Suasana ruangan terlihat sepi dengan berbagai macam alat yang tergeletak di atas meja. Sementara satu sosok wanita yang tengah merakit alat-alat yang bisa digunakan untuk perlindungan diri tengah fokus menciptakan karyanya sendiri.
Dia adalah Yarasya Megando. Wanita cantik yang sudah memiliki empat orang anak. Tiga laki-laki dan satu perempuan.
Pekerjaannya sehari-hari hanya merakit senjata api yang ia pelajari sudah sejak lama. Jika ada kesempatan, ia akan merakit beberapa jenis bahan peledak berskala besar atas permintaan Aldrich. Tentunya dengan keamanan ketat dan sudah pasti sudah terjamin jika orang-orang yang membantu istrinya adalah orang kompeten.
Kali ini Yara tengah merakit pistol yang berbentuk pesawat mainan. Jika di tekan dengan tombol maka akan mengeluarkan peluru yang langsung ditujukan pada musuh. Tentunya senjata pesawat ini hanya diperuntukkan untuk anggota inti Dark Flower saja. Artinya jumlah pembuatan tidak lebih dari 1000 senjata.
Senyum Yara terbit saat rakitan untuk badan pesawat sudah selesai. Saatnya ia akan membuat untuk tempat peluru dan menyambungnya dengan sistem yang sudah ia buat. Tapi, sebelum itu suara interocom terdengar membuat Yara menghentikan aktivitasnya.
"Nyonya, Tuan Arthur sudah menunggu untuk makan siang bersama."
Tanpa kata Yara segera keluar dari ruang bawah tanah yang terletak tepat di bawah kamarnya. Yara memasuki lift yang segera membawanya melewati lantai dasar, lantai dua, dan lantai tiga. Tidak ada yang tahu ruang bawah tanah tersebut kecuali Aldrich, Yara, dan beberapa orang kepercayaan Aldrich yang mengerjakan pembuatan ruang bawah tanah saat mereka dulu masih tinggal di Indonesia. Ah, ngomong-ngomong soal negara itu, Yara jadi merindukan suasananya. Sudah dua tahun lebih ia tidak pernah pergi ke negara itu sejak ia tiba di sini.
"Ibu, aku sudah lapar dan lama menunggu."
Suara protes Arthur masuk ke dalam indera pendengaran Yara yang baru saja menampakkan diri di ruang makan.
"Maaf, Sayang. Ibu tadi ketiduran." Yara tersenyum meminta maaf. Tidak mungkin Yara mengatakan pada putra sulungnya jika ia sedang merakit senjata api.
"Ayah ada di mana, Bu?" Alaric mendongakkan kepalanya menatap Yara dengan tatapan polosnya. Putra nomor dua Yara dan Aldrich memang adalah tipe anak yang tidak suka menahan perasaan. Mungkin karena tidak melihat sang ayah, akhirnya Alaric memutuskan untuk bertanya.
"Ayah sedang di kantor saat ini." Yara mendudukkan dirinya di sebelah Alaric dan mengambil piring untuk putranya itu, lalu menyerahkannya agar bisa mengambil menu apa yang diinginkan.
"Kantor itu apa?" tanyanya lagi.
"Kantor itu tempat bermain," sahut Alfred dengan lugunya. Bocah kecil itu membalas tatapan kembarannya tanpa takut saat sang kakak kini memelototinya dengan mata hijaunya.
"Aku bertanya pada ibu," kata Alaric.
"Tapi aku hanya menjawab. Apa itu salah?" tanya balik Alfred.
"Sudah, diam. Kalian jangan bertengkar. Biarkan ibu memberi kita makan. Jika kalian ingin bertengkar maka pergi dari sini," tegur Arthur menatap kesal kedua adiknya. Mengganggu makan siangnya saja, pikirnya.
"Kantor bukan tempat bermain, Sayang. Kantor adalah tempat orang bekerja dan mencari uang," kelas Yara menatap ketiga putranya. "Arthur benar. Tidak usah bertengkar di meja makan. Ayo, kita mulai makan siangnya."
"Iya, Ibu." Jawaban kompak dari ketiga putranya membuat Yara tersenyum senang. Ketiga putranya memang merupakan pria kecil yang penurut. Tidak heran mereka akan segera mendengarkan jika ia sudah menegur.
Usai menemani para pria kecilnya makan siang dan kini mereka sedang berada di ruang belajar, Yara akhirnya bisa memiliki waktu untuk melihat putri bungsunya yang belum genap dua tahun.
Senyum wanita itu mengembang saat melihat Alesha tengah memegang sebuah buku yang ia coret menggunakan tinta warna-warni.
"Alesha, Sayang. Sedang apa kau?" tegur Yara menghampiri si bungsu.
"Gambar," sahut Alesha singkat.
Yara melihat apa yang tengah di gambarkan putrinya itu. Setelah itu ia mendudukkan dirinya di samping si kecil yang saat ini tengah mem-fokuskan diri menatap gambaran yang berada di hadapannya.
"Gambar apa itu?" tanya Yara. Meski itu adalah bentuk gambar abstrak, tak masalah. Setidaknya putri bungsunya memiliki kegiatan.
Alesha yang saat ini belum genap dua tahun hanya menggeleng kepalanya tidak tahu. Ia memang tidak mengerti apa yang sedang ia gambar. Tapi, ia pernah mendengar beberapa kali kakak keduanya menyebutkan kata gambar. Nyatanya yang Alesha lakukan hanya mencoret kertas putih dengan tinta hitam.
Yara tersenyum lembut mengusap rambut panjang putrinya.
"Kau sudah makan?" tanyanya lagj. Kali ini tidak ada respons dari Alesha membuat Yara mengalihkan tatapannya pada tiga orang yang bertugas mengasuh Alesha."Nyonya, Nona Alesha sudah makan tadi bahkan sebelum para tuan kecil memulai makan siang," ujar seorang pengasuh. Tubuhnya bergerak selangkah, kemudian ia menundukkan kepalanya, tidak berani menatap sang nyonya rumah.
"Baiklah. Terima kasih," ujar Yara yang di sambut senyuman si pengasuh. Meski suami wanita di hadapannya ini sangat kejam, tapi mereka bersyukur setidaknya ada wanita baik yang menjadi istrinya. Jika tidak, mungkin mereka akan memilih untuk berhenti bekerja. Siapa yang kuat berada di dekat Aldrich berlama-lama? Jawabannya tentu saja tidak ada.
Sementara Yara di istana bersama anak-anaknya, di perusahaan besar yang berada di pusat kota tengah terjadi kekacauan karena baru saja seorang wanita terlempar keluar dari lobi hingga ke pelataran luar lobi.
Wanita itu berteriak dan menyumpah serapah pemilik perusahaan yang tidak mau bertanggungjawab atas bayi yang sedang ia kandung. Teriakan wanita tersebut mengundang tatapan para karyawan yang bekerja hingga membuat beberapa pria bertubuh besar membubarkan mereka semua dan tidak peduli dengan suara teriakan si wanita tidak waras tersebut.
"Aldrich, kau harus tanggung jawab! Ini bayimu! Tega-teganya kau mencampakkan aku setelah tahu aku hamil. Sungguh, pria kejam dan tidak berperasaan kau!"
"Pergi dari sini dan berhenti bicara omong kosong!" usir seorang pengawal mulai jengah. Bagi mereka yang sudah cukup mengenal Aldrich sangat tahu betapa perfeksionis dan msyphobia sang atasan. Tidak mungkin wanita yang mengaku sebagai artis itu pernah tidur dengan tuan mereka karena nyatanya istri tuan mereka jauh lebih segalanya dari wanita ini.
"Diam kalian! Aku akan membuat perhitungan dengan kalian terutama Aldrich. Jika dia masih tidak mau bertanggungjawab, maka aku tidak akan segan membeberkan hal ini pada wartawan," ancam wanita itu menatap tajam barisan pengawal di depannya.
"Silakan lakukan apa yang kau mau, Nona. Kami akan melihat atraksi monyet yang akan kau mainkan," balas pengawal dengan tubuh paling kecil sendiri di antara teman-temannya.
"Sialan kau! Tunggu pembalasanku!" Wanita tersebut akhirnya memilih pergi dengan berbagai macam pikiran untuk menjerat Aldrich Syegavano agar menjadi miliknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
You're Rapunzel
AksiyonCover by @aimeeAlvaro SEQUEL I'M NOT RAPUNZEL√ AFTER MARRIAGE√ Meski pernah mengungkapkan perasaanya pada sang istri tentang cintanya, nyatanya sikap dan sifat Aldrich tidak pernah berubah. Tetap mempertahankan Yarasya Megando sebagai permata yang...