Obrolan Tak Disengaja

2 0 0
                                    

Januari, 2015.

Aku hanyalah laki-laki biasa yang tengah duduk di tingkat dua kuliah. Aku bukanlah pentolan jurusan yang terkenal di penjuru kampus. Aku ya, mahasiswa biasa-biasa saja yang kebetulan senang berkenalan dengan lintas angkatan.

Kebetulan, aku mengemban tanggung jawab sebagai kepala suatu perkumpulan musisi di kampus dalam wadah Unit Kegiatan Mahasiswa. Band yang menaungiku sendiri adalah salah satu band angkatan yang kerap kali terima banyak job. Aku sendiri memegang posisi sebagai main vocalist dan rythem.

Harus terbiasa membagi waktu antara kuliah, magang, dan kegiatan musik adalah tugas beratku. Kadang, Mama memarahiku karena IP semesterku anjlok di saat band sedang banyak kegiatan. Ya, namanya juga hidup. Harus banyak naik dan turunnya, kan?

Saat ini, untuk menebus kelas pengganti karena wajib mewakili universitas untuk menjadi pengiring paduan suara lomba, aku berkutat dengan beberapa buku dan laptop di perpustakaan kampus. Aku mendapat tugas membuat sebuah paper dan harus dikumpulkan minggu depan. Sebetulnya sih, deadline-nya masih lama. Akan tetapi, kegiatan magangku juga butuh diberi kasih sayang. Maka dari itu, selagi senggang, aku berusaha menyelesaikannya secepat mungkin.

Tanganku fokus mengetik, sementara sudut mataku sesekali melirik ke buku referensi yang aku pakai untuk menulis. Penat sekali bolak-balik membaca dan mengetik. Tapi, mau di kata apa lagi, kan?

"Aduh ... kok, nggak ada, ya?" Tiba-tiba, di belakang punggungku, terdengar suara perempuan yang sepertinya kebingungan mencari buku. Aku cuma melirik, lalu melanjutkan kegiatanku.

"Kom ... komunikasi ... Nur ... eh, eh, kok? Ya Allah, gimana ini. Bukunya nggak ada, dong!"

Perpus tidak begitu hening di kala itu. Akan tetapi, suaramu yang agak sedikit banter yang membuat aku refleks menoleh sebagai respon keluhanmu ketika buku yang kamu cari tidak ada di rak.

"Nyari buku Pak Nurudin?" tanyaku.

Kamu yang merasa aku ajak bicara segera menoleh. "I-iya, Kak. Di komputer tadi ada. Cuma, kok pas saya sampai sini, bukunya nggak ketemu. Genting banget, soalnya. Untuk makalah," jelasmu tanpa diminta.

"Oh," aku mengambil buku yang tadi aku baca, "ini, kan?"

Senyummu mendadak timbul tanpa diminta. Senyumnya cerah sekali, berbeda 100% denganmu yang sebelumnya. "Wah, Kakak yang pakai, ya? Saya boleh pinjam, Kak?"

"Aku juga butuh bukunya," sahutku cepat. "Kamu perlunya sampai kapan? Mau gantian aja, kah?"

"3 hari lagi sih, Kak. Aku disuruh minjam di perpus. Temen-temenku pelit, nggak mau kasih pinjam," lagi, tanpa diminta, kamu menjelaskan situasi yang kamu alami. Aku berusaha untuk tidak tersenyum sehabis mendengar jawabanmu. Lucu. Ekspresimu lucu.

"Mau gantian aja, nggak? Aku juga butuh, soalnya. Kerjain bareng aja, gimana?"

"Boleh!"

"Oke."

Aku kembali ke posisiku, sementara kamu duduk di seberangnya. Akhirnya, kita berdua fokus mengerjakan tugas dan sesekali berbicara ketika ingin meminjam buku. Secara kepentingan, sih, kamu lebih urgent. Akan tetapi, aku yang lebih dulu menemukan buku itu. Jadi, aku pikir, keputusanku cukup bijak, kan?

Sayang seribu sayang, suara pengumuman yang menandakan perpustakaan nyaris ditutup terdengar. Aku menggaruk pipi sembari sekilas melirik ke arahmu yang masih asyik berkutat di depan laptop.

"Err ... anu, perpus mau ditutup," kataku.

"Oh?" Kamu menatapku dengan ekspresi kaget. "Serius udah mau ditutup?"

Aku mengangguk. "Bukunya ... kamu bawa aja dulu, gimana?"

"Kakak gimana?" tanyamu. "Kan, Kakak butuh?"

"Aku bisa nyambi cari referensi lain, kok, untuk sementara waktu. Ntar kalau bukunya udah dibalikin, tolong kabarin aja, ya? Soalnya aku malas kalau cari pinjaman ke temen atau bahkan beli. Aku butuh sumber yang itu, soalnya. Tapi ntar kalau misal di perpus udah ada yang balikin, tetep aku kabarin juga biar kamu nggak buru-buru," ucapku panjang lebar. Kamu cuma mengangguk sembari membereskan barang-barangmu dalam diam.

"Oh iya, ngontaknya ke mana?" tanyamu.

"IG aja, gimana? Sini, aku tuliskan namanya. Nggak usah difollow, nggak papa," kataku sembari tersenyum tipis.

"Boleh, Kak," kamu tersenyum sembari memberikan ponselmu padaku. "Langsung chat aja biar aku tau Kakak yang mana," sambungnya.

Usai mengetikkan username dan mengirimkan pesan penanda bahwasanya itu adalah akunku, aku segera mengembalikan ponselmu dengan dibarengi senyum tipis. "Ini. Makasih banyak, ya. Mohon bantuannya," ujarku sembari merapikan barang bawaanku.

Kita berdua berkutat dengan hening karena masih sibuk dengan urusan masing-masing. Barulah sekitar satu menit kemudian, kita berdua beradu tatap dan mengangguk pelan. Dalam diam, kita sepakat untuk berpamitan.

Kamu berjalan beberapa langkah di depanku dengan ponsel yang tergenggam di tangan kanan. Sayangnya, kamu berhenti lebih dulu di pos peminjaman buku. Aku lebih dulu melangkah dan berjalan menuju loker penyimpanan tempatku menitip barang.

Sesaat setelah mengembalikan kunci loker, ponselku bergetar. Ternyata, ada pesan dari Mama. Katanya:

"Mas, pulang tolong belikan telur 10 sama beras 5kg, ya."

Aku terkekeh ringan dan segera beri pesan balasan. Takutnya, kalau lama membalas, Mama malah menitip pesanan belanja ke adikku yang kemungkinan masih di luar juga. Kalau double order kan, duitnya juga keluar double? Hehe.

Setelah memastikan semua sudah dalam kendali, kakiku melangkah keluar pintu perpustakaan. Aku melihat punggungmu dari kejauhan. Ponselmu menempel di telinga sebelah kanan. Sepertinya, kamu sedang menerima panggilan.

"Aku baru pulang. Kamu jadi jemput?"

Sekilas, dari belakang, aku mendengar suaramu dengan nada penuh harap. Ah, sebetulnya sih, mungkin aku saja yang sok tahu soal intonasimu itu.

" ... oh, aku kira kamu bakal jemput. Kemarin udah janj- iya iya, maaf aku lupa kamu masih kerja sekarang. Maafin aku udah ganggu. Aku pulang dulu. Semangat ya kerjanya."

Aku mendengar kamu mendesah kecewa. Tapi, kakiku tak bergerak untuk menyapa atau sekadar menawarkanmu tumpangan. Kamu dan aku adalah dua insan yang baru saja bertemu karena memiliki kepentingan, dan tidak seharusnya pula aku mendobrak lebih jauh dan mencampuri hidupmu, kan?

Lagipula, obrolan kita hari ini adalah obrolan yang tidak disengaja. Dan ya, kita hanyalah sebatas orang asing yang kebetulan memiliki tujuan yang sama, kan?

Lepas.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang