Seorang wanita berjilbab navy duduk termenung di sebuah taman. Hujan turun lebat, seakan turut mencurahkan kesedihan yang menghimpit hatinya. Tidak ada niat sedikit pun untuk berteduh; ia lebih memilih untuk merasakan kesedihannya sepenuhnya, meluluhkan rasa sakit dan kecewa atas apa yang telah dilakukan suaminya.
Ya, wanita itu adalah Adinda. Ia tidak langsung pulang ke rumah karena lebih memilih untuk mengekspresikan kesedihannya. Di tengah derasnya hujan, ia berbisik, "Hiks... Ridho, aku membutuhkanmu... hiks."
Suara dering ponselnya memecah keheningan, menghentikan sejenak lamunannya. Dia melihat layar yang bergetar di sampingnya, menandakan panggilan masuk dari Rafka. Namun, ia terdiam dan tidak ada niat untuk mengangkat teleponnya.
Di sisi lain, Rafka duduk dengan gelisah di kursi rodanya, menatap jendela kamar. "Ya Allah, Dinda. Kamu ke mana? Kenapa tidak mengangkat teleponku?" Ia merasakan kerisauan menyergap hatinya. "Aku khawatir... takut kamu kehujanan," gumamnya putus asa.
Rafka mencoba menghubungi Adinda berulang kali, namun semuanya sia-sia, tak satu pun terangkat. Hujan mulai reda, tanah tampak menampung setiap tetes yang jatuh, dan demikian pula dengan air mata Adinda yang perlahan surut. Setelah melihat banyak panggilan tak terjawab dari Rafka, ia memutuskan untuk kembali ke rumah. Dengan sigap, ia menaiki motornya.
Setibanya di rumah, Adinda berjalan cepat menuju kamar dan menemukan Rafka duduk sambil menatap jendela, dengan wajah cemas. "Assalamualaikum," sapanya pelan, mendekati Rafka dengan hati-hati.
"Ya Allah, Dinda. Kamu kehujanan?" Rafka bertanya khawatir, segera meraih tangan Adinda.
"Kenapa tidak bilang? Aku bisa menjemputmu," lanjutnya, terharu.
"Dengan kondisi kamu seperti ini?" balas Adinda, memperhatikan Rafka dengan lembut.
Rafka terdiam, menyadari keterbatasannya. "Aku akan menyuruh Mang Oding," ujarnya dengan penyesalan.
"Tidak perlu repot-repot. Aku sebentar saja ganti baju. Kamu sudah makan obat?" tanya Adinda dengan suara dingin, mencoba untuk tetap tegar.
Rafka menggeleng. "Aku menunggu kamu untuk makan siang," jawabnya lemah.
Adinda tersenyum simpul. "Kalau begitu, tunggu sebentar, ya? Biar aku siapkan," ibunya mengarahkan segalanya.
"Oh ya, nanti sore kamu akan terapi dan aku akan menemanimu," lanjut Adinda sambil mengganti pakaian.
Sebelum berangkat ke rumah sakit, Adinda membeli sayuran dari pedagang yang selalu berkeliling di depan kompleks. "Mas, tunggu dulu. Aku mau beli sayuran buat makan malam," ucapnya pada Rafka, yang mengangguk.
Adinda memilih sayuran hijau dan wortel. Namun, di sampingnya, sekelompok ibu-ibu mulai berbisik, melihat Rafka yang duduk di kursi roda.
"Ga tahu malu ya suaminya, udah lumpuh, ga bisa kasih nafkah," salah satu dari mereka mencibir.
"Iya, kalau saya jadi istri, tinggalkan saja! Buat apa ngurus suami yang ga berguna," sambung lainnya.
Mendengar ocehan mereka, Adinda tak bisa menahan diri. "Bu, tolong ya, jaga bicara! Ibu yang suka nyinyir lebih ga tahu malu! Saya istri sahnya, bukan ibu-ibu! Yang susah itu saya, bukan ibu! Jadi, ibu tidak usah ikut campur!" tegas Adinda dengan berani.
Para ibu itu terdiam, terkejut dengan keberanian Adinda.
"Berapa, Mang?" tanyanya, berusaha tenang.
"Tiga puluh ribu, Neng," jawab pedagang sayur.
Adinda menyerahkan uang lima puluh ribu. "Kembalinya ambil saja, Mang," ucapnya dengan senyum.
"Hatur nuhun, Neng."
![](https://img.wattpad.com/cover/228988319-288-k944531.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Surga yang Di Rindukan
Ficción General🚫DiLARANG PLAGIAT! 🚫 JIKA ADA KESAMAAN TOKOH. MOHON MAAF BUKAN DI SENGAJA. "aku tidak akan pernah mencintaimu! karena pacarku lebih cantik dan semperna! ucap rafka tanpa memperdulikan perasaan adinda yang begitu sakit mendengarnya. adinda gadis...