4. Penolong Catie

20 8 3
                                    

Serupa angin menerbangkan debu. Begitulah kamu membuang perasaan ini ---Lakuna Asrar

Luka lama tidak perlu ditimbun lagi dengan luka yang baru--- Dayita Efemeral                          


                         ~

Semilir rasa hangat menerpa permukaan wajah saat pintu jati di depannya terbuka lebar menampilkan ruangan putih dengan miniatur perabot tertata rapi dan simpel. Ruangan di lantai tiga ini memang Dayita akui cukup nyaman dan orang lain bisa menebak, yang tinggal di sini jelas dari kalangan atas.

Dia agak kesusahan membuka mantel karena tangannya yang lain memeluk hewan menggemaskan itu dan satunya menjinjing case biola. Sadar, pria itu membantu membawa Catie. "Terima kasih!"

Tanpa jawaban dia mendudukan Catie di atas sofa, tanpa peduli sofa bersihnya akan ternodai. Harum maskulin menyeruak saat posisinya lebih ke dalam. Tapi entah seperti ada yang kurang, dinding putih itu berdiri tanpa foto atau lukisan satu pun. Ah, buat apa memperdulikan itu.

Pria tadi muncul dari salah satu bilik kamar, kaos hitam melekat di badan, dia mengganti pakaian.
Dua handuk putih di depan wajah Dayita.

"Boleh saya pinjam hairdryer juga, kalau ada."

Dari ujung mata lelaki yang belum menyebutkan namanya itu sekilas memutar bola mata, mungkin kesal karena Dayita banyak maunya. Tapi, toh dia pun pergi masuk kamar lagi. Bunyi ribut barang berjatuhan mampir di telinga gadis itu. Dia merasa tidak enak hati.

"Nih, pakai saja!"

Dayita mengangguk terimakasih. "Nama anda siapa? Maaf, biar saya nyebutnya enak. Saya Dayita!"

"Lakuna Asrar! Cepat kucingnya keburu mati itu."

Kini dia sepenuhnya memusatkan perhatian ke Catie. Hewan malang itu bersuara lemah, bola matanya nampak tidak berdaya selayaknya makhluk hidup menghadapi kematian. Mungkin, jika tadi ia tidak mengeong, esok tubuh sepenuhnya beku.

Suara bising mesin menggema ke seluruh ruangan, Catie berpindah ke pangkuan seraya mengeong terus, mungkin geli.
"Bilang makasih sama om, Catie!"

Suara bisik Dayita masih masuk kuping. "Catie, Siapa? Jangan-jangan ... loe gila ya."

Aksen khas Jakarta, Loe-Gue tercetus dari Lakuna. Rasanya agak aneh setelah sekian lama dia tidak dengar. Kebanyakan ditemui aksen Jerman asli, yang mungkin telah melekat di kepalanya. Lidahnya berubah kelu, kikuk bagaimana menjelaskan. "Eum ... dia. Maksudnya, kucing ini namanya, Catie ...." Perlahan, dia mendongak, menunggu respon dari lelaki di hadapannya.

Sebuah suara berat tiba-tiba terdengar nyaring.

Dayita berwajah kecut, merasa heran sekaligus terhina. Apa coba yang lucu? Dia hanya memberinya nama, itu saja. Lagipula dia kan betina, masa mau diberi nama Karjo.

"Baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu. Terima kasih banyak sudah menolong saya, oh tidak, tapi Catie!" tukas Dayita seraya memposisikan Catie supaya tenang yang sejak tadi meronta ingin lepas. Dalam hati, saat melihatnya di luar kedinginan, hatinya sudah bertekad akan memeliharanya. Karena dia mengingatkan padanya 10 tahun lalu.

Di daun pintu, sebuah cekalan bersarang di bahu. Gadis itu menoleh dengan alis naik. "Ada apa ya?"

"Tunggu!" ucapnya. Lalu, jarak posisinya menjadi tipis. Bisa ia rasakan hembusan napas menggelayar di tengkuk. Bulu roma seketika remang. Wangi sebuah farpum yang ia tahu harganya melejit, menusuk penciuman. Dia orang kaya, eh, ya jelaslah. Coba perhatikan apartemen mahalnya. Seekor nyamuk pun segan singgah di ranjang berbahan lembut itu.

Rehurt (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang