Prolog

3.7K 28 0
                                    

William menatap Selena dengan perasaan bersalah. Tadi dirinya lah yang membuat janji makan siang, tetapi terpaksa dibatalkan karena Elizabeth mengabari bahwa ibunya datang dan ingin makan siang bersama.

"Pergi saja." gumam Selena. Walau ia sebenarnya merasa kesal.

William berjalan mendekati kursi tempat Selena bekerja. "Aku akan mengganti makan siang ini dengan makan malam, Pumpkin. Bagaimana?"

"Hm," cuek Selena yang fokus memeriksa beberapa berkas yang harus direvisi.

"Hei, apa kau marah?" goda William. Ia tidak bisa pergi begitu saja saat Selena marah, karena bisa-bisa wanita itu mendiamkannya dalam beberapa hari.

"Tidak."

"Come," William menarik tangan Selena untuk dituntun berdiri. Kini mereka saling berhadapan. "Aku akan mempersiapkan makan malam spesial untukmu."

"Terserah kau saja."

William tertawa. "Mengapa kau sangat menggemaskan saat marah seperti ini, My Pumpkin?" lalu mengecup bibir Selena dengan lembut.

"Aku menggemaskan saja tetap kau tinggalkan. Bagaimana jika tidak?!"

William memeluk erat wanita yang tingginya hanya sebatas dada bidangnya, kemudian menghujani puncak kepala Selena dengan kecupan-kecupan penuh kasih sayang. "Ibu mertuaku ingin makan siang bersamaku, jadi aku harus pulang. Jika tidak, aku akan lebih memilihmu dibanding Elizabeth."

Selena mendorong dada William, kemudian memilih untuk kembalu duduk. "Pergi saja, Wil. Aku akan menunggu makan malam yang kau siapkan."

William akhirnya dapat bernapas lega ketika Selena menyetujui plan lainnya. Segera mengecup puncak kepala gadis itu sekali lagi, setelahnya William berpamitan dan benar-benar keluar dari ruangan sekretarisnya itu.

*

"Daddy!" teriak Alicia dengan girang ketika melihat ayahnya bergabung di meja makan mereka.

"Hai, Sweetie!" William mencium pipi gadis kecil itu dengan gemas. "Apa kau menungguku?"

"Ya, tentu saja. Aku, Mommy dan Grandma, kami menunggumu."

"Thank you, Sweetie." ujar William sekenanya.

Setelah menyapa secara berbasa-basi pada istri dan ibu mertuanya, William menarik kursi untuk duduk dan ikut makan siang bersama.

"Bagaimana kehidupan kalian belakangan ini?" tanya Elza di tengah santap siang mereka.

Tentu William tidak suka dengan cara berbasa-basi wanita tua itu. Sebab, tentu ia tahu bahwa William sudah berusaha keras membuat anak dan cucunya bahagia.

"Kami baik-baik saja, Ibu. William selalu membuat aku dan Alicia bahagia." jawab Elizabeth dengan jujur.

"Lalu, kapan kalian akan memberikan adik untuk Alicia?"

Sontak pertanyaan kedua Elza membuat William terbatuk. Tidak kaget, namun pria itu tidak senang.

"Tenanglah, Sayang, Ibu hanya berbasa-basi." respons Elizabeth perhatian sembari memberi segelas air pada suaminya.

"Aku hanya kaget." timpal William setelah meneguk airnya.

"Iya, Daddy, aku sangat ingin punya adik!" seru Alicia semangat. "Semua sahabatku memiliki adik, tetapi aku tidak."

"Benar. Cucuku butuh saudara yang bisa dijadikannya seorang teman." lanjut Elza.

"Aku dan William akan mengusahakannya, Ibu." jawab Elizabeth lagi karena William sepertinya tidak ingin repot merangkai kata-kata manis.

"Benarkah, Mommy? Aku akan segera mempunyai adik?"

Elizabeth tersenyum manis pada Alicia. "Tentu, Sayang."

Alicia bersorak bahagia, pun dengan Elza yang terlihat lega dan tampak tidak sabar untuk mendapatkan cucu kedua.

*

Setelah Elza pulang dan sebelum William kembali ke kantor, pria itu menarik istrinya ke ruang keluarga mereka.

"Jangan berjanji pada mereka kalau kau tidak bisa menepatinya, Elizabeth."

Wanita yang diajak bicara mengangkat kedua alis dengan bingung. "Tidak bisa menepatinya?"

"Aku sudah tidak ingin memiliki anak."

"Kenapa, William?" tuntut Elizabeth tidak senang. "Bahkan aku sangat menginginkan seorang putra."

"Sudahlah, Elizabeth... Alicia saja sudah cukup."

"Tapi—"

William menggeleng hingga membuat Elizabeth tidak jadi melanjutkan kalimatnya. "Kita sudah bahagia bertiga. Aku tidak ingin lagi repot memenuhi drama kehamilanmu."

"Kau ini bicara apa, William? Jadi kau repot jika harus mengurus diriku yang hamil?!"

William dengan perasaan tidak pedulinya lebih memilih melihat jam di pergelangan tangan kirinya. "Aku harus kembali ke kantor."

"Pembicaraan kita belum selesai, William!" teriak Elizabeth melihat punggung suaminya yang mulai menjauh.

*

Melihat wajah Selena tersenyum berseri-seri rasanya sudah cukup menjadi sumber kebahagiaan William. Apalagi jika alasan dibalik kebahagiaan wanita itu adalah William sendiri. Semuanya terasa lengkap.

"Ini bukan candle light dinner yang pertama bagiku, tapi aku baru pertama mendapatkan yang seromantis ini." ujar Selena sembari mengelilingi tatapannya pada setting tempat yang William persiapkan sebagai lokasi makan malam mereka.

"Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia, Pumpkin." balas William meraih tangan kanan Selena untuk ia usap punggungnya dengan ibu jari. "Apa kau bahagia?"

Selena mengangguk antusias. "Tentu saja. Aku sangat bahagia, William. Terima kasih."

William mengangguk santai dan mengajak gadis itu untuk menikmati hidangan spesial malam ini.

Saat benar-benar menikmati apa yang sudah dipersiapkan William, Selena justru menangkap sesuatu yang lain pada kekasihnya.

"William, kau kenapa? Ada masalah?"

Terlalu asik dengan lamunannya, William sampai tidak mendengar pertanyaan Selena. Akhirnya Selena berinisiatif membuyarkan pria itu dari pikiran melayangnya dengan cara menepuk pelan lengan William.

"William, aku berbicara denganmu."

"A-ada apa, Pumpkin?" tanya William tergagap. Merasa bersalah karena didapati melamun.

"Jika memang kau memikirkan Elizabeth dan Alicia, seharusnya tidak perlu mengajakku makan malam. Aku bisa makan masakan ibuku di rumah."

"Hei, bukan begitu..." bujuk William. "Aku hanya teringat satu hal."

"Oh, ya? Memangnya apa?"

William menggeleng santai. "Tidak terlalu penting. Sudahlah, tidak perlu dibahas."

"Tidak penting, tetapi sampai mengganggu fokusmu pada makan malam kita." sindir Selena.

"Memang tidak penting, Pumpkin. Hanya sedikit masalah di rumah."

"Apa aku kekasihmu?"

William menaikkan alis kiri dengan ekspresi tidak suka. "Kenapa bertanya seperti itu?"

"Jawab saja."

"Ya, tentu saja. Kau kekasihku, kesayanganku."

"Kalau begitu, apa aku tidak boleh tahu permasalahanmu itu?"

William menghela napas agar tetap tenang. "Bukan tidak boleh, hanya saja karena memang bukan hal penting."

"Aku ingin tahu!" desak Selena.

"Tida—"

"Apa gunanya aku menjadi kekasihmu jika kau terus saja membangun tembok di antara kita?"

"Baiklah." William menyerah. "Tidak ada masalah besar, hanya saja ibu mertuaku ingin seorang cucu lagi dariku, dan... Elizabeth menyetujuinya."

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang