Yang di depan mata

22 1 0
                                    

Luna segera masuk ke ruangan, tetapi Luis bersikeras untuk ikut ke dalam, menahan tangan perempuan itu lalu menghimpitnya ke dinding. Tatapan mata mereka saling bertemu, deru napas saling beradu. Ada banyak perasaan yang sulit untuk diungkapkan.

Manik mata dokter cantik itu menatap tajam pada laki-laki yang kini memegang kuat tangannya. "Lepas, Luis," desis Luna.

"Tidak akan, sebelum kamu mendengarkan apa yang ingin kukatakan," tegas Luis. Tubuh mereka saling berdekatan, beruntung keduanya terhalang oleh pintu yang tertutup, sehingga tidak ada orang yang tahu.

"Tidak ada yang harus dikatakan. Semua sudah berakhir semenjak kamu memutuskan tidak memberi kabar sama sekali."

Dada Luna begitu sesak bergemuruh, menahan kesal mengingat bagaimana dia selalu menanti kabar dari Luis yang tidak kunjung ada. Laki-laki itu seolah meninggalkannya dalam penantian tak berujung. Perempuan itu pernah berpikir untuk menyusul ke sana, tetapi harga diri dan orang tua melarang. Sebagai wanita, ia harus tahu batasan.

"Aku tidak bisa karena ada banyak hal yang harus aku lakukan di sana!" seru Luis berharap perempuan itu tahu jika dia terpaksa melakukannya.

"Sebagai seorang dokter baru, terutama di tempat asing, aku harus cepat beradaptasi." Nada bicara Luis kembali lembut, tetapi ia tak berani menatap mata perempuan di depannya. Laki-laki itu menyadari jika dia terlalu sibuk hingga mengandalkan kepercayaan yang Luna berikan.

"Apa kamu tidak memikirkan perasaanku? Seorang perempuan melajang dan terus menunggu kekasihnya yang tidak tahu kapan akan datang. Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan ibuku?"

Mata Luna berkaca-kaca. Bukan cinta yang ia miliki tidak cukup kuat, melainkan ada perasaan orang tua yang harus dia jaga. Sebagai seorang anak perempuan sekaligus satu-satunya, bukankah apa yang dilakukan sudah benar?

Luis melonggarkan cekalannya lalu mundur beberapa langkah. "Maaf, aku tidak bermaksud membebanimu."

Laki-laki itu menundukkan kepala. Dia tidak memikirkan hal tersebut selama ini. Yang ia tahu, mereka saling mencintai dan akan bersama lagi setelah urusannya di luar negeri selesai.

Luna menghela napas dalam. Apa pun yang terjadi di masa lalu kini tidak berarti lagi. Dia sudah memilih jalan sendiri. "Aku sudah bertunangan. Lupakan aku," ujarnya pelan.

Tiba-tiba mata Luis terbelalak, kepalanya langsung terangkat menatap Luna meminta penjelasan.

"Aku akan segera menikah ... dengan pilihan ibuku." Luna balas menatap tanpa ragu. Menegaskan jika apa yang laki-laki itu lakukan sudah terlambat.

"Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kamu menikah dengan laki-laki lain, Luna?" Luis sebisa mungkin menahan diri untuk tidak berteriak, meluapkan perasaannya ketika mereka sedang berada di rumah sakit. Dia tidak mau semua orang mendengar dan bergosip di belakang. Walau saat ini ia merasa itu tidak adil.

Luis memegang kedua bahu Luna dengan raut wajah gelisah. "Aku masih mencintaimu. Kamu bisa membatalkannya agar kita bisa bersama."

Luna tertegun saking tidak percaya. "Aku tidak akan membuat orang tuaku malu, Luis. Semua sudah terlambat."

Luna menurunkan tangan Luis dari bahunya lalu memilih pergi dari sana sebelum laki-laki itu menahan lebih lama. Dengan langkah kaki cepat dia menyusuri koridor rumah sakit kemudian membuka pintu menuju tangga darurat. Setelah turun beberapa anak tangga, ia langsung terduduk, air mata yang sedari tadi ditahan seketika tumpah.

"Aku juga tidak ingin ini terjadi. Kenapa kamu harus pergi begitu lama?" Bahu Luna bergetar, air matanya jatuh bercucuran.

***

Akhir Sebuah Rasa (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang