Three : Similiar

134 4 4
                                    

Seorang dokter harusnya membawa stetoscop mengalung di lehernya. Baiklah, itu adalah pendapat umum dan aku melupakan hal penting. Echana tidak termasuk dalam golongan umum. 

Dia unik. Dia masih unik. Buktinya, sekarang ia masuk ke dalam ruang rawatku dengan mengenakan kalung tali yang terbuat dari kain dengan alat tulis sebagai bandulnya. Entah itu pensil atau bolpen. Tapi aku yakin kalau benda itu memang alat tulis. 

Tali berwarna jingga cerah itu benar-benar tidak bisa dilewatkan oleh mata. Kemeja sewarna biru langit ditutup oleh jas putih khas dokternya semakin membuat kalung alat tulis itu terlihat mencolok. Ransel coklat menggantung di punggungnya. Tabung kecil dan panjang, tempat yang biasa para arsitek gunakan untuk menyimpan dan membawa hasil karya yang mereka tuang dalam lembaran kertas juga menggantung di bahu kanannya. 

Di mataku sekarang, ia sama sekali tidak terlihat seperti seorang dokter. Ia lebih terlihat seperti mahasiswa jurusan arsitek yang sedang magang mengenakan jas putih, atau akan mengumpulkan tugas ke dosennya. Ya. Jas putih yang identik dengan status sosial sebagai seorang dokter itu jadi terlihat seperti jas putih biasa jika gadis itu yang mengenakannya.

Kini aku menatap wajah cantiknya. Ih, kapan sih Eka nggak cakep gini? Senyumannya yang terbentuk ketika mata kami bertemu membuatku makin berharap kalau ia memang menyukaiku. Setidaknya ia merasa senang melihatku. Seperti sebelum-sebelumnya, senyumannya selalu membuat ujung bibirku bergerak membuat senyuman manis untuknya.

"Hai, Tuan Pasien! Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanyanya sembari berjalan ke arahku, masih dengan senyum yang membuat jantungku berdetak tak beraturan.

"Tubuhku masih terasa sakit dan nyeri di berbagai tempat, tapi aku merasa lebih baik dari kemarin, Bu Dokter," jawabku.

"Baguslah," katanya sambil duduk di tepi pembaringanku, lokasi yang sama saat kemarin ia duduk. Ia melepaskan ransel dari punggungnya, lalu menggeledah isinya. Beberapa detik kemudian, tangannya membawa keluar sebuah stetoscop dari dalam ranselnya. 

"Sekarang aku akan memeriksamu, Tuan Pasien," katanya sambil mengenakan stetoscopnya dan mengeluarkan sebuah senter kecil dari saku jas putihnya.

Sementara aku melakukan instruksi dokter cantik ini, mataku beberapa kali melirik barang bawaannya yang ia letakkan di atas kursi di samping pembaringanku. Aku berniat menahan pertanyaanku tentang barang bawaannya hingga ia selesai memeriksaku. Namun aku gagal karena ia memergokiku melirik penasaran ke barang bawaannya.

"Kenapa lirikin barang-barangku? Kepo, ya?" godanya sambil memeriksa dadaku dengan stetoscopnya.

Aku belum sempat menyahutinya, ia sudah duluan melanjutkan menggodaku. "Aku nggak nyangka kalo kamu masih kepo, lho, Yan. Waktu kamu nguping saat itu, walaupun kamu bilang kalo nggak sengaja, tetep aja yang bikin kamu stay sampe percakapan berakhir karena kamu kepo, 'kan? Kayak sekarang."

Tanpa dijelaskan lebih rinci, aku tahu maksudnya. Ia mengungkit lagi alasanku menguping saat ia ditembak kakak kelas waktu SMP dulu. 

"Ya udah, deh. Aku kepo," sahutku mengalah. Ia tidak akan membiarkan topik ini dialihkan hingga aku memberikan alasan beserta bukti, atau sekedar menerima tuduhannya. 

"Itu kamu bawa apa aja, sih? Kok banyak banget?" tanyaku sebelum kehabisan waktu untuk menanyakan topik pembicaraan kami awal tadi.

Eka menoleh ke arah barang-barangnya sejenak, kemudian kembali menatap ke arahku sambil tersenyum. "Itu bahan-bahan untuk pertunjukan nanti" jawabnya. Matanya penuh kilat semangat.

"Pertunjukan? Di rumah sakit ini?" tanyaku tidak percaya.

Eka mengangguk mantap. Ia mengalihkan stetoscopnya dariku. Kini ia memeriksa laju jantungku dengan menekan pelan pergelangan tanganku yang tidak terluka. "Iya. Di divisi bedah anak. Aku berjanji pada anak-anak di sana untuk membacakan cerita untuk mereka."

Innocent Wor(l)dTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang