Januari, 2015.
Beberapa kali aku memeriksa ketersediaan buku yang aku butuhkan di perpustakaan sejak kali terakhir aku menginjakkan diri di perpustakaan dua hari yang lalu. Akhirnya, sebuah pesan singkat lewat direct message Instagram aku kirimkan padamu. Aku bilang kalau aku butuh buku itu secepatnya. Kamu mengajakku bertemu sebelum pukul satu siang di perpustakaan.
Berdasarkan informasi darimu, katanya kamu akan duduk di sudut luar dekat pepohonan. Ketika kutanya detailnya, kamu tak menjawab pesanku sampai sekarang. Masalahnya, lingkungan perpustakaan kampus tiap sudutnya di kelilingi oleh pepohonan. Jadi, siang ini aku agak sedikit 'berkeringat' demi mengecek tiap sudut perpustakaan.
"Bara!"
Seseorang memanggil namaku dan suaranya cukup familiar. Aku menoleh ke arah suara, lalu tersenyum lebar sembari melambai pelan. Ternyata itu Rara, rekan satu band-ku.
"Ngapain kamu di perpus? Ngejar tugas yang kemarin kamu tinggal?" tanya Rara.
"Iya nih, Ra," jawabku. "Daripada ditunda mulu, bisa ngulang kelas, ntar. Repot."
"Tapi entar sore kamu jadi ikut nongkrong, kan?"
"Iya," aku mengangguk. "Kalau gitu, aku pamit dulu ya, Ra? Aku mau cepat ambil bukunya, biar cepat kerjain dan cepat nyusul nongkrong."
Rara tersenyum sembari menepuk bahuku dengan pelan. "Good luck, Bro."
Setelah Rara melangkah mendahuluiku, aku kembali ke tujuan utamaku. Sempat beberapa kali aku memeriksa ponselku dan melihat fotomu di Instagram untuk mencari wajahmu. Maklum, aku agak pelupa soal wajah. Tapi, aku terus berusaha agar bisa menemukanmu secepat mungkin. Bukan, bukan berarti aku ingin bertemu denganmu. Aku hanya ingin segera meminjam bukumu dan pulang ke kos untuk mengerjakan tugas.
"Di sini toh, ternyata," sapaku saat melihatmu tersenyum seadanya ke arahku. Kamu duduk di sudut perpustakaan sebelah timur, rupanya. "Hampir aja aku keliling perpus nyariin kamu, Nisa."
Danisa Putri Kartika, nama lengkapmu. Kamu minta dipanggil dengan sebutan Nisa sesuai dengan apa yang tertera di display name Instagram kamu.
"Maaf, Mas Bara. Baterai hp aku habis, jadi nggak bisa ngabarin posisi lengkapnya. Aku nggak bawa charger juga," jelasmu. Buku yang ingin aku pinjam langsung kamu sodorkan tanpa banyak basa-basi.
Diam-diam, aku memperhatikan raut wajahmu. Di pertemuan pertama, aku tahu kalau kamu adalah tipikal anak yang ceria. Istilah lainnya, ya, mood maker banget. Tapi, hari ini kamu terlihat cukup lesu. Dan ... matamu sembab.
"Aku ada power bank, semisal mau pinjam dulu. Habis ini, aku nggak ada kelas. Jadi, kalau kamu mau bawa, bawa aja. Balikinnya entar aja kapan-kapan." Di sela-sela kalimatku barusan, aku mengeluarkan power bank beserta kabelnya dari dalam tasku. Kamu terlihat cukup sungkan dan ragu.
"Nggak papa, Nisa," aku menyodorkannya persis di depanmu, "pakai dulu, ya? Siapa tau ada agenda atau orang yang nunggu kabarmu."
Kamu memandangiku beberapa detik sebelum mengangguk pelan. Sembari memasangkan kabel power bank-ku di ponselmu, kamu tersenyum tipis. "Makasih, Mas."
"Iya," aku mengangguk. "Aku numpang duduk di sini sebentar, ya. Agak capek."
"Iya." Lagi, kamu menjawab dengan singkat.
Di saat aku mencoba mengatur deru napas ditemani dengan jari yang berselancar di dunia maya, ponselmu tiba-tiba berdering. Kamu tak langsung menjawabnya. Di dering ketiga, barulah ponselmu kamu rapatkan di telinga.
"Halo?"
Di awal-awal menerima panggilan, kamu diam tak bersuara. Tetapi, entah kenapa, aku merasa suasananya jadi agak canggung setelah kamu menerima panggilan itu. Tapi, aku tidak tahu perasaan itu benar adanya atau memang cuma pikiranku saja.
Ketimbang kebingungan sendiri, aku memutuskan untuk pamit. Setelah kumasukkan ponselku ke dalam saku, aku mencoba berpamitan denganmu lewat isyarat mata. Mata kita refleks beradu saat aku hendak berdiri dari tempatku dan ...
Tunggu. Kamu menangis?
Kamu masih diam setelah mengucap salam di awal panggilan itu. Dan sekarang, kamu menangis?
Aku dilema. Sudah dua kali aku memergoki auramu jauh dari kata ceria. Kita hanyalah orang asing yang saling membutuhkan, dan aku tidak mau melangkah lebih jauh masuk ke dalam hidupmu. Tetapi, kalau kondisinya begini, apa bisa aku berlaku tak acuh?
Aku menghela napas. Aku mengeluarkan sapu tangan milikku dari saku celana dan meletakannya di atas meja. Aku mencoba menyampaikan kalimat, "Pakai aja, masih bersih. Dibalikinnya nanti aja pas ketemu" meskipun hanya lewat sorot mata. Aku kira, kalimat itu tidak akan berhasil tersampaikan. Akan tetapi, sedetik setelah kamu menerima sapu tanganku, kamu mengangguk.
Aku meninggalkanmu sendirian di sudut perpustakaan dengan perasaan bingung dan bersalah. Bingung, karena aku tidak tahu apakah tindakanku itu benar untuk seorang stranger. Aku merasa bersalah, karena aku tidak tahu apakah tindakanku itu wajar atau justru ikut campur.
Aku dilema.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lepas.
RomansaKetika kebahagiaan jauh lebih sedikit diterima, jawabannya hanya satu: Lepas.