Chapter 2

2.8K 20 0
                                    

Ini bukan kali pertama Selena dan Alicia bertemu. Gadis kecil itu sudah sering melihat Selena jika ia dikirimkan oleh ibunya ke kantor sang ayah. Namun sebelumnya interaksi mereka sangat minim. Itu sebabnya William berencana mengenalkan mereka agar menjadi dekat satu sama lain.

"Daddy, mengapa kau mengajak Selena?" tanya Alicia dengan nada sedikit tidak suka. Gadis itu bahkan tidak mempedulikan Selena yang berada di kursi belakang.

"Memangnya kenapa, Sweetie? Apa kau tidak menyukainya?"

Alicia menaikkan bahu tidak peduli. "Aku hanya ingin jalan-jalan berdua denganmu saja."

"Mulai sekarang kau harus terbiasa dengannya. Dia orang yang sangat seru, Alicia."

"Benarkah seperti itu?"

"Ya, tentu saja. Tapi jika kau menjadi gadis yang baik."

Alicia menengokkan kepala ke belakang untuk menatap wajah Selena. "Kau akan menemaniku bermain, Selena?"

Yang ditanya tersenyum senang. "Iya, jika kau tidak keberatan. Tapi jika aku memang mengganggu waktumu dan Daddymu, maka aku tidak akan ikut."

Alicia menggeleng. "Baiklah, kita akan bermain bersama."

*

Usaha William untuk mendekatkan anaknya dan kekasihnya sepertinya berhasil. Sebab kedua wanita itu asik bermain wahana tanpa mengingat William yang sebenarnya memang sengaja tidak ingin ikut. Pria itu duduk di bangku yang ada di arena bermain itu untuk menunggu Selena dan Alicia yang entah sudah berapa kali menaiki wahana roller coaster.

Beberapa menit kemudian kedua orang itu datang menghampirinya dengan bergandengan tangan. Namun Alicia langsung berlari ke arah William ketika melihat pria itu.

"Daddy!" pekiknya.

"Sudah bermainnya?" tanya William yang masih duduk sembari memeluk anaknya.

"Sebenarnya aku masih ingin bermain. Tapi kata Selena, kita harus makan siang lebih dulu."

"Dan kau ingin menuruti perkataannya, Sweetie?"

Alicia mendongakkan wajah. "Tentu, agar dia mau bermain bersamaku."

"Anak pintar." puji William mencubit gemas ujung hidung Alicia. Kemudian membawa dua wanita itu ke restoran yang memang ada di sana untuk destinasi wisata kuliner bagi para pelancong.

"Daddy, apa kau tidak menanyakan kami ingin memesan apa?" heran Alicia karena ayahnya memilih apa yang dirasa benar. Untuk dirinya, untuk Alicia dan bahkan untuk Selena.

"Aku tahu apa yang terbaik untuk kalian." jawab William menutup buku menu dan memberinya pada pelayan.

Alicia mengangguk dan merogoh ponselnya dari dalam tas slempang kecilnya dan memainkan sebuah game memasak offline di sana. Membunuh kebosanan sembari menunggu santap siangnya hadir.

"Apa dia merepotkanmu, Selena?"

Selena menggeleng. "Dia anak yang sangat baik. Hanya saja sedikit banyak berbicara."

William terbahak. "Kau harus terbiasa dengan itu."

Selena tidak menanggapi lagi. Ia tidak mau banyak berharap dan bermimpi. Apa yang ada hari ini, maka akan ia jalankan. Tetapi untuk hari-hari selanjutnya, Selena menyerahkan pada cara kerja Tuhan atas jalan hidupnya.

"Apa kau suka bermain game ini, Selena?" Alicia bertanya, namun tatapannya tetap pada ponsel.

"Tidak. Aku lebih suka membaca buku dibanding bermain di depan layar ponsel."

"Kenapa? Bukankah membaca itu menjenuhkan?"

Selena menggeleng tidak setuju. "Tidak juga. Pertama-tama, kau harus tahu dulu apa yang kau suka. Setelah itu kau bisa mulai mencari buku yang sesuai dan membacanya."

"Itu membosankan, Selena."

"Tidak, Alicia. Membaca, artinya kau menambah ilmu, wawasan dan pengetahuan."

Alicia menghentikan permainannya di gadget itu, kemudian memandang Selena dengan serius. "Memang semua itu penting?"

"Bagiku penting, karena aku ingin menjadi manusia berilmu. Nanti aku akan membagi ilmu itu pada anak-anakku."

"Memangnya kau punya anak? Mana? Apa aku bisa bermain bersamanya? Mengapa kau tidak mengajaknya?"

"Astaga, kau ini cerewet sekali." protes William.

"Aku hanya bertanya, Daddy."

"Ya, Selena akan punya anak. Tidak sekarang, tetapi nanti. Tidak hanya sekedar teman, mereka akan menjadi adikmu." tutur William yang membuat Selena mendelik tajam.

"Adik? Bukankah adik harus berasal dari orang tua yang sama, Dad?"

Kebetulan saat itu dua orang pelayan mengantarkan pesanan William sehingga fokus utama Alicia beralih pada pasta kesukaannya.

"Terima kasih untuk pastanya, Daddy." ucap Alicia sebelum menarik garpu dan menikmati makanan tersebut.

"Jangan bicara sembarangan padanya, Wil." peringat Selena berbisik.

"Apa yang aku katakan benar, Selena." balas William sama berbisiknya.

"Bagaimana jika dia memberi tahu Elizabeth?"

"Aku akan berikan ice cream sebagai uang tutup mulut padanya."

Selena hanya bisa geleng kepala mendengar itu. Ayah dan anak itu sama saja. Sama-sama licik.

*

Kekenyangan membawa kantuk tak tertahan untuk Alicia. Gadis itu tertidur. William membawa mereka ke apartment rahasianya. Hanya Selena yang tahu, tapi hari ini sepertinya Alicia juga tahu.

Setelah meletakkan sang putri di kamar sebelah, William segera menghampiri Selena di kamar satunya, tempat mereka biasanya menghabiskan malam-malam panjang bersama.

"Mengapa kau meninggalkan Alicia sendirian?"

William duduk di tepi ranjang bersama wanita itu. "Dia bukan bayi lagi, Selena. Anak itu sudah berusia delapan tahun."

"Memangnya tidak apa-apa, ya?"

William tersenyum lembut. "Tentu saja. Memangnya kau tidak tahu?"

Selena menggeleng polos. "Aku tidak pernah memiliki adik dan belum memiliki anak, jadi aku tidak tahu jika meninggalkan anak seusia Alicia untuk tidur sendiri adalah hal wajar. Dulu, sewaktu kecil aku selalu tidur berdua ibu."

"Kau harus lebih banyak mencari informasi tentang mengurus anak, Selena." ujar William merangkul pundak wanita itu. "Sebab nanti, kaulah yang akan mengurus anak-anakku."

Selena terkekeh santai. "Pikiranmu terlalu jauh, William. Bahkan hubungan kita saj—"

Ucapan Selena terhenti karena William membungkam bibir wanita itu dengan bibirnya. Melumat dengan sensual, hingga Selena terbuai untuk membalas ciuman William.

"William, di sebelah ada Alicia..." Selena memperingatkan setelah tautan bibir mereka terlepas dan William hendak menyingkap baju Selena.

"Alicia sedang tidur, Selena. Ayolah..."

"Tapi—Akh!!" Selena memekik sembari tertawa karena dengan sekali sentak saja pria itu sudah membaringkannya dan menindihnya.

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang