tidak ada yang seperti dia

40 5 2
                                    

Saya suka hari Sabtu. Alasannya tidak lain dan tidak bukan adalah Esa. Sebenarnya, setiap hari adalah hari yang menyenangkan saat itu bersama Esa. Tapi hari Sabtu terasa berbeda, entah karena apa.

Seperti hari ini, Esa mengajak saya ke pasar sejak dini hari. Kami berbelanja beberapa sayuran untuk akhirnya kami tuangkan jadi sesuatu yang layak makan. Bang Ical—temannya Esa— jatuh sakit. Sebagai teman yang baik, Esa mengajak saya menjenguk sekaligus membuat sarapan untuknya, mengingat beliau adalah mahasiswa rantau.

"Jadi, kita ngapain nih?" tanya Esa setelah sebelum nya ke kamar yang sedang sakit, dan sesuai ekspetasi, Bang Ical sedang tidur.

"Main uno"

"Kamu bawa?" tanya nya lagi dengan mata membulat sempurna.

"Ih, serius atuh, Sa!"

"Oke-oke, kita bagi tugas" dan kami larut dalam pekerjaan masing-masing.

Apartment yang ditinggali Bang Ical terbilang cukup rapi jika untuk seorang laki-laki yang biasanya berbelit dengan image 'berantakan' , tidak jauh berbeda dari Esa. Mungkin bedanya Esa lebih rajin beribadah.

Bicara tentang Bang Ical, dia orang baik. Sangat baik. Dia sering kali membelikan saya dan Esa makanan, dia juga dengan mudah membuang uang untuk teman-teman baiknya. Dia juga tipikal pendengar yang baik, meski saran dari nya tak jarang menampar dengan keras, terlalu realistis.

Saya dan Esa disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Saya yang memotong wortel dan Esa yang bergelut dengan daging ayam. Rencananya kami akan membuat sayur sop, tapi entah hasilnya sesuai rencana atau tidak.

"Motongin nya hati-hati" saya terkekeh mendengar penuturan Esa. Padahal dia yang tidak hati-hati, sudah tau menggunakan pisau yang lebih besar, masih saja melirik saya.

Tapi sial nya, jari telunjuk saya malah terluka. Sebenarnya hanya tergores pisau sedikit, tapi masalah nya adalah, semakin kecil lukanya, semakin terasa perih. Iya kan?

Esa segera menghentikan aktivitas memotong ayam nya, mencuci tangan lalu menghampiri saya. Diraih nya tangan kiri saya, untuk kemudian dia tiup jemari saya yang terluka.

Setelah memerintah saya untuk duduk dan menunggu sebentar, dia kembali dengan kontak p3k di tangan nya. Lalu terus mengomel, "udah aku bilang juga hati-hati".

Saya terkekeh, lagi. Entah kenapa, jika dilihat dari sudut pandang seperti ini, Esa terlihat seperti papa saat saya jatuh dari sepeda. Mata nya membulat tanda marah, mengomel, tapi tetap mengobati.

Iya. Esa seperti papa. Mirip sekali. Mereka pandai menyesuaikan, bisa tegas atau ramah pada momen yang diharapkan. Selain itu, mereka sama-sama pintar. Meskipun papa tidak pintar matematika seperti Esa, tapi saya rasa papa terhitung cerdas dan juga pandai bermain kata.

cup

"Lain kali hati-hati" katanya setelah mengecup jemari saya yang terluka.

rumpang

Waktunya pas sekali antara Bang Ical yang bangun dari tidur nya dan sayur yang sudah matang. Awalnya Bang Ical sempat kaget melihat kami, karena katanya, saat ia bercerita pada teman-teman nya bahwa dia sakit, tidak ada yang bisa datang.

Sebagai wanita satu-satunya, saya memilih menyiapkan makanan baik untuk saya, Esa maupun Bang Ical. Dan makan siang terasa sangat tenang. Tidak ada suara kecuali dentingan dari sendok dan piring yang melakukan peraduan. Tak lupa saya juga memberikan obat yang sebelumnya saya dan Esa beli diperjalanan.

Bang Ical yang merasa lebih baik mengajak saya dan Esa untuk mengobrol di ruang tengah. Tapi sekali lagi, sebagai satu-satunya wanita saya membereskan piring tak lupa mencucinya, meskipun sebelum itu, memakan waktu yang cukup lama untuk berdebat dengan Bang Ical yang melarang saya untuk membereskan nya.

Mungkin, satu hari, saya akan melakukan hal ini setiap hari. Bangun lebih pagi dari si adam, membangunkan lalu menyuruhnya bersiap berperang dengan pekerjaan, lalu menyiapkan pakaian serta sarapan. Setelah kepergiannya, saya akan membereskan hal-hal yang saya rasa berantakan. Atau mungkin menyiram tanaman yang sepakat kami tanam. Dan dalam diam, saya berharap bahwa nantinya si adam adalah Esa.

Saya memilih bergabung ke ruang tengah setelah menyelesaikan mencuci piring.

"Makasih udah mau repot-repot datang, bikinin makan, sama cuci piring, Qia" ucap Bang Ical sesegera mungkin setelah saya duduk disebelah Esa. Saya tersenyum dan mengangguk.

"Sama Qia aja lo makasih, sama gue engga. Dasar kurang ajar!" saya tertawa mendengar penuturan Esa yang hanya dibalas wajah tak suka oleh si lawan bicara.

"Gue kira beneran pada ga akan dateng anjir, tega banget kalian"

"Gue kan emang berhati malaikat, makanya dateng. Yang lain dateng nya maleman kali"

"Serah lu deh, Sa. Btw Qia bosen ga? Mau nonton film?"

"Kegatelan banget sih bang nanya-nanya pacar gue"

"Nanya doang Mahesaaa, emosian banget! Ayo dah main PS"

"Katanya sakit bang, istirahat"

"Udah sembuh gue"

"Berarti bukan sakit itu mah, salatri"

Mereka benar-benar bermain. Meninggalkan saya yang hanya bisa tertawa mendengar candaan mereka. Sampai beberapa jam kemudian, Bang Ical terpaksa menghentikan permainan untuk mengangkat telepon, lalu membukakan pintu. Terlihat lah wujud Ka Ino dan Bang Bayu.

Sedangkan saya dan Esa memilih pulang setelah kedatangan mereka. Bukan tak ingin berbincang atau bagaimana, tapi ini sudah sore. Dan malam minggu adalah malam sakral bagi saya dan Esa. Karena semalaman akan kami habisakan dengan berkeliling kota tak lupa bercerita dengan niat menghilangkan beban.

Ka Ino sebenarnya melarang kami untuk pulang, katanya baru juga dia datang. Tapi mau bagaimana lagi, anak muda sedang kasmaran kan tidak bisa diganggu gugat.

Seperti biasa, saya dan Esa tak pernah punya tujuan jelas. Yang terpenting kami berdua, duduk di vespa Mahesa, lalu berkeliling kota. Merasa angin cukup keras menghantam tubuh, saya memilih mendekatkan diri, lalu membuka perbincangan.

"Sa"

"Hm?"

"Kedenger kan?"

"Kedenger, makanya tadi aku jawab"

"Aku mau nanya"

"Boleh"

"Kenapa pacaran sama aku?" bisa saya liat dari kaca spion, Esa bingung dengan pertanyaan tiba-tiba dari saya.

"Emang gak boleh?"

"Ih bukan gitu! Maksudnya alesan nya gitu"

"Ohh alesan nya... Ya, karena cinta kamu"

"Kenapa cinta sama aku?" saya mendengar kekehan nya.

"Aku gak punya alesan pasti, Qiandra"

"Apaan, gak asik!"

"Bukan gitu. Gak semua pertanyaan punya jawaban, Qia. Termasuk yang ini. Apalagi ini ngomongin tentang alesan kenapa aku cinta sama kamu. Karena kenyataan nya gak ada alesan pasti untuk hal itu. Sama kaya kalo aku ninggalin kamu. Aku gak punya alesan buat hal itu" saya tersenyum.

"Jangan bilang gitu, Esa. Kita gak tau kedepannya bakalan gimana"

"Tapi aku emang gak punya alesan buat ninggalin kam—"

"Hari ini. Kamu gak punya alesan hari ini. Tapi gak tau kedepannya. Jangan bilang gitu, apalagi janji, Allah denger Esa. Nanti bukan aku yang marah, tapi Allah, soalnya kamu udah ingkar"

Esa tidak menjawab lagi, pasti dia takut pada Allah. Keheningan nya bertambah khusuk ketika lampu merah menyala. Saya melihat ke sisi kanan, ada pengamen yang menyanyikan salah satu lagu kesukaan saya. Saya menikmatinya, sampai tangan tangan saya digenggam, lalu diusap pelan.

"Emang itu buat hari ini, kamu gak salah. Tapi kita bisa sama-sama berusaha buat bikin alasan itu gak ada, Qia"
















TBC

ga jelas ya? iya emang

jangan lupa vote sama comment yaaaa semuaaa.



rumpangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang