Matahari sudah meninggi, tetapi Queen baru bergerak untuk membuat sarapannya yang tertunda. Tiga jam setelah George pergi, air matanya kembali turun sampai tubuhnya terasa kering karena menangis. Sesekali ini memejamkan mata beberapa saat, lalu membukanya lebar-lebar dan berharap ayahnya tengah menikmati secangkir kopi buatannya.
Queen mengunyah sambil melamun. Terbayang lagi tubuh sang ayah yang berlumuran darah. Seketika ia merasa mual dan akhirnya memuntahkan dua gigitan roti beserta cairan. Tubuhnya lemas dan air mata kembali menyucur deras.
Deringan ponsel dari dalam tas di ruang tamu memaksa Queen untuk bergerak. Arthur yang meneleponnya. Dia lelaki yang dua tahun ini menjadi pemilik hati Queen. Suara lembut dari pebisnis itu menyapa Queen.
"Arthur ... bagaimana ini?"
Arthur di seberang telepon menjadi waswas setelah mendengar isakan Queen. "Sayang, kau kenapa?" Niatnya hari ini untuk berkencan dengan sang kekasih, tetapi semua menjadi buyar. Seingatya Queen tidak pernah menangis.
Suara Queen rasanya tercekat di tenggorokan. Ia tak mampu menjelaskan kejadian yang menimpanya.
"Kau di rumah?"
"I-ya."
"Tunggu aku di sana."
Tidak lama kemudian, deru mobil terdengar jelas dan berhenti di pekarangan rumah. Queen segera membuka pintu dan kembali menangis. Kali ini tangisannya benar-benar pecah dan tangannya memeluk erat tubuh Arthur.
"Ada apa, hmm?" Arthur berusaha menenangkan dengan mengelus surai Queen. Hatinya ikut sakit saat melihat wanita kesayangannya menangis tersedu-sedu.
"Dad ... dibunuh."
Tubuh Arthur menegang seketika. "APA?" Dia mendengar jelas jawaban Queen, tapi ia tak percaya. Banyak pertanyaan tiba-tiba muncul di benaknya. Bagaimana bisa? Kapan terjadinya? Siapa pelakunya? Dan masih banyak lagi. Arthur berusaha tidak bertanya dulu untuk sementara.
Seakan dapat membaca pikiran Arthur, Queen menjawab semuanya. "Tadi malam ada seseorang bernama Henry Davis datang ke sini. Kukira dia rekan kerja ayah dan aku dengan senang hati membiarkan dia masuk tanpa menaruh curiga. Lalu ... lalu ..." Ucapan Queen terhenti karena tangisnya sendiri.
Arthur mengeratkan dekapannya kepada Queen. "Tenangkan dulu dirimu ..." Padahal sejak satu tahun yang lalu dia menunggu kepulangan Joe untuk meminta izin agar bisa bersama Queen. Sayangnya takdir tak memberinya kesempatan.
"Di-dia menikam dad dengan pisau. Aku melihatnya ... aku melihat dengan jelas dad yang sudah berlumuran darah. Kemudian tadi pagi dad sudah tidak ada di rumah." Queen menyudahi sesi ceritanya.
"Kau sudah lapor polisi?" tanya lelaki berambut pirang itu.
Queen menggeleng lemah. Ia menghapus sisa air mata dengan punggung tangannya. "Teman dad yang menyelidikinya."
"Dia polisi?" tanya Arthur lagi sembari melepaskan Queen dari dekapannya.
"Dia seorang dosen."
"Dosen? Sayang, menurutku kau harus lapor ke polisi." Arthur membawa tangan Queen ke genggamannya. "Ayo kita ke kantor polisi."
Queen tampak ragu. George sudah menyuruhnya untuk tetap di rumah dan jangan menghubungi polisi. Kalau niat George agar dia terhindar dari penculik itu, maka Queen bisa menghubungi polisi dari rumah. Sekarang pun ada Arthur yang kapan saja menemaninya ke kantor polisi. Tidak ada salahnya meminta bantuan polisi, pikir Queen.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVENGE
RomanceSetelah melihat Joe dibunuh, Queen sebagai anak satu-satunya memutuskan untuk balas dendam. Ternyata terlalu banyak teka-teki di balik kematian Joe, termasuk identitas sebenarnya dari Joe dan Henry si pembunuh. Karena satu rahasia Joe diketahui ole...