w o r s t

92 14 4
                                    

Deru napas antar dua lekaki menjadi teman kesunyian kali ini, satu sibuk menahan emosi, sementara satu lagi sibuk memainkan jemari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Deru napas antar dua lekaki menjadi teman kesunyian kali ini, satu sibuk menahan emosi, sementara satu lagi sibuk memainkan jemari. Penyesalan kian menjadi-jadi pada diri yang mereka anggap hina sendiri.

Genap sepuluh menit mereka saling berdiam diri tanpa mampu menatap satu sama lain.

"Jungkook!" bariton tegas terdengar sedemikian jelas, membawa ketakutan bagi keduanya.

"Apa itu Ayah?" tanya Jimin, membuka suara.

"Kemana perginya Anak Sialan itu? Jungkook!" bariton itu lagi.

"Jim, cepat sembunyi! Aku segera kembali!" titah Jungkook, lalu berlari memasuki kabin.

"Jung—" katanya terputus, dengan punggung Jungkook yang menghilang dari balik pintu.

Kemudian rasa resah datang menghantui Jimin dengan ketidak berdayaan diri, kembali ia mencaci maki tiada henti yang sungguh tak berarti.

Segala hal buruk menyarang di ujung kepala, mengeruk hal-hal baik sampai ke akar-akarnya, tak mampu lagi ia mengatur napas, hingga suatu suara terdengar sedemikian keras dari dalam sana.

"Anak tidak berguna!"

Bariton dari pria yang sangat Jimin kenal, membuat magma di puncak kepalanya meluap-luap. Namun amarah tidak cukup kuat untuk menuntunnya masuk dan memporak-porandakan seisi kabin dengan tangan lemahnya.

Jimin tetap diam, bersembunyi di balik pohon berselimut salju sedemikian lebat, memandang sayu kabin sembari menebak-nebak hal buruk terhadap adiknya. Kemudian, ujung bibir kanan tertarik ke atas, seraya mengeluarkan tawa renyah demi mengejek dirinya yang lemah.

"Ayo bicara, Bodoh!"

"Sekali saja, jadilah anak yang berguna, sekali saja!"

Bagai tikaman, bariton sang Ayah nyaring sekali terdengar, membuat gendang telinganya berdegung tidak karuhan, menjalar terus ke atas hingga pening melanda.

Aduhai ... merana tubuh Jimin yang lunglai, buruk rupa hati digerogoti rasa sakit mendengar bariton sang Ayah secara rutin tanpa balas dari sang adik walau hanya sedikit.

"Balas Kelinci Bodoh, balas .... " lirih Jimin, tak kuasa menahan genangan air.

Saat kepalanya kembali pening dengan gendang telinga berdengung tiada henti, ingatan akan masa kecil dirinya dan sang adik kembali, tepat pada hari-hari terakhir yang membawa dirinya di sini.

Tepat satu tahun yang lalu; satu malam sebelum malam natal tiba. Jimin benar-benar muak dengan gelagat sang Ayah, di hari baik pun ia masih sempat bermabuk -mabuk ria.

Sebelum darah Jimin naik dengan sempurna ke kepala, Jungkook terlebih dahulu membuatnya melempar pandang pada kesibukannya; menghias pohon natal sembari menunggu habisnya malam.

Covered HillsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang