3 (Suami mode on off)

2K 211 39
                                    

"Sil... Silvi..."

Aku merasakan tepukan pelan di lenganku. Malas-malasan, perlahan aku pun membuka mata. Wajah tampan Mas Fathan tampak begitu dekat. Alis pria itu sedikit bertaut, dan matanya menatap dengan intens.

Apakah ini mimpi?

Aku mengerjap, memastikan sekali lagi apakah ini mimpi atau kenyataan.

"Mas Fathan?" gumamku.

Pria itu terdengar lega. "Ya, ini aku."

"Kenapa wajah kita dekat sekali? Apakah... Apakah..."

"Ng... Kamu membelitku begitu erat," jawab Mas Fathan seperti kesulitan bernapas.

"Membelit?"

Kesadaranku perlahan-perlahan mulai terkumpul. Mataku bergerak ke leher Mas Fathan. Di sana, tampak kedua lenganku tengah merangkulnya dengan erat.

ASTAGA!!!

"Huaaaa.... M-maaf. Duh... Aku... Aku... KYAAAA!"

Terkejut dengan apa yang baru saja kulihat, aku sontak mundur untuk menjauh. Namun, karena begitu dilanda panik, aku mundur terlalu jauh hingga akhirnya jatuh dari tempat tidur.

Kepalaku membentur lantai. Sakit sekali.

"Aww..." Aku berusaha bangkit sambil menekan siku ke lantai.

"Kamu nggak apa-apa?" Tahu-tahu Mas Fathan sudah berada di dekatku.

"Ng-nggak apa-apa, Mas," jawabku, namun detik berikutnya aku pun menjerit. "Kyaaa!"

Mas Fathan memejamkan mata mendengar jeritan melengking itu, sementara aku secepat kilat menarik turun ujung dasterku yang naik ke puncak paha, memperlihatkan celana dalamku yang berenda.

"M-maaf, Mas," ucapku merasa bersalah karena sudah membuat polusi suara.

"Tidak apa-apa. Kepala kamu gimana? Tadi membentur lantai kan?"

Aku menyentuh bagian belakang kepala. "Yang di sini kayaknya benjol."

Mas Fathan mengulurkan tangan ke kepalaku untuk memeriksa. "Ayo, harus cepat dikompres dengan es."

Aku mengangguk. Mas Fathan membantuku berdiri. Sambil meringis, aku pun bangkit dan melangkah bersamanya menuju dapur.

Aku mengeluarkan sapu tangan bersih dari rak penyimpanan, sementara Mas Fathan membuka lemari es. Ia lalu melangkah mendekatiku sambil membawa beberapa balok es di dalam wadah. Mas Fathan mengambil alih sapu tangan dariku, lalu menuang beberapa es dan membalutnya. Kemudian, ia menarikku untuk duduk di meja makan, lalu mengompres bagian kepalaku dengan hati-hati.

"Aw... Sakit."

Aku meringis ketika merasakan nyeri di kepalaku. Mas Fathan tak sengaja menekan terlalu kuat.

"Sakit ya? Maaf, aku yang menekan terlalu kuat," ujarnya lalu menekan kepalaku dengan lebih pelan dan hati-hati.

Sebentar. Saat ini tubuh kami dekat sekali. Sebelah lengan Mas Fathan bersandar di punggung kursiku sambil menekan balok es, sementara lengannya yang lain bersandar di meja makan yang ada di hadapanku dan dadanya dekat sekali dengan bahuku. Posisiku sekarang tampak seperti terjebak di antara lengan-lengannya.

Meskipun tidur di ranjang yang sama, rasanya baru kali ini kami berada sangat dekat. Aku bahkan bisa merasakan panas tubuhnya meski kami tidak saling bersentuhan. Duh, aku jadi deg-degan. Ternyata Mas Fathan bisa perhatian begini juga. Pedahal semalam aku sudah mencapnya sebagai manusia tak berperasaan karena makan malam lebih dulu dan dengan tega membiarkan aku menunggunya sambil kelaparan.

Pass Me ByTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang