Pelajaran terakhir dimulai. Alin yang sedari tadi mencoba fokus akhirnya mengalah juga, ia sudah tidak kuat menerima pelajaran lagi. Sedangkan Bella, ia terlihat tidur dengan santainya di bawah kolong meja. Beberapa anak yang tidak mengikuti pelajaran karena gladi bersih untuk lomba, rupanya menjadi kesempatan para anak-anak molor untuk tidur, dengan begitu keberadaan mereka tertutupi dengan beberapa kursi kosong.
Alin berulang kali mengusap wajahnya, memejamkan mata sejenak demi menghilangkan kantuknya yang semakin menjadi-jadi. Beberapa menit lagi bel pulang, dan beberapa menit lagi dia harus ke perpus menemui bu Yumna. Membayangkannya saja, Alin sudah ingin mencak-mencak, ia tidak sabar ingin bertemu dengan kekasihnya, kasur empuk nan wangi yang dirindukannya.
Pak Yanto, sudah selesai menjelaskan, kemudian membereskan buku bukunya.
"Baik, cukup sampai disini. Don't forget your homework. see you again teens" tutupnya. Mereka semua menghembuskan nafas lega, Alin pun begitu, lalu membangunkan sahabat dibawah mejanya.Bella menguap, berusaha naik ke kursinya lagi. Matanya merah dan sepertinya nyawanya belum terkumpul sempurna. Beberapa lama kemudian ia mulai memasukan buku-bukunya ke dalam tas.
"Mampus lo lin! Gabisa ketemu sama kasur empuk tercinta. Babay, gue duluan... Dino dah nungguin" ujar Bella, tubuhnya sudah menghilang dibalik pintu.
Alin menghela nafas berat. Ia mulai melangkah keluar kelas dan menuju perpustakaan. Bukannya Alin tidak suka dipanggil guru seperti ini, tetapi waktu refreshing otaknya menjadi lebih sedikit. Dia tetap saja manusia, yang akan muak jika diberikan materi yang menumpuk. Kalau-kalau saja ada transplantasi otak, dia pasti akan melakukannya dengan otak milik Albert Einstein, yang seumur hidup otaknya benar-benar terletak di kepala. Tak seperti Bella yang dari lahir terletak di dengkul.
Tentu saja karena Alin anak baik hati, sepertinya otak Albert Einstein lebih dibutuhkan oleh Bella dibanding dirinya. Jadi dia akan rela-rela saja tidak melakukan transplantasi gila itu.
'Maapkeun Bapak Albert Einstein yang terhormat, kalau mau menghantui mending pas sedang banyak pr saja lhaaa.'
Alin mendorong kuat pintu kaca perpustakaan. Rasa sejuk mulai terasa dari AC ruangan. Matanya mencari kesana kemari sosok bu Yumna. Perpustakaan kala itu sepi, tidak ada petugas dan tidak ada satupun siswa yang nongkrong seperti biasa. Mungkin karena kakak kelas sedang mengikuti tambahan pelajaran.
Kedua matanya malah menemukan punggung seorang laki-laki duduk di tengah ruangan, beralas bantal hijau tipis yang kalau sedang lapar mendadak terlihat seperti kue serabi. Alin mendekat, melihat mukanya yang tertunduk tertutupi beberapa helaian rambut.
"Permisi... lihat bu Yumna?"
"....." cowok itu mengadahkan kepala. Lagi-lagi dia seorang laki-laki korban ide liciknya.
"Ooooh, lo. Baru nunggu bu Yumna juga?" Tanya Alin
Cowok didepannya mengangguk singkat, lalu menunduk lagi ke arah handphone. Alin ikut duduk , menyalakan macbook dan bermaksud menonton film demi menghindari matanya nyalang memperhatikan cowok yang benar-benar ganteng didepannya. Film Maleficent mulai diputar, airpodsnya terpasang cocok di kedua telinganya. Tapi nyatanya mata Alin tetap sesekali melirik ke sosok didepannya.
'Duuh, lama-lama Alin bisa diabetes nih papaaaa'
Alin meruntuki dirinya di dalam hati. Karena bosan dan bu Yumna tidak muncul-muncul, ia menenggelamkan wajahnya ke sela-sela kedua tangannya yang berada di atas meja sedari tadi.
Belum sampai 5 menit, kelihatannya dia tidak bisa mengalahkan rasa kantuk yang menyerang, dan memilih tidur. Mengabaikan suara dialog para pemain Maleficent yang terdengar di kedua telinganya. Seakan hanya seperti senandung lagu nina bobok.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEI AL!! (On Going)
Teen FictionDari semangkuk soto..... Menjadi dua insan yang saling memendam rasa. Kisah Alin dan Alva, salah satu korban hanyut dalam samudra cinta. Alva. Pertemuannya dengan Alin perlahan membuka lembaran cerita baru di hidupnya. Sampai dia sadar. Alin, terny...