Udara sedemikian menusuk dinding-dinding pertahanan kabin musim dingin, terlihat beberapa genang air yang membeku akibat hawa dingin. Berbeda halnya dengan seorang lelaki tegap berdiri sembari menyesuaikan diri.
Terdengar jelas gelak tawa pria paruh baya menggema memecah gendang telinga, mengingatkan pada sakit tiada tara sewaktu sisa hidupnya, pun mengundang ledakan magma di kepala bersamaan dengan telapak tangan yang mengepal sempurna.
Setelahnya, bariton tegas terdengar buas, betapa ia mampu dibangunkan dari keterlenaan hingga lupa pada tujuan awal. Kembali ia berdeham, coba-coba mengumpulkan keberanian untuk sekedar mendekat ke arah pintu utama.
Sial, kenapa jadi gugup begini? Gumamnya, memaki diri sendiri saat langkahnya terhenti seketika.
Entah telah berapa kali makian yang terlontar tak kunjung berbuah, hingga suara merdu harmonika tua milik sobat semasa kecilnya kembali terdengar, kali ini tak hanya sekedar memberi tanda akan sebuah panggilan, sebab sebuah kedatangan terlebih dahulu menyapa setelah pintu terbuka.
Betapa kupu-kupu dalam perut mengerti kesenangan yang melandanya, saat sosok di hadapan melambaikan sebelah tangan dengan lengkung bibir terangkat sempurna.
Charlie, sihir dari harmonika tuamu berkerja padaku juga. Gumamnya dengan senyum yang mengembang; ia kelewat bahagia.
"Kemarilah!" ajak sosok tersebut sembari menggerakkan kepalanya ke arah pekarangan belakang.
Ia mengambil langkah panjang, cukup tergesa demi pertemuan yang telah lama didamba, menatap lekat-lekat punggung sosok pria mungil yang ada dalam ingatan, kini menjadi kekar. Tubuhnya begitu bugar sekalipun memar di beberapa bagian masih setia menyarang.
Bagian-bagian memar kembali membawanya pada ingatan pedih saat sisa hidupnya, di mana luka memar menjadi hal wajib pun wajar dimiliki keduanya.
Ia sangat paham, ketika luka memarnya mulai samar, maka tak butuh waktu lama untuk memperjelas warna. Sekali-kali warnanya berbanding jauh dengan beberapa cairan yang keluar dari balik benjolan.
Warna cairan yang keluar pun berbeda, terkadang merah segar, terkadang pula kuning kecokelatan dengan bau menyengat mengoyak isi dalam perut keduanya.
Benar-benar, malang saja, bukanlah sebutan yang tepat untuk menggambarkan pedihnya kehidupan mereka berdua.
"Jungkook!" sapanya.
Sosok tersebut menoleh, tanpa menanggalkan senyumnya, "ada apa?" tanya-nya.
"Badanmu boleh besar, tapi peluk untuk kakakmu ini tidak boleh hilang!" celetuknya, mengantar Jungkook ke dalam pelukan.
"Bagaimana bisa aku menghilangkan kebiasaan lama kita, Jim!" sangganya.
Dengan pelukan erat, tercium jelas aroma maskulin sang adik yang menghantam indra penciumannya. Aroma asam khas seorang bocah kini telah jauh berubah, lagi-lagi mampu membuatnya bangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Covered Hills
Fanfiction𝕊𝘦𝘳𝘱𝘪𝘩𝘢𝘯 𝘫𝘪𝘸𝘢 𝘑𝘪𝘮𝘪𝘯 𝘳𝘰𝘯𝘵𝘰𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘶𝘣𝘪-𝘵𝘶𝘣i, 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘯𝘫𝘦𝘮𝘱𝘶𝘵𝘢𝘯 𝘑𝘶𝘯𝘨𝘬𝘰𝘰𝘬; 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘳𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘧𝘢𝘯𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘥𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘬𝘪𝘵𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘱𝘦𝘥𝘪𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘳�...