kegantengan dia jauh kalau dibandingin Lee Min Ho atau Ji Chang Wook."
Naka mendengus karena dibandingkan dengan aktor Korea yang sangat terkenal itu. "Tapi, kegantengan gue produk lokal." Dia mengedipkan mata ke Abel lalu menyantap nasi gorengnya.
"Produk gagal," gumam Eira sambil menahan tawa.
"Gue denger apa yang lo omongin!" Naka melirik Eira yang pura-pura tidak tahu itu.
Abel masih saja tersenyum. "Sayang kita baru kenal setelah lulus. Andai sejak SMA, pasti gue juga akrab sama kalian."
Eira mengangguk dengan mulut penuh. Dia mengunyah makanannya dengan cepat lalu menatap Abel. "Tapi, meski baru ketemu, kita udah akrab."
"Lo nyesel nggak dulu kenalan sama Eira?" tanya Naka ke Abel dengan wajah serius.
"Lo mau gue jambak lagi?"
"Lo mau gue piting?"
Eira dan Naka berpandangan dengan tatapan penuh permusuhan. Abel seketika menutupi kedua wajah dua orang itu dengan tangan. "Udah jangan berantem," pintanya dengan nada sedikit meninggi.
"Kayak gini itu udah biasa." Eira menjauhkan tangan Abel dari hadapannya.
Naka juga melakukan hal yang sama. Dia menunduk dan lebih memilih menyantap sarapannya.
Setelah dua orang itu tenang, Abel sedikit bisa bernapas lega. "Gue nggak nyesel kenalan sama Eira. Dia yang nolongin gue dari godaan cowok-cowok waktu itu."
Eira terdiam. Dia ingat kejadian enam tahun lalu. Saat itu dia pulang dari bimbingan belajar dan melihat seorang gadis sedang dihadang tiga lelaki. Eira langsung menarik Abel dan mereka pergi ke tempat yang lebih ramai. Sejak saat itu, Abel sering mengunjungi Eira dan mereka menjadi akrab.
"Eira itu penolong! Jadi, gue nggak nyesel temenan sama dia." Abel menatap Eira dengan senyuman.
Naka manggut-manggut. Dia pernah mendengar cerita itu. Namun, tidak pernah tahu bagaimana perasaan Abel ke Eira. "Syukurlah lo nggak nyesel. Di SMA, banyak yang nggak mau temenan sama dia. Lo tahu, kan, dia itu terlalu semena-mena."
Tak.... Eira meletakkan sendok dengan kasar. "Jangan mulai, deh!" ujarnya sambil menatap Naka.
"Bercanda, doang. Sensi amat!" Naka mendorong pipi Eira agar kembali menatap depan.
"Gue udah selesai!" Abel berdiri sambil mengangkat piring berisi nasi goreng yang masih tersisa.
"Lo nggak habis lagi?" Eira menatap piring milik Abel.
"Eira mau habisin!" timpal Naka.
Eira mendengus karena sahabatnya itu masih saja bercanda. "Lo harus makan banyak, Bel. Lo sering banget telat makan gara-gara kafe rame."
"Gue udah makan roti," jawab Abel sambil mengusap perut. "Kalian mau latte?"
Bibir Naka terbuka hendak menjawab. Namun, dari ekor matanya dia merasakan ada yang menatapnya tajam. Dia menoleh dengan sanyum garing. "Nggak usah repot-repot, Bel," jawabnya keberatan.
Eira mengacungkan jempol. "Bagus!" Dia lalu melanjutkan kegiatan makannya.
Naka mengusap leher, tenggorokannya terasa kering. "Kalau air putih gue boleh minta?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a Bestfriends Anymore
Romance[COMPLETE] Naka dan Eira bersahabat sejak SMA. Bagi Naka, Eira adalah satu-satunya orang yang mau berteman dengannya di saat orang lain menjauh dan mengejeknya. Bagi Eira, Naka adalah orang yang bisa menerima segala kelakuan anehnya. Jika salah satu...