Bagai belati ditusukkan ke dadanya berkali-kali, saat Jimin melihat dirinya sendiri mengendarai mobil di malam hari. Jantungnya berdegum kencang, menebak-nebak atas apa yang akan terjadi padanya setelah ini.
Ingatan akan dirinya sendiri memaki sang Ayah sepanjang perjalanan bekendara, dengan kepalan tangan yang sesekali di pukulkan pada kemudi hingga muncul ruam-ruam merah, lalu merasa sakitnya meradang hingga sekarang.
Dengan tubuh yang semakin lama semakin terasa sakitnya, tanpa terduga netranya menangkap sebuah pohon kecil yang dalam hitungan detik kian membesar.
Himpitan pada dada mulai terasa amat menyiksa, udara pun enggan menerpa indra penciuman demi bertukar napas, sungguh pedih yang teramat sangat.
"Aaagghh!" pekik Jimin, setelah rangkaian ingatannya memberi suara benturan keras yang mampu merobek gendang telinganya.
Susah payah Jimin mengendalikan diri, hingga perlahan ia coba membuka netranya kembali. Kembali pada sebuah lembah dalam dan sempit, dengan api yang menjadi penerang untuk gelapnya memori.
Jimin tercengang, tubuhnya mengejang, pening makin tak katuhan, ingatan demi ingatan memilukan itu mampu membawa dirinya pulang, bersama panggilan samar yang kian jelas terdengar.
"Jimin .... "
"Jimin!"
Jimin benar-benar kembali, dengan wajah pucat sang adik yang coba menggoyang-goyangkan tubuhnya sembari memangil beberapa kali.
"Kau? Sejak kapan?" tanya Jimin, heran.
"Kau yang sejak kapan melamun di balik pohon ini? Aneh!" cacinya, lalu meninggalkan Jimin yang masih terdiam untuk duduk kembali.
Jimin coba mengatur napas lagi, sembari mengambil langkah pelan demi mengikuti sang adik. Setelah dirinya berhasil mengistirahatkan diri di teras kabin, hal aneh kembali terjadi. Ia mampu merasa hawa dirinya serupa dengan milik sang adik.
Setengah mati Jimin coba memahami arti dari keadaan saat ini, pun netranya yang membola sedari tadi berhasil didapati oleh sang adik.
"Jim, ada yang salah?" tanya Jungkook, mampu menyentakkan Jimin dari lamunan.
"Bisakah sekali saja, kau panggil aku Kakak?" protesnya.
Jungkook terkekeh sebentar, sembari menggelengkan kepala. "Permintaan macan apa itu? Bukankah dari dulu aku selalu memanggilmu dengan nama asli?"
Betapa murahannya seorang Jimin, dengan kekehan sang adik saja mampu membuat lengkung bibirnya terangkat kembali.
"Sudah, lupakan saja," Jimin menjeda, "sekarang, ceritakan apa yang terjadi di dalam!" lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Covered Hills
Fanfiction𝕊𝘦𝘳𝘱𝘪𝘩𝘢𝘯 𝘫𝘪𝘸𝘢 𝘑𝘪𝘮𝘪𝘯 𝘳𝘰𝘯𝘵𝘰𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘶𝘣𝘪-𝘵𝘶𝘣i, 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘯𝘫𝘦𝘮𝘱𝘶𝘵𝘢𝘯 𝘑𝘶𝘯𝘨𝘬𝘰𝘰𝘬; 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘳𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘧𝘢𝘯𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘥𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘬𝘪𝘵𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘱𝘦𝘥𝘪𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘳�...