"Pulang aja ke Batam ya? Mama beliin tiket."
"Enggak. Malah kalau Mala pulang sekarang, nanti misalnya di bandara kena virusnya gimana? Terus pulang ke rumah, ketemu sama Mama, Papa, Nenek, keponakan? Takut ah."
"Tapi kamu di sana sendirian lho. Mama jemput aja."
"Ma ... tujuan kerja dari rumah kan buat ngehindari penularan. Masa malah jalan pulang."
"Dipotong gaji enggak?"
"Enggak."
"Katanya negara kita nggak sanggup mau lockdown karena nggak punya uang. Nanti takutnya imbasnya sampe ke mana-mana. Kalau uangnya nggak cukup, langsung bilang Mama. Beli makanan sebanyak-banyaknya. Nanti takutnya kamu rebutan di sana nggak kebagian. Konsumsi buah, beli vitamin."
"Ma ...."
"Kenapa?"
"Kan pemerintah udah mastiin kita nggak akan kekurangan bahan pokok. Jangan borong sembarangan dong, Ma. Biasa aja. Yang perlu diubah itu pola hidupnya biar sehat."
"Mama tuh takut kamu di sana sendirian. Di Jakarta pasiennya malah nambah melulu. Abang WFH juga enggak?"
"Katanya iya."
"Dan dia nggak jenguk kamu berapa hari?"
"Baru seminggu, Ma .... kan enggak boleh sering-sering keluar kalau nggak penting."
"Kamu nggak penting buat dia?"
"Bu---"
"Biar mama marahin. Kondisi lagi begini kok tetap aja cuek sama adiknya. Kerja udah kayak besok mati aja. Kamu hati-hati ya, Sayang. Duh, Mama tuh takut banget. Nanti biar Mama bilangin sama Kak Leni buat hati-hati banget masakin kamunya. Makanannya dikirim via Go-Jek kan? Begitu sampai, kamu buang bungkus depan, cuci tangan berkali-kali."
"Iya."
"Atau kamu tinggal sama Abang aja. Jadi makannya nggak usah dari Kak Leni. Biar Abang yang masak, nanti Mama yang nyuruh. Beli sayurannya via online aja. Mama yang pesenin. Ya?"
"Sini aja ah. Kak Leni pasti tahu kok keadaan lagi begini. Masaknya pasti hati-hati dia."
"Yaudah. Mama nanti transfer ya buat pegangan. Kalau ada apa-apa bilang."
Setelah telepon dimatikan, aku secara impulsif menghembuskan napas lelah. Kapan sih corona ini segera berakhir? Baru beberapa hari WFH aja rasanya sudah bosan banget. Mending kalau enggak merasa terancam. Ini mau makan aja takut.
Gimana kalau virusnya ada di makanan? Gimana kalau droplet Kak Leni atau driver-nya nempel di plastik, aku sentuh, dan belum sempat cuci tangan malah pegang hidung dan mulut?
Aku menggaruk kepala yang mendadak terasa seperti penuh ketombe.
Gatal bukan main.
"Ya!" seruku saat mendengar pintu diketuk. Ternyata ada mbak Tina yang menenteng plastik. "Kenapa, Mbak?"
"Ada buah titipan dari Ibu, Mbak Mala. Udah saya cuci, plastik baru. Tapi kalau mau makan dicuci lagi."
"Makasih ya."
Diminta untuk hidup sehat, orang-orang jadi berlomba buat peduli apa yang dimakan orang lain. Termasuk ibu kost yang memang tidak tinggal bersama kami. Sebenarnya bagus juga ya. Tapi kan seharusnya nggak perlu berbarengan dengan ancaman bahaya begini.
Argh, ujung-ujungnya harus kembali pada kenyataan bahwa kerjaanku belum juga beres. Ditambah lagi mbak Dian yang sedang stress karena target penjualan kali ini menurun drastis. Biasanya, di hari pertama launching, lead yang masuk sudah ratusan mendekati angka seribu, ini jauh di bawah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
bilang sayang, enggak susah.
ChickLitMembaca banyak novel nyatanya nggak menghasilkan apa-apa. Alih-alih ikut mendapatkan ramuan romansa ala fiksi, aku malah terjerumus pada petaka. Mengerikan.