Hal yang tidak wajar

26 3 0
                                    

Seluruh tubuh Orias basah diguyur oleh air. Seakan tidak cukup, dia menempelkan kepala ke dinding dan membiarkan air dari shower menghujaninya lebih lama lagi. Laki-laki itu diam di tempat sambil memejamkan mata.

Akhir-akhir ini, bukan hanya masalah pekerjaan, bahkan pernikahannya pun sudah membuat isi kepala Orias hampir meledak. Memaksakan diri untuk perhatian pada orang lain bukanlah gayanya. Akan tetapi, semua orang terus saja mendorong tanpa henti. Jika tahu begini, harusnya dia menolak saja.

Orias menutup kran air lalu mengambil handuk bersih yang sudah disediakan di dalam. Dia keluar hanya memakai handuk yang menutupi bagian bawah dan duduk di tempat tidur. Lelaki itu memeriksa ponselnya dan langsung membuka pesan masuk dari Farel.

Nyonya meminta Anda menemani Nona Luna besok, sedangkan urusan hotel sudah ditangani.

"Lagi-lagi," gumam Orias. Saat ini Luna adalah prioritas semua orang. Jika dia membantah atau bahkan mengabaikan perempuan itu, maka sang ibu pasti berdiri paling depan untuk memukulnya.

Laki-laki itu mendengkus lalu melempar ponsel ke tempat tidur. Kelima jarinya menyisir ke belakang rambut yang masih basah itu. Pikirannya melayang membayangkan wajah calon istri yang belum resmi menikah, tetapi sudah menguasai banyak orang.

"Luna Alister," ucapnya dalam renungan.

***

Seharusnya hari ini ada rapat yang harus dihadiri, menandatangani beberapa berkas di meja, dan melakukan survei salah satu cabang di luar kota. Akan tetapi, semua itu hanya bisa menjadi agenda yang tertunda karena sekarang Orias justru berada di sebuah butik menemani Luna memilih dress untuk persiapan pernikahan.

Butik milik salah satu desainer terkenal yang berada di pusat kota itu memang sudah menjadi langganan keluarga Padila. Gedung yang memiliki tiga lantai dan lebih mirip kastil Barbie tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri di tiap lantainya.

Lelaki yang selalu siap dengan setelan jasnya itu dengan sabar mengikuti sang calon istri melihat-lihat contoh gaun pengantin. Luna yang hari ini memakai jumpsuit warna terang begitu serius mendengarkan pemilik butik menjelaskan setiap detail rancangannya. Dia juga tidak keberatan ketika harus bolak-balik mencoba setiap rekomendasi yang diberikan, seolah ia benar-benar berharap pernikahan mereka berjalan sempurna.

Orias masih memperhatikan Luna dari belakang. Jika dilihat lebih saksama, perempuan itu memang selalu tampil cantik dengan dandanan natural. Apa pun yang dikenakan pasti pas dan cocok, mungkin suatu keberuntungan karena ternyata menjadi pendamping masa depannya.

"Apa kamu hanya akan berdiri di sana dan menatapku?" Luna yang baru selesai mencoba dress untuk kesekian kali, menegur Orias yang berdiri tidak jauh darinya. Perempuan itu tampak sudah lelah, otot-otot wajahnya terlihat tegang seakan menahan diri untuk tidak meledak di tempat.

Orias memamerkan senyum lebarnya. Cara bicara Luna masih saja sama. Apakah suatu hari hal itu bisa berubah?

"Apa yang kamu inginkan? Membantumu memakai gaun atau mendengar pujianku?"

Luna memalingkan muka dan menerima dress selanjutnya. "Setelah urusanku di sini selesai, aku tidak mau menunggumu memilih baju."

Orias menghampiri Luna yang hendak masuk ke ruang ganti. "Aku tidak perlu repot-repot memilih baju karena semua yang kupakai akan selalu cocok."

Luna memicingkan mata menahan kesal sedangkan bibir tipisnya mengatup rapat. "Kalau begitu cepat minggir, agar aku bisa segera menyelesaikan."

Bibir Orias ditarik ke atas lalu memasukkan kedua tangan ke saku celana. Laki-laki yang sejak tadi tidak melakukan apa-apa itu dengan santai berkata, "Tidak perlu dilanjutkan. Hari ini kamu pasti sudah lelah, jadi biar orang lain yang mengurusnya."

Akhir Sebuah Rasa (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang