"Pak Zean sudah menunggu anda, Dokter Anna! Kumohon pergilah temui dia."
"Aku tau. Aku tau. Aku akan menunggu lima menit lagi. Jika dia belum sadar juga, aku akan berlari ke kantornya. Puas?"
"Tapi--"
"Kalau kalian takut dihukum oleh Zean, lebih baik kalian keluar ruangan ini sekarang juga," gadis itu memberikan jeda sedetik sebelum kembali melanjutkan. "Dalam hitungan ketiga, kalian harus sudah berada di luar ruangan ini. Satu! Dua!"
Kemudian terdengar suara derap kaki tergesa-gesa disusul oleh suara pintu terbuka.
Jangan tanya di mana aku sekarang, karena aku juga tidak tau jawabannya. Indra pendengaranku aktif terlebih dahulu sebelum kelopak mataku bergerak memberikan celah agar mataku menangkap beberapa cahaya. Sedetik kemudian, aku baru menyadari betapa sakitnya sekujur tubuhku. Tangan kananku terasa berat dan sakit mulai dari lengan hingga pertengahan tulang hastaku. Kakiku mati rasa. Tapi jariku masih bisa kugerakkan. Namun ketika aku berusaha menggerakkan pergelangan tanganku, sakitnya minta ampun. Spontan aku merintih pelan.
"Hei! Kau sudah bangun? Kumohon buka matamu!" suara itu terdengar lagi. Ternyata wanita itu masih di sini. Si dokter Anna masih di sini. Kenapa dia di sini?
Kugerakkan kelopak mataku untuk mengintip. Ada sebuah wajah cantik yang cemas di depanku. Wajah yang familiar, tapi aku masih belum mengingatnya. Di belakang wajah itu hanya plafon putih. Kepala wanita itu menutupi posisi lampu hingga wajahnya terlihat agak gelap dengan pendar putih di sekitar kepalanya.
Dengan sigap, tangannya bergerak memeriksa mataku, menyorotnya dengan senter yang ia bawa dan digerakkan beberapa kali ke arah yang berbeda. Kemudian ia sedikit menekan pergelangan tanganku. Seperti dokter profesional di acara televisi ketika memeriksa organ vital pasiennya.
Beberapa saat kemudian, perempuan itu tersenyum lega. Ia mundur selangkah, lalu duduk di tepi pembaringanku. Tepat ketika tatapan mataku sudah bisa fokus, tiba-tiba ia menegakkan jari tengah dan jari telunjuknya ke arahku.
"Ini berapa?"
"Dua," jawabku spontan dengan suara agak serak. Aku berdeham, membersihkan tenggorokanku, kemudian mengulangi lagi jawabanku, "dua".
"Kalau ini?" ia menaikkan jari manisnya bersama dua jari yang sebelumnya terangkat.
"Ti--" aku belum selesai memberikan jawaban, jari kelingkingnya tiba-tiba ikut terangkat. "Empat," dan tepat saat aku selesai menjawab, jari kelingking dan jari manisnya kembali turun terlipat.
"Hei!!" protesku.
Wanita itu tertawa. Saat itu aku baru mengenalinya.
"Kalau ini?" ia mulai lagi dengan tes konyolnya. Kali ini ia mengangkat tiga jari, sama seperti tes sebelumnya.
"Kamu beneran dokter atau cuma gadungan, sih, Ka? Tesnya sekali aja 'kan cukup," protesku. Namun senyumku menolak untuk bersembunyi, membuatku terlihat seperti sedang bercanda. Seperti halnya dengan yang Eka lakukan sekarang. Tapi ia lebih bisa mempertahankan wajah seriusnya sementara senyumnya mendesak untuk muncul.
"Jawab aja kenapa, sih?" dengusnya kesal. Sekilas, aku melihatnya tersenyum.
Aku menghela nafas berat. "Dua," jawabku.
"Salah!"
Aku langsung menatapnya protes. Jelas jelas jarinya yang terangkat hanya jari telunjuk dan jari tengahnya. "Kenapa salah?" protesku.
"Ini huruf V, bukan dua. Kamu salah," jawabnya seperti sedang bicara dengan anak balita.
Kini aku yang mendengus kesal. "Tadi kan pertanyaannya berapa jari yang terangkat. Berarti jawabannya angka, 'kan?" tuntutku.
"Aku kan tanyanya, 'kalau ini?' berarti jawabannya nggak harus angka," kelaknya. Ia tertawa sebentar karena melihatku tidak bisa menjawabnya. "Okay. Kita coba lagi," Eka menegakkan tiga jarinya.
Aku hampir menjawab tiga, namun segera kuganti. "W," jawabku.
Eka tersenyum. "Sudah mulai pinter, nih. Kalau ini?" kali ini empat jari yang terangkat.
Aku diam sesaat, kemudian menjawab, "Wi?"
"Bukan. Ini Wu."
"Kok bisa?" protesku lagi.
"Kan ini huruf U. Mereka kembar siam, jadi badannya ada yang nempel."
"Kalo mereka kembar siam, harusnya jadi tripel U."
"Kembar nggak harus sama, kali. Lagipula, 'kan aku yang ngoperasi mereka, Yan! Janinnya itu ada dua dan waktu dioperasi, kondisi mereka sudah--"
"Tunggu! Sebenernya kita ngomongin apa, sih, nih?" interupsiku sebelum wanita cantik di depanku ini mengoceh dengan istilah kedokteran lebih dalam.
Ia mendadak diam. Berkedip beberapa kali. Sepertinya ia sama bingungnya denganku. Tiba-tiba ponselnya berdering lirih. Ia mengambil gadget itu dari saku jas putihnya, lalu mengecek layar ponselnya.
"Dasar manja!" gerutunya kesal sebelum menggoreskan permukaan sidik jarinya secara horizontal di layar ponselnya.
"Iya, Zean. Aku ke sana sekarang. Ini pasienku baru bangun." Eka diam sejenak sambil memutar bola mata, kebiasaannya kalau ia sedang kesal atau muak.
"Okay. Iya. Iya. Bye. See you," Eka diam sedetik. Ekspresinya mendadak kaget. "You know that I hate you," katanya sebelum menutup telpon. Sekarang ekspresinya benar-benar terlihat seolah ingin mencakar sesuatu.
Eka menatapku sesaat kemudian tertawa. "Kenapa liatin aku kayak gitu sih, Yan? Ada yang aneh sama wajahku? Belepotan, ya?" tanyanya. Tangannya terangkat untuk menggapai sesuatu di belakang lehernya.
Aku menggeleng. "Nggak. Aku heran aja. Dulu kamu bilang kalo mau jadi ilustrator atau penulis novel, kan? Eh, sekarang malah jadi dokter."
Tangan Eka terus bergerak mencari sesuatu di belakang lehernya, sementara ekspresinya berubah. Aku tidak terlalu yakin bahwa ia sedang terlihat kesal dan sedih sekaligus.
"Sebuah kesalahan kecil bisa mengubah banyak hal, Yan," jawabnya dan akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya di belakang leher putihnya. Sebuah kait dari kalung yang ia kenakan di balik pakaiannya. Setelah ia melepaskan kaitan kalungnya, ia menarik kalung itu keluar dari pakaiannya. Mataku langsung terpaku pada bandul kalungnya. Sebuah cincin perak bermata sepotong kecil batu saphire, batu kesukaan Eka. Cincin yang membuatku tertimpa musibah hanya dengan melihatnya.
Eka melepaskan cincin itu dari tali kalungnya, kemudian mengenakannya di jari manisnya di sebelah kiri. Lambang pertunangan. Tidak mungkin.
"Apakah orang yang baru saja bicara denganmu di telpon, pria bernama Zean itu, apakah dia tunanganmu?" tanyaku.
Eka yag baru saja berdiri langsung mematung sesaat.
"It's complicated," jawabnya lirih sambil menatap lantai putih yang dingin. Ia mengalihkan fokus matanya ke arahku, dan ia memaksakan sebuah senyum.
"Aku harus pergi sekarang. Bye, Rian," pamitnya sambil mengacak-acak rambutku pelan, lalu berjalan cepat menuju pintu yang separuh bagian atasnya terbuat dari kaca buram. Meninggalkanku yang sedang menatapnya dengan napas yang terasa berat.
Eka melakukan kesalahan kecil yang membuatnya membuang mimpinya menjadi ilustrator. Aku bisa melihat kalau ia terpaksa atau dipaksa untuk membuang mimpinya dan menggantinya dengan yang baru. Seseorang memaksanya menjadi seorang dokter. Dan Zean, aku juga yakin kalau Eka juga terpaksa harus bersamanya. Eka tidak mau bersama Zean.
Dari senyumannya selama beberapa menit terakhir ini membuatku amat yakin akan beberapa hal. Eka masih mengingatku. Eka senang bertemu denganku. Dan Eka menyukaiku, kuharap yang ini benar.
=================
-Januari 2015-
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Wor(l)d
RomanceAdrian Shimaru, pria yang masih belum bisa terlepas dari sang cinta pertama dan keisengannya untuk mencari sang gadis malah membuatnya terjerumus dalam hubungan hati yang rumit. Echana Reefhitch, gadis yang terjerat janji di masa lalu yang menguba...