Hari senin pun datang, Shanaz melakukan kegiatan di pagi harinya seperti biasa. Bangun lebih pagi dari biasanya karena ada upacara hari ini, mempersiapkan diri untuk ke sekolah, dan sebagainya.
Ketika Shanaz sedang bersiap untuk pergi kesekolah, ia dikagetkan dengan suara Ayahnya yang memanggil dengan suara yang tegas dan berat layaknya komandan memanggil prajuritnya. Ia menghentikan aktifitas yang dilakukannya sebelumnya.
“Naz!” Panggil Ayah Shanaz kedua kalinya masih dengan suara yang tegas dan berat.
Seruan itu membuat Shanaz berjalan cepat sembari menenteng tas sekolahnya, bukan berjalan mungkin bisa disebut hampir berlari menghampiri Ayahnya yang berada dimeja makan.
“Iya Yah, ada apa?” Tanya Shanaz kepada Ayahnya yang sedang menghisap teh hangatnya.
“Kamu hari ini kesekolah bareng sama Ayah,” ucap Ayah Shanaz sambil menaruh gelas teh hangatnya di meja makan.
Ucapan Ayahnya membuat Shanaz mengernyitkan dahi merasa heran. Tidak biasanya seperti itu.
“Tumben, kenapa?” Tanya Shanaz heran.
“Gak, Cuma mau antar aja, tapi pakai motor biar cepat sampainya,” Jawab Ayah Shanaz yang dijawab anggukan oleh Shanaz.
Setelah menunggu Ayahnya bersiap dengan motornya, Shanaz terlebih dahulu berpamitan dengan ibunya.
“Bu berangkat dulu ya,” pamit Shanaz sambil mencium tangan Ibunya, yang dijawab anggukan oleh ibunya.
Ibu Shanaz hari ini berangkat kerja siang hari jadi ia tidak pergi bersama dengan ayah Shanaz. Mungkin itu alasannya kenapa Ayahnya tadi menyuruhnya untuk berangkat Bersama.
Hari ini Shanaz pergi dengan di antar oleh ayahnya, iya hal yang sangat jarang dilakukan oleh ayahnya untuk mengantar Shanaz sekolah. Yang diingat Shanaz ayahnya terakhir mengantarnya ke sekolah ketika Shanaz masih duduk dikelas 6 Sekolah Dasar. Setelahnya Shanaz dibiarkan mandiri untuk pergi kesekolah menggunakan angkutan umum.
Tidak seperti kebanyakan anak perempuan pada umumnya yang selalu dekat dengan sosok Ayah, justru Shanaz tidak begitu dekat dengan Ayahnya dikarenakan ayah Shanaz yang sibuk, sosok yang pendiam, tegas dan kaku. Jadi ia jarang untuk sekedar menghabiskan waktu bersama Ayahnya.
Sesampainya disekolah Shanaz turun dari motor dan memberikan helm yang dia pakai kepada Ayahnya dan tidak lupa untuk berpamitan.
“Yah, Shanaz sekolah dulu makasih udah dianterin, hati-hati dijalan ya, Yah.” Shanaz mencium tangan ayahnya setelah ia diantarkan tepat didepan gerbang sekolah.
“Iya, Ayah berangkat dulu,” pamit Ayah Shanaz yang kemudian pergi untuk menuju kantornya.
Setelah sosok ayahnya pergi, Shanaz pun masuk kedalam sekolah untuk menuju ruang kelas dan bertemu dengan teman-temannya.
Sebelum ke kelasnya, Shanaz melihat dari jauh banyak siswa yang berkumpul untuk melihat pengumuman yang menempel di mading yang dimana lokasinya tepat berada di samping pintu kelas Shanaz, baru saja Shanaz ingin menghampiri kerumunan tersebut ada seseorang dari belakang Shanaz menepuk pundaknya, hal itu membuatnya sedikit terkejut.
“Pagi Naz,” sapa Luna sambil tersenyum, membuat Shanaz menghela nafasnya.
Ia menatap Luna jengah. “Kaget Lun, dikirain siapa,” katanya sambil menepuk lengan Luna pelan.
Luna tertawa kecil menanggapi ucapan Shanaz barusan. “Baru dateng Naz?” tanya Luna yang sudah mensejajarkan langkahnya dengan Shanaz.
“Iya, tadi bareng Ayah jadi dateng lebih pagi,” Jawab Shanaz yang Kembali berjalan menuju kelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Le Vrai Bonheur
Teen FictionVrai Bonheur - The true or real Happiness Kebahagiaan sebenarnya yang Shanaz tau itu awalnya hanya pada ketiga sahabatnya-Luna, Angga, dan Bintang. Tapi itu berubah ketika apa yang dihadapinya menjelang kelulusan SMA, mulai dari rumit dan sakitnya...