Lima

72 17 0
                                    

Sepanjang siang di perpustakaan, Junlin terus-terusan merasa tidak ada gunanya membaca setumpuk buku sejarah perkembangan seni lukis yang di jadikannya acuan referensin.

Ujiannya tinggal dua minggu lagi namun hingga saat Junlin belum juga mendapat pencerahan dari apa yang dicarinya.

Padahal tak sedikit dari teman Junlin sudah membuat proyek akhirnya itu.

Lebih parahnya lagi di kelas terakhir hari ini Junlin tak henti mendapat teguran. Karna dianggap tidak melibatkan perasaan dalam setiap karyanya.

Yah, seni memang semerepotkan itu. Kalau bukan karna ingin mengikuti jejak mending sang mama, Junlin mungkin tak akan sanggup bertahan.

Seperti halnya robot. Junlin terbilang cukup pintar dan dia mampu menciptakan karya yang tak kalah bagus dari yang lainnya. Tapi jika dilihat lagi goresan-goresan itu tidak memiliki makna khusus.

Lagi-lagi Junlin berdecak mengingatnya. "Benci deh," ketusnya.

Padahal tiga minggu lalu Junlin tak henti mendapat pujiaan atas progresnya namun sekarang... ia kembali di tuntut ini dan itu.

Pergerakan tangan Junlin yang sejak tadi membuka lembaran kertas itu terhenti. Manik cantinya menatap jauh kebelakang.

Benar saja, tak terasa sudah tiga minggu terlewat sejak terakhir kali Junlin menggunjungi caffe itu.

Pikirnya melayang. 'Dia masih disana nggak ya?' inner Junlin. Hatinya terasa sesak dan menghangat disaat bersamaan.

Tak mau larut Junlin menghela nafas ringan, memantapkan hati. "Fokus! Lo pasti bisa lulus kelas seni murni."

Lantas Junlin bangun dari duduknya. Beberapa buku yang berserakan itu kembali di tumpuknya. Sepertinya Ia akan melanjutkan pencariannya ke perpustakaan umum saja.

Namun sebelum itu Ia harus mengembalikan buku yang diambilnya, ke rak buku —seperti semula.

Ketika diangkat, tumpukan buku itu sejejar dengan tingginya. Sehingga agak sulit bagi Junlin membawanya. Dia harus melangkah ekstra hati-hati agar tak menabrak.

Awalnya Junlin baik-baik saja mengangkatnya. Berat? sudah pasti tapi dia masih terbilang sanggup. Akan tetapi seseorang yang tak tahu sopan santun malah menghalang jalanya.

Sayangnya karna tumpukan buku Junlin tak dapat melihat siapa didepanya itu. Ia hanya melihat sepasang sepatu sosok itu.

'Anjir ngapain sih ini orang,' misu Junlin berusaha ditakannya.

"Bisa minggir bentar nggak? Berat nih soalnya." Junlin mencoba ramah. Namun tak ada jawaban dari seseorang dihadapnnya.

"Lo denger—"

Ucapan Junlin terhenti dikala beberapa buku yang menutup pandanganya diambil alih oleh sosok itu. Dan....

"Hi!"

Bruk.

Sisah buku yang Junlin pegang terjatuh begitu saja. Rasanya seperti melihat hantu disiang hari.

Manik cantiknya melebar, tidak percaya, menatap denga mulut yang sedikit terbukan.

'Cowok di caffe itu!'

Tbc. 

21/03/24

Coffee Shop✔ |¦ He Junlin ft. Yan HaoxiangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang