6. Candu Sadar Merindu

22 7 3
                                    

Raga memang terpisah, tapi kenapa? Kamu selalu mencumbuiku di setiap mimpi. --- Dayita Efemeral

Sesering mentari menyapa. Begitulah, aku ada. --- Lakuna Asrar

-Rehurt-

~

"Scalpel!" *

"Ini, Dok!"

Bunyi layar monitor mengiring jiwa terlentang di bawah kaki tangan Tuhan. Menyatukan serpihan nyeri ditumpukkan harapan asa, wajah-wajah lelah bersimbah darah dan keringat tidak ingin terebut raut duka di luar sana. Karena mereka orang-orang perantara Tuhan. Setumpuk tugas mendarat di punggung-punggung yang dibalut kain putih itu.

Suara benda beradu dengan kulit manusia menjadi pengisi dinginnya ruangan. Rasa kebas hadir disela telapak kaki sertai lima jari seperti disengat ribuan semut. Kepala terantuk selang infus tidak lupa kantung mata menggantung, menandakan si pemilik kekurangan waktu istirahat. Bukan kurang lagi, mungkin jarang. Semua itu dituntut sebuah pekerjaan disertai kewajiban. Tapi harus tetap mereka harus bertahan demi jiwa-jiwa meronta kesakitan, kepanasan atau mati rasa.

Tetes cairan membasahi kening, mendarat di ujung kain penutup hidung. Jari jemari itu menari di atas pengharapan dan doa semesta. Darah berdesir menerobos nadi.

Inilah puncak gunung tertinggi, puncak pencapaian atas janji di masa lalu. Pengukiran nama di sebuah almamater yang tertulis Lakuna Asrar.

Sukar diurai.

Menempa kesabaran, menitik terjal berkali-kali terperosok, bertahun-tahun tidak terasa. Satu nama sebagai titik terang, acuan manakala hati sedang resah hingga kepala susah. Tapi, cahaya itu padam.

Lakuna berdiri di ujung puncak tertinggi, mengangkat bendera penuh kemenangan. Meski yang di depan nyatanya tidak sesuai harapan. Dia meliukkan tubuhnya di atas amuk nafsu, menuai benih atas segalanya. Demi sebuah hal yang fana, dia menerobos nyala api membara, menerjang badai yang memporak-porandakan hati damai.

Kini, tersisa hembusan napas memburu.

"Dok, pasien mengalami anesthesia awareness! Bagaimana ini, Dok!" Sebuah suara halus meluncur bersamaan munculnya seorang perempuan dari balik kain.

"Bodoh!"

Wajah-wajah panik mengisi kebisuan. Meski, proses pencangkokkan arteri masih berlangsung. Sebisa mungkin mereka membuang serangkaian hal yang berseliwer di kepala. Tidak jangan panik, sebuah tugas besar tengah mereka genggam. Tenang setenang riak air.

"Surgical."

Sebuah gunting perak terulur.

                         ~

Heran, setiap kali mendengar kata nikah, Lakuna ingin tertawa. Tidak. Dia tidak sedang melucu, memang itu kenyataannya. Aneh.

Ia mengeja ulang rangkaian huruf bertinta emas itu dalam diam.

"Jangan diliatin terus, ditinggal nikah emang sakit!" seru seseorang yang baru saja menyeruak masuk.

Seruan itu membuat Lakuna menoleh. Lantas, tertawa kecil diiringi pukulan ke perut buncit si pengganggu barusan.

"Gimana, operasinya lancar?" tanyanya lagi.

"Ngapain lo mari, kaya gak ada pasien aja!

"Lah, suka-suka gue lah. Ngomong-ngomong, itu undangan mantan lo ya? Tadi gue sempet lihat di meja lo." papar orang yang mengenakan jas putih dengan tertulis Angan Barata.

Rehurt (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang