1 minggu lamanya Shelo di rawat, selama 1 minggu itu juga lidahku terasa kelu memberitahu masalah keguguran yang dialaminya, aku takut dia terluka dan ujungnya membenciku. Aku tak masalah dia marah ataupun benci tapi aku tak sanggup jika dia nanti memilih untuk pergi meninggalkanku.
“Sayangnya Bunda, tumben amat seminggu ini gak minta macam-macam” katanya pelan sambil mengelus perutnya, ya Tuhan hatiku hancur mendengar perkataannya. Apa aku harus jujur dan bersiap menerima semua resiko yang ada, daripada melihatnya seperti ini.
“Sayang, aku heran deh semenjak masuk rumah sakit… rasanya semua ngidam yang dulu aku rasakan hilang” dia menatapku dengan wajah bahagia, tapi ini semua palsu, aku tidak mau membuatnya terbuai dan merasa anak kami masih ada, ya aku harus jujur, bukannya jujur lebih baik daripada bohong.
“Sayang…” tapi lidah ini terasa kelu ketika mau memulai memberitahunya, apalagi melihat wajahnya. Argggggg betapa berat beban ini.
“Ya, kenapa sayang” balasnya, aku menutup mataku dan memegang tangannya.
“Kamu boleh marah dan benci sama aku setelah mendengar apa yang akan aku beritahu, aku pasrah dan terima apapun mau kamu, tapi satu hal yang perlu kamu tau, sampai kapanpun aku akan tetap mencintai dan menyayangimu, apapun situasi nantinya diantara kita” suaraku bergetar sedangkan dia masih menatapku heran.
“Ada apa” tanyanya pelan, wajahnya tegang dan juga cemas, tangan kanannya aku genggam sedangkan tangan kirinya tak berhenti mengelus perutnya. Aku menghentikan elusannya dan berusaha untuk memberitahunya dengan sangat pelan.
“Anak kita… maafin aku sayang, anak kita tidak bisa diselamatkan ketika kamu jatuh, aku bingung bagaimana memberitahu kamu, apalagi mendengar kamu mengatakan….” Dia menatapku dengan tatapan kosong, sedih dan pilu terlihat dimatanya. Reaksinya sama sekali tidak seperti aku bayangkan, aku mengira dia akan mengamuk atau histeris, yang ada kali ini dia diam seribu bahasa, tatapan kosong dan juga tanpa nyawa.
“Sayang…” aku berusaha menyadarkannya, aku tidak mau dia larut dalam kesedihan, andai Tuhan berkehendak toh kami masih bisa berusaha memiliki anak lagi.
“Aku mau pulang” hanya itu yang keluar dari mulutnya, tanpa airmata dan histeris.
“Iya, aku akan urus kepulangan kita, kamu tunggu disini ya… aku urus administrasinya dulu” aku membaringkannya dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut, tak lupa aku mencium pipi kiri, pipi kanan dan keningnya. Aku seakan enggan meninggalkannya, aku takut ketika aku pergi dia akan pergi meninggalkan aku.
“Love you the moon and back sayang..” kataku ditelinganya, agar di atau betapa aku mencintainya, sangat mencintainya melebihi apapun didunia ini. Hilangnya lukisan dan galeri tidak berarti dibanding kehilangannya.
Dengan cepat aku mengurus kepulangan Shelo, aku tidak mau terlalu lama meninggalkannya, dan setelah semua urusan administrasi selesai, dengan sedikit berlari aku langsung menuju kamar rawat Shelo. Aku membuka pintu dan melihat ranjangnya sudah rapi, selimut terlipat dan untaian selang infuse tergantung di tiang.
“Ya Tuhan..” aku panik dan cemas, Shelo pasti kabur dan pergi setelah kepergianku tadi. Aku menghubungi ponselnya, ternyata masih ada di laci. Aku bertanya kepada ruangan suster yang tepat berada di depan ruang rawat Shelo, dan nihil mereka sama sekali tidak melihat Shelo keluar. Ketika aku hendak mencarinya keluar, tanpa sengaja aku mendengar isak tangis dari dalam kamar mandi. Aku bergegas mendekati kamar mandi dan dengan pelan membuka pintu yang untungnya tidak terkunci.
Aku melihat Shelo duduk dilantai membelakangiku, tangannya memeluk kedua kakinya, isak tangis tertahan aku dengar. Istriku ini berusaha untuk tegar tapi akhirnya dia hancur berkeping-keping.