Sebuah Cerpen

5 0 0
                                    

Seorang ibu sedang bersusah payah, seorang suster tergopoh membawanya, setelah sampai sang suami tak diperbolehkan masuk. Lelaki yang amat compang-camping karena habis izin tiba-tiba dari tempat kerja kuli bangunan.

Nyawa telah diujung tanduk, nasib terbagi dua antara hidup atau pergi selamanya, pertarungan dua nyawa yang saling tak mau melepaskan, tarik-menarik nyawa, dorongan sepenuh tenaga dikerahkan tanpa ampun.

"Terus ibu, terus!" Seorang suster menjaganya agar tetap keadaan menekan sang bayi.

Sang dokter datang masuk kedalam ruangan 4 kali 4 meter itu langsung mengambil tindakan, dilihatnya kepala sang bayi apakah sudah keluar belum. Ah! mengerikan sekali adegan itu.

Sang dokter langsung mengambil tindakan merobek sedikit bagian yang tak perlu disebutkan, menarik ubun ubun bayi yang masih empuk itu. Sementara dilain kehidupan, sang Ibu telah tak sadarkan diri.

Selanjutnya keadaan segera hening, mana suara tangisan bayinya? Wajah tegang dokter, pucat suster menunggu kepastian dokter, instruksi selanjutnya. Setelah beberapa kali dipastikan sang dokter menggeleng kepalanya, bayi mungil tak bisa terselamatkan, maut segera menjemput saat dia baru saja melihat dunia, betapa indahnya.

Sang ayah menghentak-hentakkan sepatunya, "bisakah dipercepat saja momen ini" pikir dia. Dia akhirnya berdiri, memegang gagang pintu, yang sebelum dia benar-benar menyentuh gagang itu, sang dokter segera keluar. Sang Ayah tak bisa menahan tangisnya, langsung menyerobot pergelangan tangan sang dokter dan berkata lirih.

"Bagaimana, Dok?"

Sang dokter segera melepaskan tangannya dari genggaman lelaki kuli itu.

"Maaf pak bayi anda tidak dapat kami selamatkan, kami sudah berusaha semaksimal kami, mohon maaf sebesar mungkin dari kami pak" kemudian sang suster yang memberi penjelasan sebab sang bayi meninggal

Sang ayah mematung, sang dokter segera meninggalkannya karena masih ada pasien kritis yang lain. Sebenarnya ada rasa kesal dihati lelaki itu tetapi ia maklum orang miskin tak berhak menuntut, walaupun ada unsur kelalaian pihak rumah sakit karena membuat menunggu pasien kritis walau beberapa menit tetap saja bisa saja sang suami itu menuntut.

Kemudian dia memgusap air matanya, melepas kain handuk dilehernya dan membersihkan wajahnya. Kemudian dia berjalan keluar kearah jalanan, melihat dari kejauhan orang-orang berlalu lalang, lalu tepat lah di depan matanya anak kecil perempuan yang cantik berjalan kesana kemari, dia membayangkan itu adalah anaknya kelak. Wajah anak kecil itu seperti kebingungan, tetapi lelaki kuli itu masih saja melihatnya dari kejauhan, sampai dia ingin menghampirinya karena anak itu berjalan kearah jalanan yang sepi.

Dia berjalan semakin menjauh dari lelaki kuli yang gagal menjadi ayah. Lelaki kuli itu mengejarnya saat tepat dari arah sebaliknya anak itu, sebuah truk sedang mengebut. Truk tak mampu mengerem mendadak, tapi perlahan pasti, ya pasti, anak itu pasti sekali akan mati dengan perlahan, saat truk itu berhenti.

Terlanjur sudah anak itu terlindas, darahnya memuncrat kesegala arah termasuk kewajah lelaki yang gagal menjadi ayah itu sekaligus gagal mempunyai anak. Ironis

-rodi september 2020

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 03, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KUMPULAN PUISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang