CORVIN (b)

491 73 4
                                    

Selesai sarapan, kami melakukan ritual “pertunjukan” minum teh hingga pukul dua belas. Selanjutnya, aku dan Lee duduk sambil mengobrol di ruang tamu.

Sudah empat kali aku ke sini, tapi belum pernah sekali pun aku diajaknya  melihat bagian lain dari rumah ini. Aku hanya berkisar di ruang tamu, ruang makan yang tidak terpakai, dan dapurnya yang juga jarang digunakan.

“Hari ini kamu nggak ada acara?” tanyaku asal, demi membuatnya berbicara atau sekadar tertawa.

Lee menoleh dan menyipitkan matanya yang sudah sipit, kepadaku. Kedua alisnya yang tak seberapa tebal pun bertaut. “Memangnya aku pernah ada acara di siang hari? Terutama Selasa. Kan...,” dia tampak kebingungan untuk meneruskan kalimatnya. “Uhm... maksudku, aku nggak ada acara apa pun hari ini, bahkan sampai malam nanti.”

Aku tersenyum kecil. “Lee, kamu nggak pengin lihat keadaan luar, gitu? Meski sekadar melihatnya melalui jendela mobil yang nggunain kaca film?” Aku berpikir sejenak untuk mencari kalimat yang pas. “Maksudku, kamu nggak kangen sama... matahari?”

Kuangkat kedua kakiku ke atas sofa dan memeluk kedua lutut. Sesekali kupandangi gelang merah di pergelangan kiriku. Lalu, aku membayangkan kalau pergelangan Lee yang putih kurus itu memakai gelang yang sama sepertiku.

Laki-laki itu mendengkus lalu membuang pandangannya pada tembok abu-abu di ujung ruangan. “Nggak. Aku berada di posisi yang paling nyaman dan aman, saat sendiri dan berdiam di dalam rumah, di duniaku. Dan, aku nggak butuh apa-apa lagi.”

Tidak berapa lama kemudian, Lee yang duduk di sebelah kananku, memiringkan tubuhnya dan menghadap lurus ke arahku yang sejak tadi menghadap padanya dengan punggung bersandar pada tanganan sofa yang tingginya sampai bawah pundakku.

“Berarti aku mengganggumu, dong?” Aku sedikit merengut.

Lee tergelak beberapa detik. “Ya, jelas nggak. Aku justru merasa terberkahi, karena kamu sudah mau berteman denganku.  At least, aku tidak sendirian all day long.”

Kutaruh daguku di atas lutut dan menatapnya lembut. “Emangnya kamu nggak punya temen yang ngajakin kamu hang out, nonton, makan, atau sekadar ngopi bareng, gitu?”

Wajahnya menunduk. “Aku nggak punya teman.”

“Nggak satu pun?”

Dia memggeleng pelan. “Hanya satu. Kamu.” Mata cokelat sipit itu menatapku lekat. Kesenduan di dalamnya seakan melesat keluar dan menghunjam dadaku yang sudah terpenuhi rasa kasihan.

Jemari kananku memainkan benang merah di pergelanganku. “Kamu nggak suka berteman, ya?”

Pria itu mengangguk cepat. Matanya memandangi gelangku sebentar, lalu beralih ke wajahku. “Dan nggak ada yang mau mengajakku berteman. Manusia normal nggak bakalan mau berteman dengan  manusia vampir pesakitan sepertiku.” Dia memang paling pintar kalau disuruh membuat kesimpulan!

“Berarti aku nggak normal, dong?” Aku berharap kalimatku bisa membuatnya tertawa. Tapi aku harus kecewa karena dia hanya tersenyum tipis dengan mengedikkan bahu kurusnya. “Kenapa sih, kamu selalu bilang begitu, Lee? Semua orang itu berhak ditemani dan menemani orang lain,” lanjutku kemudian. Kuulurkan tangan kananku untuk mengelus-elus bahu kurusnya yang menurun.

“Oh ya?” tanyanya yang hanya kujawab dengan anggukan dan senyuman lembut.

Kami saling diam. Selama beberapa saat kami hanya berpandangan, seakan mencoba membaca isi pikiran satu sama lain dan menyimpulkannya. Lee adalah tipe orang yang hanya mau berbicara setelah ditabuh dengan pertanyaan atau pernyataan.

“Gimana kalau aku bantu kamu bersih-bersih? Jangan mellow gini! Nggak asyik, tahu?” Hatiku tidak akan kuat melihatmu begini.

Sial! Bukannya badanku encok semua? Lalu kenapa aku  menawarkan diri untuk membantunya?!

BUBBLE LIGHT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang