setitik kebahagiaan

48 10 0
                                    

"Qi, sosis nya enakan yang ini apa yang ini?" saya menunjuk pada satu bungkus sosis yang ada di tangan Tiara.

Dirga. Semalam dia tiba-tiba saja membuat semua orang memaki karena memberi perintah untuk rapat di rumah milik Aji. Tapi siapa yang tau, dia tiba-tiba datang dengan menenteng satu plastik yang berisi arang dan tusuk sate.

"Kita bakar-bakaran aja ya. Gue punya tusuk sate sisa, sayang kalo ga dipake"  begitu jawabannya ketika ditodong pertanyaan oleh Haris yang tidak terima jadwal tidur nya diganggu.

Mungkin dia rindu,
pada riuh nya kami saat sebelum wudhu.
Tapi dia malu,
jadi memilih menyimpan sendiri melawan ragu.

Ketika saya kembali ke rumah Aji, tak ada siapapun. Kecuali Bang Eja— kakak laki-laki Aji— yang sedang memetik gitar nya.

"Qi, dari mana?" tanya nya saat mata kami bertemu. Saya memang lumayan dekat dengan Bang Eja, semenjak sah menjadi milik Esa.

"Beli sosis, sama cemilan. Yang lain dimana bang?"

"Keatas aja, udah dari tadi pada di atas"

"Oh oke! Bang Eja ga join?"

"Malu, sama anak muda"

"Oh, merasa purba banget ya bang?"

"Kurang ajar! Sana keatas!" saya terkekeh lalu menuntun lengan milik Tiara untuk langsung naik ke atas.

Ketika saya sampai, seperti biasa, mereka berisik dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sedang asik mengambil potret, ditambah lagi disini ada Esa dan Haris yang memang bisa dibilang memiliki bakat tentang kamera. Ada juga yang asik bermain uno.

"Ini ga ada yang nyalain arang? Bumbu-bumbu nya mana?"

"Kita kan nungguin lo, Qi"

"Harusnya disiapin dari tadi! Biar pas gue dateng tinggal oles-oles terus bakar"

"Udah lah sama lo aja Qi, kita ga ada yang bisa"

"Cuma oles-oles sosis pake mentega, Dirga! Bener-bener ya lo"

"Gak apa-apa, sama kita aja" Esa mengambil alih kantong kresek yang ada ditangan saya. Lalu diraih nya jemari saya untuk kemudian dituntun turun dan melangkah kedapur.

"Macet ga waktu ke pasar" saya mengangguk, terlalu malas bicara karena perlakuan Dirga yang seenaknya.

Saya memang mudah tersinggung, tentang apapun yang menurut saya tidak berkesinambung. Apalagi ketika ada orang yang semena-mena. Rasanya ingin saya tampar lalu mengatakan bahwa saya tak suka tabiatnya.

Emosi saya tiba-tiba mereda saat ada dua lengan yang menyatukan rambut saya yang terurai. Saya menoleh kebelakang, melihat Esa yang sedang membenarkan posisi rambut saya, setelah dirasa cukup, dia mengikatnya pelan. Lalu tubuh saya diputar balikkan, jadi menghadapnya.

"Cantik" katanya sambil merapikan anak rambut disekitar telinga saya. Sedangkan saya hanya dapat memaki dalam hati karena jarak yang tercipta terlalu dekat.

"Kamu mau tusukin apa olesin?"

"Oles"

"Bolehhh"

Hari ini saya jadi sadar, kalau ternyata Esa hebat dalam segala hal. Termasuk menenangkan marah yang tak pernah tenang milik saya. Dia dapat mengendalikan gemuruh yang ribut bahkan hanya menggunakan tatapnya yang lembut.

Entah untuk yang keberapa kali, saya jatuh cinta pada Mahesa. Hari ini, besok, lusa, ataupun lain kali, akan selalu jatuh pada Mahesa.

Perasaan saya dengan cepat membaik, termasuk ketika Haris tiba-tiba datang dan menawarkan bantuan.

"Qi"

"Hm"

"Esa jago ya?"

"Iya, makanya ranking juga"

"Bukan itu" saya melihat kearah Haris yang masih setia mengeluarkan mentega dari bungkusnya, lalu melihat kearah Esa yang mengedikan bahunya tak acuh.

"Ya apaan terus?"

"Lu gak marah lagi waktu bareng Esa. Beuh sakti bener"

"Iya, makanya lo berguru sana sama Esa! Jadi jago juga entar! Tapi kalo lo udah jago, mau diterapkan kesiapa?"

"Ngeledek lo?"

"Nanya!"

"Makanya yis, sama mantan jangan kode-kodean pake link spotify mulu. Kalo masih mau ya bilang dong sama si can-"

"Udah! Gak mau bantuin kalian lagi, pundung gue sumpah" saya dan Esa hanya terkekeh sambil menyatukan kedua telapak tangan kami, high five.


—rumpang—


"JEPRI ITU BASO NYA NGEGELINDING ANJIM YANG BENER DONG"

"PANAS BANGSAT! LO DARIPADA BACOT DOANG GANTIAN DONG"

"NGADI-NGADI LO!"

Saya tertawa lalu mengeratkan pelukan pada diri saya sendiri, karena rasanya angin menusuk sendi.

Seperti biasa, mereka selalu berisik. Saling memaki satu sama lain padahal dalam hati rindunya bukan main.

Saya bersyukur tentang apa-apa yang Tuhan berikan pada saya hingga detik ini. Tentang Papa yang kuat dan selalu melindungi saya dari dunia yang jahat. Tentang Mama yang cantik luar dalamnya, membuat saya bercita-cita menjadi seorang ibu seperti dirinya. Tentang kesehatan, rezeki, rasa aman dan kebahagiaan yang terasa sangat sempurna malam ini. Serta mereka yang kini berada dihadapan saya.

"Aku bilang bawa jaket" ucap Esa sambil menjawil hidung saya.

"Perasaan tadi udah dipegang, tiba-tiba ga ada"

"Aneh-aneh aja" diakhiri kekeh manisnya.

"Sana bantuin!"

"Baru tukeran itu sama Felix, dari tadi aku udah!" protes nya.

Saya masih terkekeh melihat perdebatan yang terjadi antara Aji dan Tiara hingga sebuah tangan secara konsisten menggenggam jemari saya.

"Tangan kamu udah dingin-dingin, besok masuk angin nih" siapa lagi kalo bukan Esa, orang yang sama yang kini meraih dua telapak tangan saya untuk akhirnya disimpan untuk mengangkup pipinya.

"Anget?" saya mengangguk.

"Sini masuk"

"Kemana?" lalu tanpa permisi, Esa menarik saya kepelukannya membuat separuh dari badan saya juga tertutupi jaketnya.

"Tangan nya masukin, biar punggung nya muat juga" saya menurut, menelusupkan lengan saya hingga saat ini keduanya bertengger di punggung Esa.

"Untung aku pake jaket mas Tara, jadi lebih besar"

"Jadi udah di planning?"

"Iya, planning pelukan gini maksudnya"

"Dasar!"





TBC

Hai everyone! Stay safe and stay health yaa

rumpangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang