Part. 3

506 84 106
                                    

Yara berlari menyusuri  jalanan setapak yang langsung mengarah pada rumah sakit mini dengan fasilitas lengkap dan juga dokter terbaik yang memang bekerja di bawah kuasa Aldrich.

Wanita cantik yang mengenakan gaun kuning sepanjang mata kaki dan mekar di bagian bawahnya itu berlari melewati beberapa penjaga yang langsung menunduk saat melihat kehadirannya. Mereka di larang keras untuk menatap Yara dari jarak berapa pun.

Yara melangkah masuk melewati pintu besar, kemudian berlalu melewati pengawal menyusuri koridor kecil hingga tiba di satu ruangan khusus yang terletak paling ujung.

"Sen, bagaimana dengan Alde?" Yara segera menghampiri Sendro  yang berdiri di depan pintu  ruangan. Wanita itu cukup panik saat salah satu pelayan memberitahunya jika Aldrich mengalami mual hebat hingga jatuh tidak sadarkan diri.

"Tuan sedang diperiksa dokter Am. Semoga saja dia tidak apa-apa."

Yara menghela napas berat. Yara tidak pernah melihat Aldrich sakit. Pria itu selalu bugar dan tidak pernah terlihat lemah apalagi sampai jatuh tak sadarkan diri.

"Ada apa ini, Sen? Mengapa Alde bisa seperti ini. Apa dia salah makan sesuatu?" Yara menatap Sendro dengan tatapan bertanya. Sendro pasti ada di lokasi saat Aldrich jatuh tak sadarkan diri. Sudah pasti pria yang menjadi tangan kanan suaminya tahu dengan pasti apa yang terjadi pada suaminya.

"Seorang wanita menyentuhnya, Nyonya."

"Astaga." Yara mengusap wajahnya, kemudian mendekati pintu ruangan yang sudah terbuka dan menampilkan sosok pria paruh baya yang merupakan dokter Am.

"Bagaimana dengan keadaan Alde, Dokter? Apa dia baik-baik saja?"

Yara menatap Dokter Am panik. Kemudian di liriknya arah pintu yang sudah terbuka. Terlihat Aldrich yang tengah terbaring di tempat tidur dengan keadaan tak sadarkan diri. Yara menghela napas berat.

"Tuan Aldrich sudah diberikan obat penenang dan kondisinya saat ini sudah cukup stabil. Biarkan dia beristirahat dulu, Nyonya,"  jawab Dokter Am.

"Ah, syukurlah kalau begitu, Dokter, aku sudah boleh masuk?" Yara menatap Dokter Am yang langsung mendapat anggukan dari pria paruh baya tersebut.

"Iya, Nyonya. Silakan masuk,"  persila dokter Am.

Yara segera melangkah masuk ke dalam ruangan luas yang hanya dikhususkan untuk dirinya atau Aldrich. Mengambil sebelah tangan Aldrich,  wanita itu kemudian mengecup punggung tangan suaminya berkali-kali sambil terus menatap lekat wajah suaminya yang masih pucat. Yara juga dapat merasakan telapak tangan suaminya yang dingin membuatnya terus menggenggam dengan erat berharap agar tangan yang biasa menyentuhnya dengan lembut itu kembali hangat.

Tak lama terdengar hembusan napas dari mulut Aldrich membuat Yara segera menegakkan tubuhnya.

Wanita itu bangkit berdiri dan mendekatkan kepalanya dengan Aldrich, menatap cemas pada suaminya yang akhirnya membuka kelopak matanya.

"Sayang."

Segera rengkuhan hangat dirasakan oleh Yara saat lengan kekar pria itu mendekapnya dengan erat.

"Alde, apa yang kau rasakan? Apakah mual-mu sudah berkurang?"  Yara bertanya dengan suara lembut sambil menatap mata suaminya.

Diusapnya kening Aldrich yang mengerut, kemudian diciumnya bibir sang suami yang tampak bergetar.

"Wanita menjijikan itu menyentuhku. Aku sangat jijik." Aldrich berkata dengan suara yang begitu penuh dendam. Jijik sekali rasanya disentuh oleh wanita yang bahkan namanya saja tidak dikenal.

Yara mengerti dengan apa yang dirasakan oleh suaminya. Wanita itu mengusap wajah suaminya,  dan tersenyum begitu lembut.

"Kalau begitu, aku akan menghilangkan sisa sentuhan dari wanita itu. Mau?"

Suaranya yang begitu indah mengalun di telinga Aldrich. Hal ini membuat pria itu memejamkan matanya, menikmati setiap sentuhan yang dilakukan oleh istrinya.

Sementara di sisi lain, Arthur dan juga Alfred dan Alaric yang mendengar kabar jika ayah mereka jatuh sakit akhirnya melangkah dengan tergesa-gesa menuju rumah sakit mini.

Para pengawal berada di sekitar menyambut mereka dengan menunduk hormat yang tidak dipedulikan oleh ketiga anak laki-laki Aldrich dan Yara.

Arthur memimpin lebih awal sampai akhirnya melihat Sendro di depan sebuah pintu ruangan.

"Apa ayah dan ibu ada di dalam? Bagaimana kondisi ayahku?"  Sebagai anak pertama tentu saja Arthur yang mewakili adik-adiknya untuk bertanya.

Ditatapnya tangan kanan sang ayah yang kini berdiri dengan posisi tegak.

"Tuan Aldrich sudah agak membaik dan nyonya Yara ada di dalam. Ketiga tuan muda tidak diperbolehkan untuk masuk."

Perkataan Sendro tentu membuat Alfred dan juga Alaric langsung melemparkan tatapan tajam mereka sebagai bentuk protes mengapa mereka tidak bisa masuk untuk melihat keberadaan ayah mereka.

"Nyonya Yara sedang berusaha untuk menyembuhkan tuan Aldrich. Mohon untuk mengerti, ketiga tuan muda," ujar Sendro menjelaskan.

Sendro tentu tahu dengan apa yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang ada di dalam ruangan tersebut.

Pintu ruangan dikunci dengan rapat dari dalam, meskipun kedap suara bukan berarti Sendro  tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh pasangan suami istri itu di dalam sana.

Arthur yang mengerti kondisi kemudian mengangguk. Bocah yang lebih tua dari kedua adik kembarnya itu kemudian merangkul pundak Alaric dan juga Alfred untuk membawanya melangkah pergi.

"Kenapa kau membawa kami pergi? Aku ingin melihat kondisi ibu," ujar Alaric. Ditatapnya penuh protes pada sang kakak yang membawanya serta Alfred untuk pergi.

"Ayah sedang tidak ingin diganggu begitu juga dengan ibu. Kita keluar sekarang juga sebelum ayah menghukum kita karena mengganggu mereka," ujar Arthur.

Akhirnya dengan terpaksa kedua dua bocah kembar itu mengangguk dan mengikuti langkah Kakak mereka untuk membawa pergi kembali ke istana besar yang mereka tempati.


"Pelayan!"

Tiba di dalam istana, Arthur langsung berteriak memanggil pelayan agar datang menemui mereka.

"Iya, Tuan muda? Apa yang ingin aku bantu?" Seorang pelayan muda berusia 25 tahun langsung mendekat dengan posisi hormat menatap pada Arthur yang jauh lebih pendek darinya.

"Buatkan aku jus mangga. Tadi aku melihat pohon mangga sedang berbuah." Arthur langsung memerintahkan seorang pelayan untuk membuatkan jus mangga dengan hasil petikan langsung dari pohon yang mereka lewati tadi.

"Baik, Tuan. Untuk tiga gelas?"

Arthur menganggukkan kepalanya tanpa ekspresi. "Bawakan juga cemilan untuk aku dan adik-adikku."

Baru kemudian Arthur langsung pergi membawa Alaric dan Alfred untuk menuju sebuah ruangan di mana adik mereka Alesha berada.

Di dalam ruangan tersebut terdapat banyak sekali mainan dengan 3 orang suster yang menjaga gadis kecil putri bungsu dari pasangan Aldrich Syegav dan juga Yarasya Megando

Dapat mereka lihat sosok kecil dengan rambut panjang berwarna kuning emas duduk sambil mencopot mata bonekanya satu persatu.

"Alesha, kenapa kau copot mata boneka itu? Apa kau tidak takut jika bola matanya dicabut dia akan tidak melihat?" Alfred bertanya seraya mendudukkan dirinya di sebelah Alesha.

"Aku suka."

Alesha, gadis kecil itu mengangkat kepalanya dan menatap bertiga kakak laki-lakinya. Kembali melanjutkan pekerjaannya dalam mencopot mata serta hidung pada boneka tersebut.



___

Tes ombak dulu. Masih ada yang baca nggak?

Btw, 500 vote dan 100 komen. Kalau target tercapai, aku lanjut nulis ini lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You're RapunzelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang