___
Yang kemarin itu menurutku cukup bagus, tapi Hito sama sekali tidak menangis. Dia turut berduka dan penasaran dengan nasib Kome setelahnya, tanpa perlu meneteskan air mata. Mungkin dari caraku menceritakan sesuatu, atau kisah tentang anjing dan manusia tidak begitu menarik untuknya.Seminggu lamanya kuhabiskan waktu di desa kecil di selatan Jepang, di mana musim gugur tidak terjadi dan hujan dapat turun tanpa kabar. Festival di bulan September menjadi salah waktu yang warga sana tunggu, di mana lentera jingga menyinari malam dan kembang api menyala-nyala dari kejauhan.
Satu kejadian antara seorang pemuda dan pemudi membuatku terpikir untuk menulisnya. Mungkin bukan cerita nyata dari mereka berdua, tapi satu kejadian itu cukup membuatku berdebar sebagai hantu di kala malam.
***
Sakurai bukanlah laki-laki yang mencolok di lingkungannya. Begitu lulus SMA musim semi lalu, dirinya memutuskan bekerja sebagai peternak garam tradisional bersama ayahnya. Dengan modal usaha dan kesan baik sebagai oleh-oleh untuk para turis, bukan hal sulit untuk keluarganya mencari untung dari kristal asin hasil laut Okinawa.
Ketika sebagian temannya memutuskan untuk ke kota, menjadi salaryman, Sakurai enggan untuk pergi dan lepas dari zona nyamannya. Itu pun berlaku bagi perasaannya pada seseorang.
Telah lama dirinya melihat Akari dari jauh, tanpa berusaha untuk mendekat. Bukan berarti mereka tidak pernah bicara, justru mereka cukup banyak mengobrol sebagai teman. Akan tetapi hanya itu, dan tidak pernah lebih.
Sakurai pikir, Akari tidak melihatnya sebagai laki-laki untuk dirinya bersandar. Dengan asumsi pesimis itu, ia habiskan harinya dengan Akari tanpa banyak hal untuk dikatakan. Setidaknya, hingga suatu hari...
"Ada sesuatu yang ingin kubeli, kamu tahu? Suasananya pun cocok, jadi kupikir, dari pada aku menunggu hingga dia menjual itu. Lebih baik kupaksa saja agar ia menjualnya." Akari yang selalu dengan berapi-apinya pun berkata demikian.
Mereka benar-benar berkebalikan, Sakurai yang tidak banyak bicara dan selalu terkesan dingin sering kali menjadi telinga untuk Akari yang banyak bicara.
Senyum tertarik dari bibir si jejaka, lalu jawaban singkat pun diberikannya. "Kalau itu memang maumu, aku akan ikut."
Janji pun terikat dan hari pun bersilih ganti, hingga tanpa mereka berdua sadari, hari itu datang juga.
Akari selayaknya gadis seumurannya, pasti lah mendedikasikan waktu untuk memoles rupanya yang sedari awal sudah rupawan. Sedangkan, Sakurai di lain pihak lebih memilih tampil apa adanya dengan setelan sederhana, namun tetap menarik.
Tidak ada janji dari keduanya untuk berangkat bersama, sehingga pertemuan mereka akan langsung di bawah lentera jingga. Waktu bergilir seakan memacu keduanya untuk berlari. Gerbang kuil menjadi garis finish, akan tetapi yang hadir lebih awal tidaklah sekalipun menjadi pemenang. Melainkan dia yang kalah.
Akari di sana, di bawah lentera jingga sepanjang jalan menuju gerbang kuil. Langkahnya berpacu bersama tarikan nafas yang sesak karena satu dan lain hal. Dirinya pun tidak tahu, ada apa dengan perasaan ini. Yang ia tahu, sama dengan seseorang yang tampak berdiri di bawah gerbang kuil, Akari hanya ingin melihat Sakurai saja.
"Maaf!" sahutnya dari jauh, lalu mendekat perlahan seraya mengatur nafas.
"Astaga. Kamu berlari dengan itu?"
"Ya." Akari sedikit terkekeh. "Kimono ini makan waktu untuk kupakai. Maaf ya, sampai aku telat."
Salah. Selama ini, Sakurai selalu berpikir jika dirinya lah yang terdahului. Mengabaikan perasaannya, ia pura-pura lupa untuk melangkah maju. Seakan buta, dirinya enggan untuk bernisiatif. Dan seakan dirinya tidak memiliki perasaan apapun pada Akari, dirinya terus diam menunggu Akari yang menyatakan perasaannya.
"Aku menyukainya."
___
KAMU SEDANG MEMBACA
Till The End of The Year
Short StoryMatsushita Asahi, suami muda yang bekerja sebagai penyunting buku, berakhir di sebuah café orang-orang mati setelah dirinya tertabrak truk dalam perjalannya pulang. Ia tidak sendiri. Seorang pemuda bersetelan hitam menawarkannya dua opsi sebagai kom...