5. Mengamuk

11 5 1
                                    

Setelah mengambil koper di konveyor sabuk, Gerald segera menelepon seseorang untuk menjemput mereka berdua. Ralat, Gerald lupa ada seorang perempuan yang tengah duduk di atas kursi roda dalam keadaan tidak sadar.

"Kau ingin mampir ke rumahku dulu?" tanya Gerald.

Henry menggeleng. "Tidak perlu." Sekilas dia melihat Queen yang terpejam. Beberapa jam lagi perempuan itu akan sadar.

Pusat kota berjarak sekitar 5 mill dari bandara Miami dan 13 mil dari Pantai Miami. Tempat yang dituju oleh Henry terletak 7 mill sebelah utara dari pusat kota. Menuju ke arah gunung dan perbukitan di batas kota. Di sana Henry membangun rumahnya.

Setelah sampai di rumah Gerald yang berada di pusat kota, Henry melaju kencang ke rumahnya. Perjalanan yang cukup lama karena jalan yang bergelombang. Hutan di kanan kiri memblokir cahaya sore sehingga suasana menjadi temaram. Dinginnya udara memaksa Henry menurut rapat jendela mobilnya.

Sampai pada akhirnya mereka sampai di rumah sederhana yang berbahan kayu. Henry menggendong Queen dan meletakkannya di atas ranjang. Tak lupa menyelimuti perempuan itu.

Rumah Henry berukuran tujuh kali delapan meter. Ketika masuk, langsung diperlihatkan dapur mini yang bersebelahan dengan sofa dan rak buku. Kemudian kamar di sebelah kanan dan toilet persis di sampingnya. Hampir semua perabotan bewarna cokelat, sangat senada dengan dinding yang terbuat dari kayu.

Henry duduk di sofa tunggal di depan jendela ruang depan. Sekarang yang sedang dia pikirkan adalah semua barang yang harus dia siapkan untuk Queen. Semua yang ada di rumahnya serba satu. Cangkir, piring, sofa tunggal, single bed, dan barang lainnya hanya tersedia untuk satu orang.

Besok dia akan memutuskan untuk berbelanja untuk keperluan Queen. Meskipun begitu, masih ada satu hal yang mengganggu pikirannya, yaitu kamar. Dia hanya memiliki satu kamar. siapa yang harus mengalah? Dia tidak mau tidur di sofa tunggal atau di lantai.

Henry menghela napas dan akhirnya beranjak menuju kamarnya. Seharusnya Queen sudah bangun. Benar, perempuan itu semenit kemudian mulai mengerjapkan mata. Henry membantunya untuk bersandar ke dinding.

"Aku di mana?" tanya Queen pertama kali. Matanya masih meneliti ruangan yang ditempatinya. Ada satu meja dengan beberapa buku, lemari kecil tanpa pintu berisi pakaian, dan sebuah kaca kecil yang melekat di dinding. Sampai pada akhirnya dia menangkap satu sosok yang duduk di sampingnya.

"KAU!" Queen otomatis mengangkat tangannya untuk meninju atau menampar Henry, tetapi dia kehilangan keseimbangan dan berakhir dengan wajah yang mendarat di dada bidang milik Henry.

Henry tertegun saat wajah cantik Queen sangat dekat dengannya. Dia akui Queen adalah perempuan tercantik yang pernah dia temui selama ini. Rupa yang indah tanpa polesan kosmetik sedikit pun.

Belum selesai meneliti wajah cantik itu, Henry dikejutkan dengan Queen yang menggigit telinganya. Tentu lelaki itu memekik kesakitan, tetapi dia tidak lengah dan berhasil mencengkeram pergelangan Queen yang siap menyerang.

"PEMBUNUH! DI MANA AYAHKU?" Queen mengamuk dengan sekuat tenaga, tetapi tenaganya tidak sebanding dengan Henry.

"Tenanglah dulu," ucap Henry dengan nada tenang.

Queen tidak mau mendengar apa pun dari mulut lelaki itu. Tidak ada cara lain lagi yang bisa Queen lakukan selain menggunakan mulutnya. Dengan cepat dia menggigit tangan Henry dan lagi-lagi teriakan kembali menggema di rumah itu.

Queen berhasil lolos dan setelah keluar dari kamar, matanya dengan cepat mencari suatu benda yang bisa dia gunakan untuk melawan. Sebuah pisau yang menggantung di dapur tertangkap oleh matanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

REVENGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang