WEIRDO (b)

913 117 1
                                    

“Seperti biasa,” ucap laki-laki itu lirih dengan wajah lebih banyak menunduk. Kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket.

Aku yang berdiri di balik mesin kasir, menatapnya bingung. Si pembeli yang kusebut weirdo itu sekarang berdiri tepat di hadapanku, masih dengan jaket hitam dan topi NY--seperti hari-hari sebelumnya. Poni miring laki-laki itu pun, masih menutup sebagian mata kanannya. Baru kali ini aku bisa melihat wajahnya yang ternyata sangat pucat itu dengan jelas.

Tinggi laki-laki itu sekitar 170-an, dengan berat badan yang jauh di bawah ideal. Hal itu bisa terlihat dari betapa kurus tubuhnya, persis korban kelaparan yang tinggal tulang. Mata sipit di balik kacamata oval berbingkai hitam dengan rambut lurus yang dipotong model Korea, tampak serasi dengan muka lonjongnya. Ada bintik-bintik merah di area hidung mancung si Weirdo dan bibirnya yang tipis pun tampak memucat. Sekilas kelihatan seperti orang sakit.

“Maaf, maksudnya?” tanyaku lirih dengan sedikit senyuman ramah khas pramuniaga.

“Oh, kamu baru, ya? Biasanya si Mbak itu yang melayaniku.” Telunjuknya menuding Hera yang sibuk di dapur membuat  pesanan. Suaranya lirih, seperti tak bertenaga.

“Mau saya panggilkan dia?” tawarku sekadar basa-basi. Tapi kalau dia mau sungguhan ya, lebih baik. Aku tidak begitu tertarik untuk melayani orang aneh sepertinya, apalagi dengan wajah menakutkan begitu.

Tak ada ekspresi yang bisa kubaca dari wajah oriental yang pucat itu. Sungguh, raut mukanya yang putih seperti kapas, langsung mengingatkanku pada Edward Cullen di Twilight. Semoga saja dia bukan vampire, or at least, tak bisa membaca pikiran orang, seperti Cullen.

Dia menggeleng cepat. “Oh, tidak. Tidak perlu.” Dia diam sebentar, tangan kirinya membenarkankan letak kacamatanya. “Hari ini Rabu. Almond Roasted Bubble Milk Tea, Large, dua, dan satu Cold Noodle Salad.” Dengan menunduk, laki-laki itu menyodorkan kartu debet padaku.

Sekilas aku melihat punggung tangan kanannya yang ditumbuhi rambut pendek hingga ke pangkal jemarinya. Semula aku mengira hanya bulu tangan yang lebat, tapi setelah kulihat sekali lagi, aku semakin yakin bahwa itu rambut seperti di kepalanya. Hanya saja lebih pendek dan jarang, tidak selebat di kepalanya. Saking jarangnya, rambut itu tidak akan tampak kalau dilihat dari kejauhan.

Setelah transaksi selesai, masih dengan menunduk, dia berkata lagi. “Nanti bawa ke meja biasanya, ya.” Tangan berambutnya memasukkan kartu ke dompet kulit berwarna cokelat. “Sudah tahu kan, mejanya?” tambahnya lagi tanpa melihat wajahku. Sepertinya dia memang pemalu tingkat akut.

Aku mengangguk. “Ya, meja nomor sembilan, kan? Silakan ditunggu.” Artinya dia memesan menu itu setiap hari Rabu, lalu dimakan di tempat dan waktu yang sama setiap harinya. It's not funny but weird.

Aku memutar bola mata dan berjalan ke belakang untuk membuat pesanannya. Otakku terus-menerus terbayangi wajah dan tangan laki-laki itu. Seumur hidup aku belum pernah melihat wajah sepucat itu,
kecuali dalam film-film vampire dan sejenisnya--yang aku tidak begitu menyukainya. Begitu pun dengan punggung tangan berambut.

Pesanan konsumen aneh itu telah selesai. Aku melepas celemekku yang tersiram saus mi dan meletakkannya di meja dapur. Tadi aku kurang hati-hati saat membuka botol saus, jadi saat tutup botol terbuka, isinya  muncrat ke celemekku bagian perut. Mana sausnya berminyak pula. Sial banget!

Aku berjalan mengantar pesanan ke meja nomor sembilan yang terletak di pojok ruangan yang paling temaram. Meja biasanya. Meja itu merupakan bamboo set kedua di kafe ini. Satu meja persegi dengan dua kursi tanpa lengan yang terbuat dari anyaman bambu hitam. Meskipun hanya terbuat dari bambu, tapi penampilannya tidak kalah indah dengan wooden set ataupun leather set.

Kelemahan meja bambu itu hanya satu, yaitu sisi ujungnya yang berbentuk seperti anyaman terbuka. Maksudnya mungkin untuk menambah nilai estetika meja, tapi mereka tidak berpikir kalau sisi seperti itu, bisa membuat ujung pakaian, jaket atau sejenisnya tersangkut di situ. Tapi, selama yang duduk di sini si Manusia Vampir yang tak suka bergerak, jadi ya, aman saja.

Laki-laki itu membaca buku tebal berwarna putih biru yang berjudul The Seven Habits of Highly Effective Peoples dengan sinar temaram. Bacaan yang membuatku mengerutkan dahi hanya dengan melihat judulnya, bahkan di tempat terang benderang sekali pun. Pantas saja dia memakai kacamata.

Kuletakkan nampan pesanan di hadapannya. “Silakan! Selamat menikmati,” ucapku dengan senyuman basa-basi.

Laki-laki aneh itu mendongak ke arahku sebentar, lalu kembali ke bacaannya lagi. Tanpa sepatah kata pun terucap, tidak juga senyuman atau anggukan. Kinda Icy Guy!

Sekarang aku tahu, kenapa dia menyukai tempat ini. Lampu yang temaram bisa menyamarkan kepucatannya dengan sempurna. Dia juga bisa melihat seluruh ruangan kafe dengan leluasa tanpa ada yang menyadarinya. Satu lagi, sebagai pemalu (menurut analisisku), tempat ini memungkinkan dirinya untuk tidak ter-notice oleh orang lain, kecuali oleh orang sepertiku yang terpaksa me-notice-nya.

Aku berbalik badan meninggalkan laki-laki super aneh itu. Tapi, sial! Baju bagian depanku yang berumbai, tersangkut di ujung meja dan membuatku terjatuh ke lantai.

Sakitku langsung diredam oleh rasa malu. Apalagi saat si laki-laki aneh, mengulurkan tangannya untuk menarikku bangun. Laki-laki itu bangkit dari duduknya, hanya demi menolongku. Masih, tanpa suara maupun ekspresi yang bisa kuartikan darinya.

BUBBLE LIGHT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang