Bagian Satu

152 17 18
                                    

Woodclave terkenal sebagai kota kecil, terletak dalam hutan, dan memiliki suhu yang tidak pernah lebih dari angka 32°F. Kabut yang menyerupai selimut raksasa dan cerobong asap yang tak pernah berhenti mengepul, begitu juga dengan suara tumbukan antara kepala kapak dan kayu-kayu yang siap membara dalam tungku api. Sebagian besar warga Woodclave bekerja sebagai pemotong kayu dan pemburu hewan liar, lalu menukar hasil pekerjaan mereka di pasar dengan sekantong gandum, kain, maupun barang lain dengan nilai yang setara.

Hansel menggerutu di sepanjang jalan pulang, merasa kesal sebab tangkapan hasil buruannya hanya dinilai dengan setengah kantong gandum dan setengah kilogram keju---sebelumnya ia bisa mendapatkan lebih dari itu untuk seekor babi hutan. Albert---pamannya---menepuk pundak pemuda itu, mencoba menenangkan si keponakan dari gerutuan yang tiada akhir. "Sudahlah, keadaan sedang cukup mencekik, mungkin itu yang menyebabkan hasil buruan kita hanya dihargai dengan apa yang kita dapat saat ini."

Hansel merenung, mungkin perkataan Paman Albert benar. Keadaan ekonomi di Woodclave beberapa bulan terakhir mengalami penurunan, sebab telah banyak terjadi kasus pembunuhan di sana, dan banyak warga yang memutuskan untuk pindah dari kota tersebut. Sudah tercatat tiga kasus dalam bulan ini; kasus terbesar terjadi di salah satu panti asuhan anak yang terletak di dekat balai kota sekitar seminggu lalu, memakan korban delapan anak panti dan tiga perawat wanita. Tidak ditemukan jejak pembunuh, yang dapat dipastikan hanyalah hilangnya jantung dari para korban pembunuhan itu. Kabar ini tersebar dengan cepat ke seluruh daerah di sekitarnya, membuat banyak warga berada dalam teror dan ketakutan.

"Tidak beruntung lagi, ya?" Gretel menerima uluran kantong dari Hansel setelah ia dan Albert sampai di rumah.

"Hanya ini saja," sahut Hansel malas.

Gretel tersenyum masam. "Yah, setidaknya kita masih memiliki persediaan tepung dan daging kalkun untuk seminggu ke depan."

"Paman suka dengan pikiran positifmu, Gretel. Jangan banyak menggerutu seperti saudaramu. Kasihan, ketampanannya memudar perlahan." Albert dan Gretel terkekeh.

Gretel melingkarkan sebelah tangannya pada pundak Hansel. "Jangan berwajah masam begitu, sudah kubuatkan roti nan terbaik untuk makan malam."

***

Hansel terbangun dengan keringat yang membanjiri kening dan tubuhnya. Mimpi buruk sialan. Entah sudah berapa banyak hal ini terjadi padanya, kepingan memori usang yang seharusnya ia lupakan sejak lama. Namun semakin lama, mimpi itu terasa begitu nyata; suara teriakan Ibu, Ayah yang memohon agar dibiarkan hidup, dan kobaran api yang membakar rumah kecil miliknya, lalu menunjukkan adegan dari memori lama saat itu, di mana ia memeluk Gretel yang berusaha agar tidak mengeluarkan suara tangisannya, bersembunyi di belakang pohon dalam hutan yang cukup jauh dari rumah mereka. 

Mimpi itu seolah membuatnya harus mengingat peristiwa nahas yang dialami oleh keluarganya; kedua orangtuanya dibunuh secara keji oleh orang tak bertanggungjawab. Peristiwa ini pula yang membuat ia dan saudarinya bertemu dengan Albert---adik dari ayahnya, dan bersedia menjaga keduanya hingga saat ini.

Hansel memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri, lalu beranjak dari ranjang, bergegas membersihkan diri, dan menuju pada ruang makan. 

Gretel melirik Hansel yang tengah menyeret kursi untuk duduk. "Pagi, Hans! Kau terlihat tidak oke, baru bermimpi dikejar hantu, ya?" Hansel memilih mengabaikan ucapan saudarinya, sedang Gretel hanya menaikkan kedua pundaknya bersikap tidak peduli dan kembali membalik panekuk di atas teflon.

Albert mengusap mulutnya dengan serbet makan, beranjak dari kursi dengan mengangkat piring bekas makannya, meletakannya pada tempat cuci.

"Hari ini Gretel yang akan menemani berburu, aku harus mengurus sesuatu di kota," ucap pria itu.

Hansel and Gretel - Into The DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang