Awal

219 27 3
                                    

Dengan telaten tangan Junlin bergerak. Menciptakan garis tebal dan tipis memberikan sentuhan akhir pada sebuah objek sketsa yang tengah dibuatnya.

Sudut bibirnya terangkat puas. Mentap hasil karya itu sendiri. Junlin akui sketsa buatanya semakin kesini semakin membaik. Bahkan jauh meningkat dari bulan kemarin.

Junlin boleh saja berpuas diri. Tapi tahukan semua itu tak lepas karna seseorang yang secara tak langsung mengunci atensinya.

Awalnya tak ada yang spesial.

Saat itu hujan turun di hari cerah. Junlin yang sudah pasti tak membawa payung -kerna prediksi cuaca seharian cerah- itu berlari ke sebuah caffe.

Ingatkan ia membawa banyak buku sketsa saat itu. Tugas mingguanya bisa hancur dalam hitungan detik jika terkena hujan.

Bel kecil yang sengaja digantung di pintu berdenting sesaat Junlin membukanya. Pemandangan hangat dan nyaman khas caffe berinterior minalis menyambutnya.

Sebelum melesat mencari tempat duduk yang pas untuknya. Junlin menyempatkan memesan ice latte terlebih duluh.

Tak peduli cuaca akan sedingin apa latte dingin masih menjadi nomor satu baginya.

Junlin lantas mendudukan tubuhnya pada kursi kosong di pertengahan ruangan. Melepas tote bag bawaannya dan memastikan kondiri buku sketsanya baik-baik saja.

***


Lima belas menit setelahnya hujan tak kunjung berhenti. Junlin yang sudah dibuat makin bosan mengendus ringan. Beberapa gelas ice latte sudah kosong di mejanya.

Ting~

Sebuat notif dari chat grup kelas menarik perhatian Junlin. Manik cantiknya sedikit membesar membaca rentetan kata yang di tuliskan presiden kelasnya.

Tugas seni rupa 1 di kumpul hari kamis.

Tidak ada perpanjangan waktu.

Junlin menyandarkan tubuhnya kesandaran kursi, lemas. "Sial! ini gimana ngerjainnya," keluhnya.

Hitung saja, ini saja sudah masuk hari selasa dan itu berati tugasnya akan di kumpukan dua hari lagi. Dan satu lagi derita anak seni, tahukan susahnya mencari inspirasi itu seperti apa.

Tak ingin berlama-lama kelut dengan kekesalannya sendiri. Junlin kembali membenarkan duduknya.

"Pokoknya gue harus ngesket. Ingat Lin, lo mesti cepatan lulus!" kata lelaki mansi itu pada diri sendiri.

"Nggak ada sketsa lo ga boleh pulang."

Terkadang memang seperti itu. Junlin terhitung terlalu keras pada dirinya sendiri, namun ia tahu itu untuk kebaikannya juga. Demi impiannya.

***


Buku sketsa sudah dibukanya, perlengkapan gambarnya juga sudah terjejer rapi di atas meja.

Namun hingga saat ini Junlin belum berhasil menentukan objek yang akan digambarnya. Jangankan menemukan pilihan, merasa tertarik pada keramaian di sekitarnya saja tidak.

Tema tak susah. Mereka hanya diminta menggambat sketsa dari benda hidup atau benda mati.

Namun tetap saja itu akan terasa sulit jika tak mendapat inspirasi. Karna sudut pandang dari objek apa yang kau ambil akan dipertanyakan.

Junlin kembali mengengus dan membaringan kepalanya ke atas meja. "Nyari ide napa susah banget sih," decaknya. Kakinya disentakan kesal.

Sesaat setelahnya, tiba-tiba saja seseorang menepun pundaknya. "Eh sorry-"

"Apaan sih ganggu aja!!"

Junlin yang tengah kesal tak kunjung mendapat ide tanpa sadar membentak.

Seseorang itu tersentak, tak berlangsung lama ia tersenyum bersahabat. "Sorry, gue ngagetin."

Junlit diam sejenak lalu mengeleng ringan, merasa bersalah. "Ngaak kok." Dan membungkuk sopan. "Maaf juga, gue ga ada maksud ngebentak lo jadi," jelasnya tak enak.

Lelaki yang tak dikenal itu menggangguk maklum. "Ga masalah," katanya.

Lalu memberikan pensil berwarna kuning dengan pinggiran hitam di kedua sisinya. "Punya lo kan. Jatoh tadi," lanjutnya.

Diberikan benda itu pada Junlin dan berlalu begitu saja.

Junlin masih terdiam. Tanganya masih memegang pensil itu bersama sesuatu yang hangat menjalar di tubuhnya.

Sudut bibirnya terangkat perlahan. Pikirannya mulai bekerja. 'Dapat!' ujarnya membatin.

Tbc.




Gimana lanjut ga nih?

Yes! or Not!

lima readers aja yg ngerespon bakal aku lanjut 😁

Coffee Shop✔ |¦ He Junlin ft. Yan HaoxiangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang