36

3K 139 2
                                        

Pria dengan baju serba hitam, baru saja keluar dari rumah sakit. Pria itu langsung masuk kedalam mobil dan membuka topi dan masker yang ia kenakan.

"Raf, gue bener bener ga nyangka sama Lo. Tanpa sadar Lo nyakitin dua perempuan sekaligus. Dan sekarang Lo merasakan akibat nya, Lo bisa kehilangan Adinda dan juga Agnia. Lo memang sahabat gue, tapi kalau Lo salah, gue gaakan membenarkan Lo, Raf. Gue benar benar ga percaya, Lo sejahat itu."

Ya. Pria itu Akbar. Akbar membuntuti Rafka. Ia yang sedang berada di Bandung terkejut mendengar kabar dari Sinta, bahwasan nya Rafka mengalami kecelakaan.

Ada perasaan senang dan sedih mendengar kabar itu. Senang karena dengan kejadian ini, mungkin bisa membuat Rafka berubah, sedih karena bagaimanapun juga Rafka Adalah sahabat nya.

Hati nya benar benar hancur saat melihat kesedihan dan kehancuran perasaan Adinda,  Akbar terluka melihat Adinda menangis saat itu, ingin sekali Akbar membawa Adinda pergi dan memberi nya kebahagiaan. Tapi, ia tahu. Jika ia melakukan itu, Rafka. Sahabat nya, akan kehilangan kebahagiaan ya

Adinda berjalan pelan di koridor rumah sakit, langkahnya mantap meskipun hatinya bergetar. Ia sudah memutuskan semuanya. Dia berharap, keputusan ini adalah yang terbaik untuk dirinya dan Rafka.

Dengan hati-hati, Adinda membuka pintu dan melihat Rafka duduk di brankan, pandangannya kosong. “Assalamualaikum, Mas. Maaf Dinda telat,” ujarnya sambil mendekati Rafka. Ia membantu Rafka berpindah ke kursi roda.

“Apakah kamu mau mengurusku?” tanya Rafka dengan harapan yang menyala di matanya.

Adinda tersenyum kecut. “Aku istrimu. Itu sudah menjadi kewajibanku,” jawabnya tegas, meski dalam hatinya rasa sakit dan kemarahan masih ada.

Rafka merasakan kegembiraan di dalam dirinya, bersyukur karena memiliki istri sebaik Adinda. “Terima kasih, ya Allah. Kau telah memberiku istri seperti Adinda,” batinnya, meski rasa bersalah mulai menyusup di sana.

Adinda ndak sepenuhnya menerima pengkhianatan Rafka; meski ia memutuskan untuk bertahan, ia membantah keputusan yang diambil oleh Rafka. Dia mendorong kursi roda dengan langkah pasti, bertekad membawa Rafka pulang ke Bandung. Ternyata, Delvia dan Andra menyusul di belakang mereka.

“Sayang, kamu benar-benar mau pulang ke Bandung? Kenapa tidak tinggal di Jakarta? Biar Bunda bantu kamu mengurus Rafka,” ucap Delvia khawatir.

Adinda menggeleng pelan. “Tidak, Bunda. Aku harus pulang dan kuliah,” jawabnya.

“Yasudah, Bunda carikan asisten untuk membantumu,” tawar Delvia.

“Gak usah, Bunda! Dinda akan mengurus Mas Rafka sendiri. Aku masih mampu,” tolak Adinda tegas.

“Baiklah, kalau itu maumu. Tapi Bunda khawatir kamu akan kelelahan,” ucap Delvia, sementara perasaan bersalah menyelimuti Rafka. Dia tidak ingin menjadi beban bagi istrinya.

Dalam perjalanan pulang, suasana hening menyelimuti mereka.

“Maafkan kata-kata Bunda,” ucap Adinda, memalingkan wajahnya dengan hati yang berat.

“Bunda memang benar. Aku merepotkanmu… aku memberimu beban,” balas Rafka, matanya menunduk penuh penyesalan.

Adinda langsung menoleh ke arah Rafka. “Itu hanya kata-kata Bunda. Tapi bagiku, kamu tidak merepotkan. Itu adalah kewajibanku untuk mengurusmu. Jangan dengarkan ucapan orang lain,” tekannya dengan penuh keyakinan.

Rafka mengulurkan tangannya dan mencium telapak tangan Adinda dengan lembut. “Terima kasih, Din.” Adinda menepis ciuman itu, matanya terfokus pada jalanan di depan.

Waktu Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang